Ikuti Kami Di Medsos

Artikel

Makna Imamah dan Wilayah

Realitas kondisi kini tak pelak memaksa masyarakat untuk berpikir ulang dan menanyakan kembali perihal kepemimpinan. Yakni, ketika sebuah masyarakat dirundung perkara-perkara pelik dan menentukan untuk suatu perbaikan dan kemaslahatan, biasanya “teriakan” yang lengking terdengar ialah mempersoalkan tentang kepemimpinan. Ini menguatkan anggapan bahwa kehadiran pemimpin yang benar dan adil selalu hadir dalam relung sukma masyarakat. Soal kepemimpinan memang selalu berjalin-kelindan dengan setiap perubahan yang penting dilakukan, guna memperbaiki kondisi masyarakat.

Ketika para pemikir dan praktisi seolah berlomba ingin merumuskan sebuah tatanan masyarakat, pemerintahan atau tatanan dunia yang sedemikian, mustahil mereka membuang “bab” kepemimpinan di dalamnya. Pembicaraan dan urusan kepemimpinan berikut kewenangannya itu tak pernah bisa terelakkan, sebab ia memang menjadi fitrah masyarakat yang tak mungkin dihapuskan sejauh bangunan masyarakat itu ada.

Tulisan ini disajikan untuk memeriksa ulang konsepsi masyarakat tentang kepemimpinan, yang tak bisa dipungkiri, merupakan fondasi yang senantiasa dibutuhkan dalam setiap riak dan gerak perjalanan sejarah, kebudayaan dan peradaban -baik di tingkat lokal maupun global.

Sebelum memasuki bahasan, kita perlu melempar beberapa pertanyaan yang berkorelasi dekat dengan perkara kepemimpinan dalam bahasan ini. Di antaranya: Mengapa kepemimpinan sepeninggal Rasulullah saw harus berdasarkan nash dan bukan atas dasar pemilihan umat? Bagaimanakah kedudukan imam maksum sepeninggal Rasulullah saw? Apakah penantian juru selamat sebagai pemimpin global merupakan fitrah sosial? Bagaimana hal ini berkembang di tengah umat muslim dan penganut agama lain? Bagaimana imamah para imam maksum bersesuaian dengan prinsip khatamiyyat kenabian? Bagaimanakah kaitan imam dengan Rasulullah saw? Benarkah isu imamah adalah isu sejarah yang kini sudah kedaluwarsa, ataukah imamah merupakan isu yang selalu relevan sepanjang zaman? Bagaimanakah pengertian tentang “penantian” berkembang di tengah masyarakat, dan konsep yang mana yang sesuai dengan ajaran Alquran?

Makna Imamah dan Wilayah

“Imam’ berarti pemuka dan pemimpin. Kata ini berasal dari kata ‘amma’ yang berarti ‘bermaksud’ dan / atau ‘memerhatikan’. Pemimpin disebut sebagai imam karena kepada dialah masyarakat memiliki maksud dan memberikan perhatian tersendiri. Dalam Alquran kata ‘imam’ dipakai untuk menyebut pemimpin yang saleh atau tidak saleh, seperti disebutkan dalam ayat, (IngatIah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya.

Dalam kamus para mutakalim Syiah, ‘Imam’ adalah istilah untuk menyebut seseorang yang menjadi pengganti dan penerus Rasulullah saw sebagai pemimpin universal, yang berwatak luhur dan agung, dan memiliki otoritas dalam segala urusan duniawi dan ukhrawi umat Islam.

Sesuai definisi ini, meskipun bukan seorang nabi, imam adalah sosok yang memegang seluruh kedudukan dan urusan atau fungsi kenabian. Karena itu, imam harus memiliki karakteristik sebagai berikut:

  1. Diangkat oleh Allah Swt.
  2. Terjaga dari dosa dan kesalahan (maksum). Sebab tanpa kemaksuman seorang imam tidak mungkin dapat dipercaya penuh oleh umat sebagai panutan yang mutlak dan sosok yang tertanam dalam pikiran dan sanubari mereka. Imam harus steril dari segala bentuk ketergelinciran dalam kesalahan agar tidak ada kemungkinan ia menggiring umat kepada kesalahan.
  3. Memiliki ilmu ladunni (ilmu yang didapat dari ilham, bukan dari belajar-penerj.) yang luas dan komprehensif dalam segala urusan keagamaan, lahir-batin, agar tidak memerlukan bantuan orang lain dalam menjelaskan permasalahan keagamaan, juga tidak perlu meminta pertolongan orang lain dalam mengatasi persoalan ilmiah dan keagamaan yang terjadi di tengah umat. Tanpa ilmu sedemikian luas seorang imam tidak mungkin dapat menutupi kevakuman kepemimpinan dan teladan umat pasca kepemimpinan Rasulullah saw di tengah umat Islam.

Para mutakalim Ahlusunah menolak definisi para mutakalim Syiah tersebut. Mereka berpendapat bahwa imamah (keimaman) adalah kedudukan yang biasa tanpa perlu adanya sesuatu yang “harus transenden” (bersifat Ilahiah). Menurut mereka, imamah adalah kedudukan yang diserahkan kepada seseorang berdasar suara umat, khususnya kaum Muhajir dan Ansar, atau para alim ulama yang lazim disebut “ahlul halli wa an-aqdi” (ulama yang berwenang menentukan dan memutuskan masalah atas nama umat-penerj.). Sebagian pemikir Ahlusunah bahkan berpendapat bahwa seorang imam dapat berkuasa atas masyarakat berdasar kekuatan senjata, dan tidak harus disingkirkan seandainya pun dia adalah seorang fasik dan peminum khamr.[Ja’far Subhani, Pisywa-i az Nazar-e Islam, hal.23]

Ibnu Khaldun, salah seorang ulama Ahlussunnah yang cukup banyak dikutip dalam soal ini, dalam bukunya, Muqaddimah, menjelaskan perbedaan pandangan Syiah dan Ahlusunah tentang imamah sebagai berikut:

“Imamah dalam pandangan Ahlusunnah adalah bagian dari maslahat umum yang bergantung pada umat: siapapun yang dipilih oleh umat maka dialah yang menjadi pemimpin dan imam. Sedangkan menurut pandangan Syiah, imam adalah pilar dan fondasi agama yang bahkan Rasulullah saw pun tidak dapat mengabaikannya atau melimpahkannya kepada umat, tetapi harus menunjuknya; dan, imam juga harus terjaga dari segala dosa besar maupun kecil.” [Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal.190; Ja’far Subhani, Pisywa-i az Nazar-e Islam, hal.27]

Dengan demikian, imamah menurut Syi’ah adalah kelanjutan dari tugas risalah, sehingga Rasulullah saw berkewajiban menentukan siapa pemimpin (imam) sepeninggal beliau. Dan karena beliau tidak menetapkan sesuatu kecuali berdasar wahyu maka ketentuan beliau sejatinya adalah ketentuan Allah Swt. Dengan kata lain, seorang imam haruslah sosok yang ditunjuk oleh Allah Swt dan adalah seorang yang maksum. Kecuali itu, tentu masih ada syarat lain, yaitu memiliki ilmu ladunni agar dapat menjelaskan hukum-hukum Islam secara rinci, sahih dan akurat.

 

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *