Berita
Imamah dalam Arti Wilayah
Pembahasan sebelumnya Imamah dalam Arti Pemimpin Masyarakat dan Keagamaan
Ini merupakan arti ketiga imamah, dan sungguh artinya yang paling tinggi. Dalam ajaran Ahlulbait, pengertian seperti ini sangat dititikberatkan. Namun kalau kami katakan demikian, jangan salah paham, karena mungkin Anda mendapati apa yang dikatakan kaum orientalis mengenai hal ini. Mereka mengatakan bahwa wilayah adalah masalah yang sangat mendapat perhatian kaum sufi dan [kemudian] mendapat perhatian kalangan pecinta Ahlulbait juga sejak masa awal Islam. Saya ingat bahwa sekitar sepuluh tahun silam seorang orientalis mewawancarai Allamah Thabathaba’i. Salah satu pertanyaan yang diajukannya adalah apakah kalangan pecinta Ahlulbait mengadopsi konsep wilayah dari kaum sufi, atau kaum sufi mengambilnya dari kalangan pecinta Ahlulbait.
Faktanya adalah doktrin wilayah sudah ada di kalangan pecinta Ahlulbait tatkala tasawuf belum ada. Masalah wilayah dapat disamakan dengan masalah manusia sempurna dan penguasa zaman. Kaum sufi sangat menekankan poin ini. Rumi mengatakan bahwa di setiap masa ada seorang wali, qa’im (penguasa zaman). Di setiap masa ada seorang manusia sempurna yang memiliki semua keunggulan manusiawi. Tak ada zaman yang tak ada wali sempurnanya, yang sering digambarkan sebagai quthb (poros, otoritas). Kaum sufi percaya bahwa wali sempurna adalah juga manusia sempurna. Mereka menganggap wali sempurna memiliki banyak jabatan, sebagiannya tak dapat kita mengerti, Salah satu jabatannya adalah mengendalikan hati manusia, dalam pengertian bahwa dia adalah ruh universal yang mengungguli semua roh.
Baca juga Arti Imamah
Sementara itu, kalangan pecinta Ahlulbait pada umumnya menggunakan kata wilayah dalam artinya yang paling tinggi. Mereka percaya bahwa wali dan imam adalah penguasa zaman, dan selalu ada seorang manusia sempurna di dunia ini. Dalam kebanyakan ziyarah (penghormatan) yang kami baca, kami mengakui eksistensi wilayah dan imamah dalam pengertian ini, dan percaya bahwa imam memiliki roh universal. Dalam ziyarah itu, yang kami baca dan kami anggap sebagai bagian dari ajaran Ahlulbait, kami mengatakan, “Aku memberikan kesaksian bahwa engkau melihat di mana aku berada; engkau mendengar perkataanku dan membalas salamku.”
Perlu dicatat bahwa kami sampaikan itu kepada seorang imam yang telah wafat. Dari sudut pandang kami, dalam hal ini tak ada bedanya antara imam yang telah wafat dan imam yang masih hidup. Kami katakan, “Salam atasmu, Ali bin Musa ar-Ridha. Aku menyadari dan memberikan kesaksian bahwa engkau mendengar dan membalas salamku.”
Masalah imamah ada beberapa derajatnya, sebagian dari mereka mengatakan bahwa Nabi saw mengangkat Imam Ali as sebagai pemimpin masyarakat sepeninggalnya, dan tak ada yang boleh mengklaim posisi ini. Orang-orang seperti ini tidak mempercayai dua derajat selanjutnya (otoritas keagamaan dan wilayah), atau bungkam tentang dua derajat tersebut.
Murthada Muthahari, Manusia dan Alam Semesta