Berita
Intrik Politik di Kerajaan Arab Saudi
Prof Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama, Australia-New Zealand, mencermati perkembangan di Arab Saudi. Baik dari sisi sejarahnya, hingga perkembangan mutakhir menyangkut intrik-intrik, pandangan baru dari punggawa kerajaan penganut ajaran Wahabi itu.
Berikut pandangan Prof Nadirsyah Hosen, sebagaimana diunggah di akun facebook pribadinya:
Buat kawan-kawan yang tekun membaca serial tulisan sejarah politik Islam yang saya posting secara rutin, tentu sudah bisa melihat bagaimana pattern pertarungan antar keluarga dalam merebut kekuasaan baik di masa Dinasti Umayyah dan juga Abbasiyah.
Kelihatannya sejarah akan berulang di saat perpindahan kekuasaan diperebutkan antar keluarga sendiri di kerajaan Arab Saudi saat ini. Kita akan melihat dengan berdebar-debar bagaimana Putra Mahkota sedang menyiapkan jalan yang mulus untuk menjadi Raja, sementara para pangeran lainnya tengah menunggu manuver berikutnya.
Arab Saudi dibangun bukan atas dasar sistem khulafa al-rasyidin. Arab Saudi mencontoh model kerajaan yang dilakukan oleh khalifah Mu’awiyah dan keturunannya. Maka pemimpin dipilih berdasarkan garis keturunan, bukan atas dasar pilihan rakyat.
Perbedaannya, Arab Saudi selalu dipimpin oleh keturunan Ibn al-Saud. Makanya dari namanya saja, Arab Saudi, itu merupakan kerajaannya Saud dan keluarganya.
Pengganti Saud diambil dari anaknya secara bergantian. Model semacam ini lumayan sukses mencegah pertumpahan darah antar pangeran sampai tiba kelak anak-anak Abdul Azis as-Saud yang jumlahnya banyak banget itu sudah habis atau sudah tua dan tidak mampu memimpin lagi.
Raja Salman adalah anak ke-25 dan berkuasa saat berusia 79 tahun sejak 2015. Seharusnya sepeninggalnya kelak yang naik adalah saudaranya, yaitu Pangeran Muqrin (saat ini 72 tahun). Tapi dia hanya menjadi putra mahkota 4 bulan dan digantikan oleh Pangeran Muhammad bin Nayef (58 tahun).
Diangkatnya Pangeran Muhammad bin Nayef semula dianggap merupakan penanda era baru dalam suksesi di Arab Saudi. Ini karena beliau bukan anak Ibn Saud, tapi cucu. Ayahnya Pangeran Nayef as-Saud sebelumnya merupakan putra mahkota di masa kepemimpinan Raja Abdullah. Tapi Pangeran Nayef wafat lebih dulu ketimbang Raja Abdullah. Maka Pangeran Salman yang menjadi putra mahkota dan kemudian menggantikan Raja Abdullah.
Diangkatnya Pangeran Muhammad bin Nayef seolah merupakan “kompensasi” terhadap wafat ayahandanya yang kemudian gagal menjadi Raja.
Perlu disampaikan pula di kalangan Bani Saud ini juga ada fraksi atau group khusus. Dikenal dengan sebutan 7 Sudairi. Ini adalah tujuh anak Ibn Saud dari istrinya yang bernama Hussa Sudairi. Raja Fahd (1921-2005) adalah pemuka kelompok ini. Raja Salman dan Pangeran Nayef juga dari kelompok ini. Namun bukan berarti fraksi ini tidak pecah. Pangeran Ahmad, putra ibn Saud yang ke-31, yang paling junior dari kelompok ini (74 tahun) dikeluarkan dari jalur suksesi. Peranannya diganti oleh Pangeran Muqrin, yang sudah saya singgung di atas.
Muqrin pun ternyata dicopot. Lantas Muhammad bin Nayef naik. Tapi hanya dua tahun menjadi Putra Mahkota, Nayef juga dicopot. Lantas siapa yang menggantikan? Nah ini yang membuat percaturan politik semakin seru: yang naik sebagai putra mahkota adalah Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) alias putra Raja Salman sendiri.
Belum pernah sebelumnya Raja Arab Saudi selain Ibn Saud menunjuk anaknya sendiri sebagai calon penggantinya. Salman mengubah ini. Sehingga kalau rencana ini berjalan mulus maka dinasti Saud akan diteruskan oleh Dinasti Salman.
Naiknya MBS ini telah menyingkirkan Pangeran Muqrin dan Pangeran Nayef. MBS masih sangat muda, baru berusia 32 tahun. MBS adalah wajah Arab Saudi masa depan.
Tantangan buat MBS juga besar. Maka dia segera mengonsolidasikan kekuasaannya. Baru-baru ini 49 tokoh berpengaruh, termasuk 11 pangeran, ditangkap atas tuduhan korupsi. Helikopter yang membawa Pangeran Mansour, putra dari Muqrin, yang berusia sekitar 42 tahun dan disebut-sebut saingat berat MBS, kecelakaan dan menewaskan Mansour bin Muqrin. Banyak yang menghubungkan kecelakaan ini dengan perebutan kekuasaan. Entahlah….
Raja Salman dan Pangeran MBS sendiri didukung Amerika dan Israel. Bagaimana suara para ulama di sana? Ternyata MBS juga menangkapi para ulama yang konservatif. MBS berperang dengan Yaman, dan juga bersitegang dengan Qatar.
Aset pangeran yang ditangkap termasuk Pangeran al-Waleed bin Talal, salah satu orang terkaya di dunia, disita oleh Kerajaan. Arab Saudi memang tengah dilanda kesulitan ekonomi belakangan ini akibat harga minyak yang turun dan perang dengan Yaman.
Segala cara kini dilakukan MBS untuk melapangkan jalannya menuju kursi kekuasaan. Bahkan dia menjanjikan mengembalikan Arab Saudi ke jalur Islam moderat.
Kelihatannya bukan Islam moderat yang akan MBS tuju. Ini bukan pertarungan antara konservatif dan moderat. Karena kalau serius mau mengembangkan Islam moderat maka Arab Saudi harus membuang ideologi Wahabi mereka, dan juga menetapkan demokrasi bukan lagi sistem kerajaan. Arab Saudi harus mau belajar dari Indonesia. Mungkinkah itu?
Yang saya lihat saat ini adalah pertarungan antara kubu konservatif dan kubu pragmatis di Arab Saudi. Mana yang akan menang?
Akankah sejarah politik Islam masa silam berulang di abad modern ini? Perebutan kekuasaan antar keluarga, politisasi ayat dan hadits, plus peperangan dan pertumpahan darah? Kita menunggu episode berikutnya dari kerajaan Arab Saudi.
Siapkan kopi anda — kali ini bergelas-gelas kopi, karena lakon ini masih panjang. Dan jangan lupa selipkan doa agar perdamaian selalu tercipta, dimanapun itu, termasuk di Arab Saudi.
Sumber: Akun Facebook Nadirsyah Hosen
(Tentang penulis: Beliau adalah Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School. Juga Pengasuh PonPes Ma’had Aly Raudhatul Muhibbin, Caringin Bogor).