Berita
Indahnya Dakwah Cinta vs Buruknya Dakwah Benci
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl: 125)
Pentingnya berdakwah dan menyampaikan kebenaran dengan cara yang baik telah diingatkan dengan tegas oleh Allah SWT di dalam Alquran. Namun hari ini kita melihat sebagian kalangan yang atas nama ‘dakwah’ dan ‘syiar kebenaran’, melakukannya dengan cara yang bertolak belakang dengan anjuran dan penegasan itu. Yakni dengan cara-cara keras, kasar, memaksa, tidak simpatik dan bahkan destruktif.
Ada apa sebenarnya di balik fenomena dakwah bercorak kebencian, alih-alih dakwah cinta yang diajarkan dan dicontohkan oleh Baginda Rasulullah SAW ini?
Berikut wawancara ABI Press dengan Mohammad Monib, Direktur Indonesia Conference of Religion and Peace (ICRP).
Masyarakat kita melihat ada sementara kalangan yang dalam mendakwahkan keyakinannya menggunakan metode dakwah yang kaku, keras dan agresif. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini?
“Bagi saya, model berdakwah menyampaikan Islam, tidak lepas dari ideologi dan pemahaman yang dimiliki seseorang. Seperti misalnya FPI, FUI, ormas-ormas radikal intoleran dan sebagainya itu, apa yang ia pahami, ya ideologi itu yang menggerakkan dia. Mereka mengatakan itu bagian dari teologi amar ma’ruf nahi munkar, misalnya. Jadi apa yang dihadirkan, apa yang dilakukan, itu adalah bentuk yang dia pahami dari bentuk dakwah itu.”
“Misalnya, majelis-majelis yang bertebaran di Jakarta Selatan itu kan bagi mereka dakwah. Ketika misalnya, saat menuju lokasi dimana majelis dilakukan, mereka konvoi, membawa bendera, bahkan mengganggu di jalan. Saya rasa rendah sensitifitas mereka untuk memahami bahwa itu mengganggu dan itu tak sesuai dengan makna dan keinginan menyampaikan agama sebagai sebuah cahaya, untuk mengajak orang kepada kebenaran, kesejukan, dan ketenteraman.”
“Nah, terkait ideologi ini, alangkah baiknya kalau kita memilih tidak menggunakan pendekatan dakwah dengan cara dan aksi-aksi yang kira-kira bertentangan dengan makna Islam itu sendiri. Kita memilih jalur kedua tentunya ya. Memilih menyampaikan Islam tidak dengan cara sebagaimana yang dilakukan segerombolan kalangan yang banyak kita saksikan belakangan ini. Kita ingin menampilkan wajah agama yang indah, yang sejuk, damai, yang care, yang melindungi, mengayomi, menebar bahagia. Ini pilihan kita. Yaitu dari model yang dicontohkan Rasul bagaimana menyampaikan esensi, mendakwahkan Islam itu.”
Jadi intinya ada pada perbedaan ideologi dakwah?
“‘Amar ma’ruf nahi munkar’nya sebenarnya sama. Tapi ideologi amar ma’ruf yang kita miliki dengan cara pandang ideologi mereka berbeda. Maka tak aneh kalau kemudian muncul dua model kelanjutannya dari itu. Yaitu model yang menampilkan bahwa Islam itu, Islam yang penuh dengan caci-maki. Itu ada. Misalnya sebagai contoh, saya unfriend beberapa teman sealumni dari pesantren saya. Kenapa? Ya saya tidak nyaman dengan model itu, dengan cara mereka mencaci-maki saya, menghujat saya, dengan bahasa yang kasar. Bagi saya, itu bukan cara menunjukkan Islam, bukan cara yang benar menampilkan diri sebagai seorang Muslim.”
“Dan, pengalaman saya di kelas pun, misalnya, saya mengajar di Prasetya Mulya, saya menyampaikan Islam bercorak cinta ini. Apa yang kemudian muncul kesan dari mahasiswa-mahasiswa saya yang kira-kira 50:50 itu non Muslim? Semua agama lengkap, bahkan ada atheis? Justru kemudian saya menuai kesan positif dengan menampilkan wajah Islam yang dialogis, berani mengatakan apa yang benar, kemudian menghormati kebebasan beragama.”
“Dan sekarang nampaknya nggak bisa ditolak bahwa kebebasan beragama ini harus didukung karena sekarang itu orang mana mau dipaksa? Mahasiswa-mahasiswa saya itu sampai berkata, ‘Saya baru tahu Pak, ada orang Islam seperti ini.”
