Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Imunitas Sosial dan Toleransi Rasional

Syafinuddin Al-Mandari

Syafinuddin Al-Mandari*

Masyarakat itu adalah sebuah sosok. Dewi Candraningrum (2013) bahkan mengkonstruksi perspektif ini dengan menyatakan keyakinannya lewat studi ilmiah bahwa seseorang harus meletakkan perilaku individu menurut ajaran yang dipercayainya merupakan bagian dari tubuh sosialnya. Jauh sebelum Dewi melakukan studi atas sebuah kultur dan ajaran berpakaian sebagai refleksi tubuh sosialnya, yang membawanya kepada kesimpulan bahwa masyarakat itu memiliki tubuh. Seorang pemikir Muslim kontemporer, Mutadha Muthahhari (1978) menjelaskan bahwa sebagaimana individu, masyarakat juga memiliki jiwa. Ada jiwa individu dan juga ada jiwa sosial.

Perspektif-perspektif di atas membawa implikasi bahwa jika ada kelahiran individu, maka masyarakat pun dapat dilahirkan. Masyarakat juga mengalami pertumbuhan dan perkembangan hingga kematian. Karenanya, maka ada juga apa yang disebut sebagai kematian sosial.

Ada masyarakat sehat sebagaimana adanya masyarakat yang sakit. Demi menghindari sebuah masyarakat menjadi sakit, diperlukan imunitas sosial. Imunitas sosial dalam tulisan ini diartikan sebagai daya tahan masyarakat terhadap hal-hal yang dapat merusak kesehatan organ-organ dan satuan-satuan pembentuk masyarakat lainnya.

Masyarakat Imun

Masyarakat imun ditandai dengan adanya perlawanan komponen masyarakat terhadap unsur eksternal pembawa penyakit sosial. Salah satu penyakit sosial yang mematikan adalah konflik. Dulu di era Orde Baru sebuah jargon yang amat terkenal adalah stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Kehidupan bangsa yang stabil menjadi salah satu andalan Orde Baru dengan sesuatu yang sering disebut sebagai Trilogi Pembangunan. Konsep ini menempatkan stabilitas sebagai kata kunci utama untuk memberi jaminan berjalannya roda ekonomi dalam desain pembangunan nasional.

Pencapaian situasi sosial yang stabil dalam pandangan pemerintah saat itu meniscayakan kebijakan struktural sekuat mungkin. Kalau perlu dengan tangan besi agar masyarakat dapat menikmati situasi rendah konflik di permukaan. Fakta memang menunjukkan bahwa konsep ini efektif meredam konflik dalam waktu tertentu. Lapisan di bawah permukaan berkata lain. Kondisi ini justru menumpuk residu kecurigaan, kesalahpahaman, dendam, dan sejenisnya yang pada suatu saat gampang meletus.

Perubahan sosial pada tahap berikutnya muncul ibarat menurunnya daya tahan tubuh masyarakat. Segala yang semula tersimpan menjadi endapan tersebut dengan gampang terkuak dan menyerang kedamaian serta merusak rasa aman anggota masyarakat. Rentannya masyarakat oleh serangan penyakit ini dapat diperhatikan pada fakta-fakta konflik Ambon (1999), Poso (2001), Sampit (2002), Transito (2007), Sampang (2012), serta kasus SARA lainnya.

Pendekatan yang digunakan dalam konsep stabilitas nasional atau stabilitas sosial tersebut ibarat sebuah proses injeksi bahan asing ke dalam tubuh sosial yang hanya dapat memaksa “konflik sosial” tersebut tiarap dan menunggu saat yang tepat untuk menyeruak dan mengejutkan masyarakat. Konflik sosial yang sulit dikelola dan dipulihkan akan hidup terus-menerus dalam masyakarat hingga terkapar di liang kubur sejarah. Masa depan hanya akan mengenangnya bahwa pada masa lalu di tempat tersebut  pernah hidup sebuah masyarakat.

Apa sajakah yang mati dalam serangan konflik yang dapat disamakan dengan kematian masyarakat tersebut? Tidak lain adalah ikatan-ikatan sosial yang dibangun berdasarkan nilai-nilai pembangun sistem berperilaku. Keluhuran, keadaban, kebenaran, kemanusiaan, kejujuran, keadilan, persamaan, dan sejumlah nilai baik itu tampil menjadi spirit sosial universal. Apabila ada kelompok sosial tampil berlawanan dengan nilai-nilai tadi sesungguhnya itulah sumber penyakit sosial itu.

Selama ikatan berupa spirit sosial itu tumbuh dengan baik, maka masyarakat itu tetap sehat dan tentu akan produktif menjadi sebuah peradaban besar. Oleh sebab itu, sampai di sini secara sederhana dapat dipahami bahwa perusak bangunan masyarakat adalah konflik, sebab konfliklah yang dapat melepas ikatan-ikatan spirit sosial tadi hingga bercerai-berainya komponen penyusun masyarakat.

Imunitas sosial dalam konteks ini menjadi sesuatu yang amat diperlukan. Imunitas sosial bukanlah formula sturuktural yang coba dipaksakan masuk ke dalam tubuh sosial melainkan sesuatu yang terbangun dalam kultur anggota masyarakat dan sudah menyatu dengan aliran darah dan denyut nadi masyarakat. Jika ini juga hilang, maka kematian sosial sungguh-sungguh akan nyata.

Toleransi Rasional

Tidak ada masyarakat yang benar-benar homogen. Tingkat heterogenitasnya sajalah yang berbeda-beda. Masyarakat yang beragam itu membutuhkan sebuah ikatan yang selalu harus terpelihara dengan baik. Salah satu perusak ikatan itu adalah intoleransi. Sikap kesalingpahaman yang juga lahir dari kesalingpercayaan. Francis Fukuyama (2000) menyebutnya dengan trust. Baginya, trust adalah modal sosial.

Sebagai modal sosial, trust sama posisinya dengan uang atau faktor-faktor produksi dalam ekonomi. Ia dapat digunakan untuk mengembangkan suatu usaha dan melipatgandakan capaian bisnis. Demikian pulalah halnya trust itu, dapat digunakan untuk mengembangkan dan melipatgandakan capaian masyarakat. Bagi masyarakat yang merupakan fakta heterogenitas, kultur, kebiasaan, hingga selera, sangat membutuhkan modal sosial ini.

Salah satu hal yang amat penting dalam menumbuhkannya adalah toleransi. Toleransi adalah konsep tentang sikap saling menerima dan memahami perbedaan tersebut tanpa harus mengurangi kepercayaan bahwa karakter khas suatu pihak adalah lebih baik, benar, unggul atau sempurna daripada yang lain. Tidak hidupnya toleransi sesungguhnya dapat menjadikan hilangnya imunitas sosial dan membawa tampilnya masyarakat menuju kerentanan penyakit.

Meski demikian, toleransi mendapat kritik berbagai pihak. Ada yang berpendapat bahwa toleransi juga justru menjadi alat untuk mengundang penyakit lainnya sebab toleransi disamakan dengan sikap permisif terhadap segala nilai termasuk keburukan dan penyimpangan-penyimpangan. Contoh paling ekstrem adalah penyimpangan keuangan, penyalahgunaan kewenangan, hingga persoalan moral. Menuntut toleransi atau sikap lunak terhadap hal-hal semacam itu sesungguhnya bukanlah sebuah toleransi melainkan sikap permisif. Anggaplah harus dipaksakan bahwa itu juga toleransi, namun dalam konteks pencapaian imunitas sosial, kita hanya butuh toleransi rasional. Toleransi yang dibangun di atas kerangka dan pertimbangan-pertimbangan akal sehat atau nurani manusiawi.

Toleransi rasional inilah yang dapat membedakan sikap tanpa kompromi bukan kepada perbedaan agama dan pilihan kepercayaan relijius dan semacamnya, melainkan kepada perilaku destruktif dalam domain publik, misalnya korupsi, penindasan, dan sebagainya.

Toleransi rasional lebih ramah kepada agama-agama namun bersikap tegas terhadap perilaku destruksi kemanusiaan. Wallahu a’lam.

*Penulis adalah pembina Sekolah Cinta Bangsa, Jakarta.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *