Berita
Imamah dan Klarifikasi tentang Agama
Berbagai aspek imamah sudah kami bahas. Di sana kami jelaskan bahwa untuk dapat membahas masalah imamah dari sudut pandang yang benar, perlu dipahami dengan jelas aspek-aspek itu. Satu aspek imamah, seperti sudah kami sebutkan, adalah masalah pemerintahan. Setelah wafatnya Nabi Saw, tugas siapakah memilih penerus beliau Saw? Apakah umat itu sendiri yang bertanggung jawab untuk memilih pemimpin mereka dari kalangan mereka sendiri, ataukah Nabi saw sendiri telah menunjuk penerusnya?
Baca pembahasan sebelumnya Imamah dalam Al-Quran dan Hadis
Biasanya pertanyaannya begini: Kami ingin mengetahui seperti apa pemerintahan versi Islam. Apakah turun-temurun, setiap penguasa menunjuk penerusnya, dan rakyat tak berhak campur tangan dalam urusan pemerintahan? Apakah Nabi saw menunjuk orang tertentu menjadi penerusnya, orang itu menunjuk penerusnya, dan penerus itu menunjuk penerusnya, dan dengan demikian bentuk pemerintahannya didasarkan pada penunjukan dan pengangkatan sampai Hari Kiamat? Tentu saja proses ini tak mungkin berlaku pada para imam saja, karena menurut keyakinan pengikut Ahlulbait, jumlah imam hanya dua belas orang saja, dan jumlah ini tak mungkin bertambah atau berkurang.
Menurut pandangan ini, prinsip umum berkenaan dengan pemerintahan ini dapat disamakan dengan prosedur ini. Nabi Saw, yang juga menjadi kepala pemerintahan, menunjuk penerusnya, dan penerusnya kemudian menunjuk penerusnya dan seterusnya sampai Hari Kiamat. Dalam kasus ini, jika Islam menguasai seluruh dunia —dan Islam pernah menguasai separuh dunia— kemudian ajaran atau hukum Islam berjalan di seluruh penjuru dunia, maka hukum yang sama akan berjalan entah ada satu pemerintahan di dunia atau beberapa pemerintahan. Menurut pandangan tersebut, berdasarkan norma umum itulah kepala negara haruslah orang yang ditunjuk; Nabi saw menunjuk Imam Ali bin Abi Thalib as sebagai penerusnya. Namun, dengan memperhatikan filosofi ini, maka Nabi saw tidak perlu segera menunjuk Imam Ali bin Abi Thalib as begitu menerima perintah dari Allah SWT, karena hanya Nabi dan para imam—yang memiliki pengetahuan ilahiah melalui Nabi—yang dapat menerima perintah ilahiah seperti itu. Karena itu, jika diakui bahwa dari sudut pandang Islam pemerintahan harus didasarkan pada prinsip penunjukan, maka Nabi saw tidak perlu menunjuk Imam Ali bin Abi Thalib as dengan wahyu. Nabi saw dapat menunjuknya sesuai kehendaknya. Para imam juga dapat berbuat sama. Berdasarkan ini penunjukan Imam Ali as untuk mengemban khilafah sama dengan penunjukan gubernur Mekah atau penunjukan Amir al-Haj.
Dalam kasus-kasus seperti itu, tak ada yang mengatakan bahwa Nabi saw, begitu menerima wahyu, langsung menunjuk si fulan menjadi gubernur Mekah atau, misalnya, mengutus Mu’azd bin Jabal ke Yaman untuk berdakwah Islam. Setiap orang justru mengakui bahwa Nabi saw mendapat amanat dari Allah SWT, yaitu untuk memerintah atau memimpin umat. Maka Nabi saw mendapat wewenang untuk bertindak menurut pandangannya dalam semua masalah yang tak ada ketentuan wahyunya. Dalam kasus penunjukan Imam Ali bin Abi Thalib as untuk mengemban khilafah, dapat dikatakan bahwa ini merupakan keputusan pribadi Nabi saw.
Jika masalah imamah ini dikemukakan dengan cara sederhana seperti itu, maka jadilah masalah pemerintahan duniawi, dan tak lagi masalah imamah. Kalau seperti ini karakter masalahnya, sungguh wahyu ilahiah tak perlu campur tangan. Paling banter yang dapat dikatakan wahyu ilahiah kepada Nabi saw adalah bahwa Nabi saw berkewajiban menunjuk siapa pun yang dipandangnya tepat untuk menjadi penerusnya, dan bahwa penerusnya juga, dengan cara yang sama, menunjuk penerusnya. Dan seterusnya sampai Hari Kiamat. Jika imamah artinya hanya sekadar pemerintah atau penguasa, maka apa yang dikatakan oleh yang tidak meyakini Imamah tampaknya lebih menarik dibanding apa yang dikatakan pengikut Ahlulbait, karena kaum mereka berpendapat bahwa penguasa tak berhak memilih penguasa selanjutnya, dan bahwa penggantinya dipilih dengan cara demokratis oleh rakyat, khususnya oleh mereka yang berhak memilih.