Bahkan di kelas sejak 2006 ada mahasiswi-mahasiswa non Muslim yang tidak punya tradisi mencium tangan orang, yang cium tangan ke saya. Karena dia merasa terkesan dengan corak ajaran Islam yang dialogis dan damai yang saya sampaikan.”
“Jadi bagi saya itu sesuatu yang waw…, gitu. Ada non Muslim yang dapat gambaran agama Islam itu agama yang nyaman, yang sejuk, dan damai.”
Apakah Bapak punya pengalaman memualafkan non Muslim dengan pola dakwah cinta tadi?
“Di Paramadina saya memualafkan beberapa orang, itu karena dialog-dialog yang kami lakukan. Jadi dialog itulah yang memuaskan rasa haus intelektual, rasa haus penasaran, jawaban terhadap isu-isu kontemporer tentang perempuan, tentang HAM, tentang perbudakan, itu yang dipuaskan. Dalam beberapa perbincangan, sharing, dialog-dialog, rasanya pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul.”
“Di Paramadina, memang rata-rata hasil dialog, hasil pemuasan dahaga intelektual, dahaga kebutuhan spiritual. Ada banyak hal di zaman seperti sekarang memang harus berdakwah itu tidak lagi dibutuhkan aksi-aksi primitif seperti mengumpulkan gerombolan seperti yang ada itu.”
“Saya pikir kumpulan-kumpulan ini tak lagi berkorelasi dengan keinginan orang untuk tahu Islam, sekalipun saya tau misalnya dalam konteks ini Indonesia beda dengan Amerika yang kultur sosialnya berbeda. Di Amerika, ketika Twin Tower dihancurkan orang banyak bertanya apa itu Islam? Maka kemudian banyak pertanyaan, banyak orang penasaran, banyak orang ingin jawaban apa itu Islam dan ternyata lewat itulah Allah menunjukkan Islam. Tapi dalam konteks Indonesia rasanya susah berharap orang tertarik dengan Islam karena tertarik, terpikat, terpukau dengan aksi-aksi majelis, gerombolan-gerombolan di jalanan itu.”
Jadi menurut Bapak, dakwah terbaik bukan dengan aksi show force massa, tetapi dengan dialog?
“Ya, saya tidak yakin sama sekali cara itu akan menarik orang (non Islam) masuk Islam. Saya yakin cara yang tepat adalah cara dialog. Yaitu menampilkan wajah-wajah sejuk, wajah damai Islam. Inilah yang diajarkan oleh Nabi kita.”
Mengenai sebagian orang yang berdakwah dengan cara mengumbar kebencian dan permusuhan, mereka kan juga mengatakan punya dasar dari ajaran Nabi. Apakah Nabi mengajarkan seperti itu?
“Ya, itu juga tidak bisa terlalu disalahkan bagi saya. Karena dalam sejarah, teks Islam, teks Alquran atau Hadis, atau teks riil sejarah ya ada yang menampilkan wajah itu. Tak bisa dipungkiri bahwa teks-teks Islam, sejarah Islam memberikan gambaran seperti apa yang kita katakan, dengan cara mencaci, membenci, itu ada jejak-jejaknya. Baik di dalam ayat Alquran sendiri bagi saya kalau didekati secara harfiah itu seolah menyajikan indoktrinasi dengan kebencian, dengan diskriminasi kepada non Muslim, itu tidak bisa ditolak, tidak bisa diabaikan. Teks sucinya seperti itu.”
“Misalnya tentu orang membaca peperangan di dalam Islam itu sebagai langkah aksi dakwah Islam kan dengan kekerasan. Maka wajar kalau ISIS berbasis pada teks itu dalam melakukan aksi-aksinya sekarang ini. Karena mungkin terinspirasi dari apa yang dilakukan, yang pernah terjadi di zaman Rasulullah, di zaman para Sahabat. Membunuh orang murtad itu kan jejak-jejak pelaksanaannya ada, jejak eksekusi terhadap orang murtad itu ada.”
“Nah tentu kemudian mau tidak mau kita harus memberi ruang kepada bentuk penafsiran teks Islam yang sifatnya kontekstual. Tentu banyak hal yang harus kita tafsirkan ulang. Kalau semuanya harus melalui pendekatan tekstual ya itulah akibatnya. Sajian dakwah yang keras, penuh kebencian, penuh aksi intoleransi, penuh pelanggaran kepada manusia itu terjadi.”
Bagaimana dengan sumber-sumber ajaran cinta dan kasih sayang dalam Islam yang juga banyak dicontohkan itu?
