Artikel
#Imamah: Munculnya Selisih Pendapat tentang Imamah
sebelumnya #Imamah: Makna Imamah dan Wilayah
Berbagai hadis, riwayat dan catatan sejarah Islam memang memperlihatkan bahwa perselisihan pendapat atau ikhtilaf seputar imamah dan kekhalifahan bergemuruh sejak terjadi pertemuan di Saqifah Bani Saidah sepeninggal Rasulullah saw, dan kemudian mendapat perhatian serius dari para ulama dan umat Islam. Namun demikian, gejala ikhtilaf ini sebenarnya sudah terlihat sejak Rasulullah masih hidup. Saat itu, sekelompok orang sudah berkasak-kusuk menyikapi kepemimpinan umat Islam pasca Rasul. Sebagian orang seperti Akhnas bin Syawiq, pemimpin Yamamah, menyatakan bersedia menerima Islam dengan syarat kepemimpinan dan kekhalifahan diserahkan kepada mereka sepeninggal Rasul saw. Akhnas dan kelompoknya kemudian menolak Islam karena Rasulullah menolak syarat tersebut. [Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Tarikh Tabari, 3/1172; Ja’far Subhani, Peswa-i az Nazar-e]
Pada lembar sejarah yang lain diungkapkan, setiap kali hendak meninggalkan Madinah untuk bermusafir atau berjihad, Rasulullah saw selalu menunjuk seseorang untuk menggantikan posisinya. Kebiasaan tersebut membangkitkan rasa penasaran kaum muslim terhadap masalah kepemimpinan Islam.
Baca juga Kepemimpinan Imam Ali as dan Keturunannya dalam Tinjauan Hadis dan Sunnah
Semua ini menunjukkan bahwa pendirian Syiah perihal imamah bukan awal dari munculnya isu imamah pasca Rasul saw. Sebaliknya, masalah ini bahkan sedikit banyak sudah ada dalam pikiran umat ketika Rasulullah masih hidup. Lebih dari itu, sebagaimana terlihat dari dalil-dalil qathi yang dikemukakan para mutakalim Syiah, isu imamah dan kepemimpinan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as sudah diangkat ke permukaan dan ditekankan berulang kali oleh Rasulullah saw sendiri.
Dampak lsu lmamah
Sebagian ulama Ahlusunah berpendapat bahwa ikhtilaf mengenai imamah dan kekhalifahan sepeninggal Rasulullah saw adalah persoalan historis yang sudah kedaluwarsa dan tidak lagi memiliki manfaat ilmiah untuk dibahas dan diungkit lagi.
Pendapat demikian menurut ulama Syi’ah tidaklah tepat, karena perkara imamah memiliki berbagai dimensi historis, ilmiah, sosial dan keagamaan. Pembahasan seputar imamah bukan sebatas isu sejarah yang kemudian keluar dari konteks kekinian masyarakat. Sebaliknya, isu imamah berkaitan erat dengan konsep dan pola pemerintahan Islam yang notabene merupakan salah satu isu kontemporer yang sangat krusial. Agama dan hukum-hukum Islam adalah sesuatu yang abadi dan berlaku untuk selamanya. Karena itu, pembahasan tentang karakteristik pelaksana hukum-hukum Islam, yakni imam dan pemimpin umat Islam, praktis juga tak kenal batas akhir.
Kedudukan imamah sangat vital di tengah umat. Karena itu, imam sebagai pemegang otoritas dan pelaksana hukum-hukum Islam harus ditetapkan oleh Allah Swt, bukan berdasar konsensus (ijma’) dan permusyawaratan (syura) umat. lika kita mengakui “imam” merupakan kedudukan berdasar pengangkatan maka harus pula kita akui bahwa implementasi hukum-hukum Islam harus dilimpahkan kepada orang-orang yang diserahi tanggung jawab memimpin umat.
Berkenaan dengan masa kegaiban Imam Terakhir yang diangkat oleh Allah dan rasul-Nya-yaitu kegaiban yang terjadi karena faktor keadaan yang tidak kondusif-timbul pertanyaan, yakni: Bagaimanakah konsep Islam dan para imam dalam masalah pelaksanaan hukum-hukum Islam di masa kegaiban? Apakah di era itu pemimpin umat Islam juga ditunjuk oleh Rasulullah saw dan para imam ataukah umat Islam sendiri dapat memilih siapapun yang mereka kehendaki sebagai pemimpin? Dari penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa isu imamah adalah isu tentang konsep pemerintahan Islam untuk sepanjang zaman.
Satu lagi fungsi imamah dalam pandangan Syiah ialah [keberadaannya] sebagai penerang dan penjelas prinsip, makrifat, hukum dan furu’ agama, serta sebagai penentu keputusan atas perselisihan yang terjadi di tengah umat Islam. Pandangan ini tentu berpijak pada sabda Rasulullah saw. Karena itu, otoritas ilmiah para imam maksum bukan hanya bagi umat yang hidup sezaman dengan mereka, melainkan juga merupakan hujah bagi seluruh umat Islam dari generasi ke generasi. Otoritas ilmiah para imam maksum dapat menyelesaikan banyak persoalan intelektual, sosial, ekonomi dan lain sebagainya.
Baca juga Perbedaan Khilafah dan Imamah
Pembicaraan seputar imamah juga tidak serta merta menyalahi semangat solidaritas dan persatuan umat Islam; sebab, masih banyak titik temu yang bisa diangkat. Sedangkan tema-tema ikhtilafnya pun masih dapat didiskusikan di ranah intelektual secara arif, ramah, bersahabat dan bebas dari apriori dan fanatisme. Apalagi Alquran dengan tegas berpesan kepada umat Islam supaya menampung segala masukan yang ada, lalu memilih yang terbaik di antaranya.
Pendekatan antarmazhab ditujukan untuk mempraktikkan pendekatan antarpemikiran dan sikap saling toleran serta memberikan keutamaan pada banyak titik persamaan yang dapat menunjang persatuan dan kekompakan umat Islam di depan para mustakbirin dan kaum anti-agama. Misi inilah yang membuat Rektor al-Azhar Syekh Mahmud Syaltut secara resmi membolehkan siapapun mengikuti mazhab Syiah di sisi saudara-saudara yang mengikuti mazhab Ahlussunnah. Syekh Syaltut berkata: “Mazhab Ja’fari yang lebih dikenal dengan mazhab Syiah lmamiah Itsna Asyariah secara syariat dapat diikuti sebagaimana mazhab-mazhab Ahlussunnah lainnya.” [Jafar Subhani, peswa-i az Nazar-e, hal-14.
Jurnal Bayan, vol. III, No.1, thn 2013.