Namun masalahnya tidak sesederhana itu. Pada umumnya keyakinan pengikut Ahlulbait pada penunjukan Imam Ali bin Abi Thalib as dan imam-imam lain untuk mengemban khilafah merupakan cabang dari masalah lain yang lebih fundamental. Di sini muncul masalah penting. Masalahnya adalah bahwa jumlah imam tak lebih dari dua belas. Lantas setelah dua belas imam ini, siapa penerusnya. Misal saja, Imam Ali bin Abi Thalib as menjadi pemimpin dengan cara persis seperti dia diangkat oleh Nabi saw, dan diikuti oleh Imam Hasan as, Imam Husain as dan seterusnya sampai Imam kedua belas. Kalau begini keadaannya, berdasarkan filosofi pengikut Ahlulbait, tak ada alasan untuk gaibnya Imam kedua belas. Seperti para pendahulunya, Imam kedua belas hidupnya tidak akan seperti sekarang dan kemudian meninggal. Apa yang terjadi sepeninggal Imam kedua belas ini. Mungkinkah jumlah imam bertambah? Bagaimana dengan masalah lain— masalah pemerintahan yang normal dalam keadaan yang ada sekarang. Jelaslah Imam Zaman selama gaib, tak mungkin menjadi pemimpin politik untuk kaum Muslim.
Pemerintahan, Masalah Cabang
Bila membahas masalah imamah dari sudut pandang pengikut Ahlulbait, jangan sampai keliru menyederhanakannya dan mengatakan bahwa arti imamah adalah administrasi pemerintahan. Jika imamah diartikan penguasa, timbul masalah apakah kandidat untuk menjadi kepala negara perlu yang terbaik. Apakah belum cukup kalau kandidat itu relatif yang terbaik. Dengan kata lain, apakah belum cukup kalau dia seorang negarawan yang baik, administrator yang handal dan jujur orangnya, meskipun dalam beberapa hal lain lebih rendah dibanding beberapa orang? Perlukah penguasa itu maksum? Apa perlunya ia maksum? Perlukah ia suka melakukan salat malam? Jika demikian, kenapa? Perlukah ia ahli hukum Islam? Tidak dapatkah ia berkonsultasi bila perlu? Orang yang relatif terbaik tentulah cukup baik. Semua pertanyaan ini muncul kalau problemnya dilihat dari sudut yang sempit. Keliru sekali kalau beranggapan bahwa imamah dan penguasa identik, sesungguhnya masalah penguasa merupakan bagian kecil dari masalah imamah, dan dua masalah ini jangan dikacaukan.
Lantas bagaimana imamah itu?
Imam: Penerus Nabi Menjelaskan Agama
Yang terpenting terkait masalah imamah adalah, siapa yang menggantikan Nabi saw untuk menjelaskan agama secara terperinci. Tak syak lagi, Nabi saw sajalah yang menerima wahyu, dan tak lagi turun wahyu dengan wafatnya Nabi saw.
Sepeninggal Nabi saw, adakah orang yang dapat dipandang sebagai otoritas yang kompeten untuk semua masalah agama dan dapat menjelaskan hukum agama dengan terperinci seperti Nabi saw? Adakah manusia sempurna yang memiliki semua sifat ini? Kami katakan bahwa manusia seperti itu memang ada. Yang membedakan dia dengan Nabi saw hanyalah kalau yang dikatakan Nabi saw dasarnya adalah wahyu langsung dari Allah, sedangkan yang dikatakan imam dasarnya adalah ilmu yang didapatnya dari Nabi saw, bukan dalam pengertian dia dididik dengan cara yang lazim kita kenal, namun dalam pengertian seperti dikatakan oleh Imam Ali as bahwa Nabi saw membukakan baginya pintu ilmu, dengan terbukanya pintu ilmu ini seribu pintu yang lain terbuka pula baginya.
Kita tak mungkin menjelaskan bagaimana kejadiannya, sebagaimana kita tak dapat menjelaskan wahyu dan menjelaskan cara Nabi saw menerima wahyu langsung dari Allah SWT. Kita tak mungkin menjelaskan hubungan spiritual seperti apa antara Nabi saw dan Imam Ali bin Abi Thalib as, namun yang pasti Nabi saw mengajarkan dengan lengkap kepada Imam Ali as semua realitas, dan Nabi saw tidak mengajarkan ilmu itu kepada orang lain. Imam Ali as mengatakan bahwa ketika tengah bersama Nabi saw di gua Hira, dia mendengar suara seakan-akan seseorang tengah menangis. Dia berkata kepada Nabi saw, “Wahai Rasul Allah, aku mendengar tangisan setan ketika wahyu turun kepadamu.” Nabi saw berkata, “Wahai Ali, engkau mendengar apa yang aku dengar, dan engkau melihat apa yang aku lihat, hanya saja engkau bukan Nabi.” (Nahj al-Balâgkah, khutbah 192) Seandainya ada orang lain di tempat itu bersama Imam Ali as, orang lain itu tentu tak akan mendengar suara itu, karena mendengar seperti itu bukan menangkap gelombang suara sehingga siapa pun yang punya telinga dapat mendengarnya. Mendengar seperti itu adalah persepsi yang lain.
Murthada Muthahari, Manusia dan Alam Semesta