“Saya tidak tau persentasenya. Tentu Islam sangat indah memotret, menyajikan Rasulullah itu dakwah dengan cinta. Menggunakan bahasa Dr. Haidar Bagir ya, itu agama cinta. Saya senang memotret dengan ini karena saya tidak senang memotret Rasulullah dengan wajah Islam yang keji, wajah Islam biadab, Islam yang intoleran, Islam yang diskriminatif, saya tidak mau.”
“Saya rasa, tanpa kita dibekali dengan perspektif kemudian alternatif ideologi cara memotret Islam, maka sebagian besar umat Islam tetap akan jatuh di pemahaman harfiah yang bisa memicu ke arah kebencian itu.”
Kalau menurut Anda, corak Islam seperti apa yang terbaik dan bisa diterima oleh semua orang?
“Saya rasa kita harus menggali pendekatan dan pemahaman yang lebih mengedepankan sisi-sisi Islam yang sejuk, yang damai. Itu bisa kita temukan yang menjadi kajian guru-guru kita yaitu Dr. Haidar Bagir. Saya juga mempelajari beberapa tulisan Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi, dan saya sangat senang sekali. Pendekatan mereka memperlakukan manusia sebagai manusia. Dengan pendekatan cinta. Mencintai manusia apapun latar belakang yang tak bisa mereka pilih sebagai orang beragama. Rasanya, ini yang dibutuhkan oleh dunia.”
“Saya misalnya, sangat terkesan sekali dengan Jalaluddin Rumi yang dikunjungi oleh tak hanya orang Islam, tapi juga oleh orang Yahudi, oleh orang Nasrani, oleh semua agama. Yang ketika wafat orang Yahudi mengatakan ia bagaikan Musa bagi kami. Orang Kristen mengatakan Ia adalah Isa bagi kami.”
Semangat mendakwahkan kebenaran yang diyakini itu kan ada di tiap orang, bagaimana caranya agar mendorong mereka menggunakan cara dakwah cinta ini?
“Saya rasa memang tidak mudah. Dulu saya berada di wilayah itu. Di situ saya merasa Islam itu sebuah ego, seperti katak dalam tempurung, atau serupa yang lain dengan kaca mata kuda. Ternyata itu menyusahkan. Itu menimbulkan konflik. Itu meninggalkan atau justru menimbulkan bara di dalam relasi kemanusiaan, apalagi zaman sekarang. Saya punya kritik yang sangat keras soal ini.”
“Nah, di era sekarang, pilihan ideologi yang tepat itu adalah ideologi keagamaan yang terbuka, lapang, inklusif, paham terhadap pluralisme dan sebagainya. Sebab apa? Kita tidak lagi mungkin merasa dengan ego tinggi mengklaim Islam dan umat Islam ini sesuatu yang unik, sesuatu yang harus diistimewakan, tidak bisa lagi. Islam bukan suatu kampung yang khusus, karena itu bagi saya kritik yang besar adanya klaim-klaim eksklusifisme, perumahan Islami, panti pijat syariah, itu membatasi di saat dunia ingin melepaskan sekat dan batas-batas.”
“Karena itu bagi saya menjadi aneh kalau kemudian ada orang yang hidup dalam dunia, yang sekat-sekat itu sudah rontok, hancur, tetapi membangun teologi yang eksklusif, itu tidak mungkin, akan susah.”
“Sebagai contoh misalnya, saya selalu menyadarkan mahasiswa saya di sekolah bisnis (Prasetiya Mulya) itu. Anda sebagai pebisnis tidak mungkin lagi memegang, mengendarai ideologi keagamaan yang eksklusif, yang tertutup, yang tidak mau dialog dengan orang lain. Karena aAda sebagai pebisnis membutuhkan cara pandang yang welcome, yang terbuka menerima rekan, mitra, kolega bisnis. Bagaimana mungkin akan mampu membangun jaringan kalau dalam dirinya sudah ada sekat; oh, itu pebisnis kafir, itu pebisnis Ahmadiyah, itu pebisnis Syiah?”
“Bagi saya ideologi tertutup, ideologi katak dalam tempurung sudah tidak lagi relevan untuk kita dan tidak lagi perlu dibela bagi saya. Dunia sekarang adalah dunia yang terbangun dalam jaringan kebersamaan, simbiosis mutualisme yang saya pikir agama sudah bisa kita pilah. Urusan teologi, urusan syahadat, urusan akidah mari kita nikmati secara individual secara personal. Tetapi ketika menyangkut aksi kebersamaan, relasi, amal, kemanusiaan, sosial, kita kerjakan bersama.” (Muhammad-Malik/Yudhi)