Akhlak
Imam Khomeini: Telaah Hadis Ujub [Bag. 7]
Salat yang dilakukan untuk pencapaian keuntungan duniawi atau untuk memperoleh balasan di akhirat bukanlah untuk Allah Swt. Jika itu untuk Allah, di manakah ruang untuk rasa berbangga diri? Hal apakah yang kau miliki untuk merendahkan makhluk-makhluk Allah Swt dan untuk menganggap dirimu sebagai orang penting di mahkamah Allah? Manusia yang malang, kau patut mendapat hukuman atas salat dan ibadahmu itu; dan untuk itu kau patut dirantai dengan 70 meter rantai. Lalu Mengapa kau anggap dirimu sebagai seorang yang berhak mendapat hadiah telah memberikan keuntungan pada Allah Swt?
Baca pembahasan sebelumnya Imam Khomeini: Telaah Hadis Ujub
Mengapa kau menumpuk siksaan lain bagi dirimu dengan meneruskan harapan yang sia-sia dan bertahan dalam ujub ini? Laksanakanlah tugas-tugas yang diwajibkan kepadamu dengan baik dan ingatlah selalu bahwa ibadahmu itu bukan semata-mata demi Allah Swt; dan jika Allah mengirimmu ke surga itu semata-mata karena limpahan belas kasih-Nya. Ingatlah bahwa Dia telah memberikan keringanan bagi beraneka jenis syirikmu yang telah tertanam kuat dengan kasih sayang dan ampunan-Nya, Dia menutupi dosa-dosamu dengan tabir-Nya. Jangan sampai tabir itu terkoyak dan tabir pengampunan disingkapkan dari wajah buruk yang kita sebut sebagai ibadah ini. Semoga Allah Swt menghindarkannya jika keringanan itu ditarik dan seluruh perbuatan kita dihakimi sesuai dengan garis keadilan. Ingatlah bahwa ibadah palsu kita tidak lebih baik daripada dosa-dosa besar para pendosa.
Sebelum ini kita telah mengacu pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh tsiqat al-Islam Al-Kulaini dalam kitabnya Al-Kafi dari Imam Jafar Shadiq as. Berikut ini saya mengutipnya secara lengkap untuk memperoleh keberkahannya:
Berkata Imam Al-Shadiq as, “Rasulullah saw bersabda bahwa Allah berkata kepada Daud. ‘Wahai Daud, sampaikanlah kabar gembira kepada para pelaku dosa dan peringatkan orang-orang Saleh.’ Daud menjawab, ‘Bagaimana aku menyampaikan kabar gembira kepada para pelaku dosa dan memperingatkan orang-orang saleh? Allah Swt menjawab, sampaikanlah kabar gembira kepada para pelaku dosa bahwa Aku menerima taubat mereka dan memperingatkan orang-orang saleh agar mereka tidak memiliki sifat ujub dalam perbuatan-perbuatan mereka, karena tidak ada seorang hamba pun yang akan selamat jika Aku menilai perbuatan-perbuatan mereka. [dan patut mendapat hukuman karena menurut persyaratan keadilan seorang manusia dengan seluruh ibadahnya tidak dapat bersyukur kepada Allah Swt sebagaimana seharusnya, bahkan untuk satu rahmat-Nya pun].”
Jika orang-orang yang saleh yang bebas dari semua dosa patut mendapat kutukan bila dinilai secara adil, lalu bagaimanakah nasib orang-orang seperti aku dan engkau? dan itupun jika perbuatan-perbuatan kita bersih dan bebas dari riya duniawi dan segenap noda yang kemungkinannya amat kecil. Maka dari itu kini berbanggalah jika ada alasan untuk merasa bangga dan ujub. Namun jika engkau menyadari bahwa kini adalah saatnya untuk merasa malu dan menyatakan pengakuan kepada Allah Swt karena telah mengucapkan semua dusta itu dihadapan Allah dan karena secara salah menisbahkan semua perbuatan baik itu — kalaupun ada– kepada diri kita sendiri. Bukankah kini saatnya untuk bertaubat karena engkau mengeluarkan pernyataan berikut ini dihadapan Allah dalam salatmu.
Ku hadapkan wajahku dalam keikhlasan dan ketundukan kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi, dan aku bukanlah dari kelompok orang-orang musyrik. Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku untuk Allah penguasa alam.
Benarkah wajahmu menghadap kepada Pencipta langit dan bumi? Benarkah kau seorang yang muslim [tunduk] dan bebas dari syirik? Benarkah salat, ibadah hidup dan matimu untuk Allah? tidakkah kita seharusnya merasa malu ketika dalam salat mengucapkan Alhamdulillahirobbilalamin? Benarkah engkau dengan ikhlas memandang seluruh sifat baik itu diturunkan dari Allah padahal kau tidak hanya tunduk kepada-Nya tetapi juga kepada selain-Nya?? Apakah bukan suatu dusta jika secara lahir engkau mengakui bahwa Allah adalah rabbil alamin sementara sebenarnya kau tunduk kepada kekuasaan selain-Nya? Adakah sedikit rasa malu dan sesal dalam hatimu ketika mengucapkan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in? Apakah kau benar menyembah-Nya atau menyembah dagingmu sendiri? Apakah engkau benar-benar menuju kepada-Nya atau hanya menginginkan para bidadari surga?
Apakah engkau hanya meminta pertolongan kepada Allah? dalam perbuatanmu apakah engkau hanya memandang-Nya? Ketika engkau pergi ke Baitullah, Ka’bah untuk melaksanakan haji, apakah Allah Swt benar-benar satu-satunya tujuanmu? dan apakah pemilik rumah itu yang menjadi tujuanmu sebagaimana dikatakan seorang penyair
Bukan rumahmu itu yang menarik hatiku
tapi penghuni rumah itu yang ku cintai
Engkau yang berjarak ribuan mil dari cinta Allah janganlah berpikir sebaik itu tentang dirimu. Janganlah mengumbar kata-kata dan berbangga terhadap dirimu sendiri, tanyalah hatimu apakah ia sedang menuju Allah ataukah ia sedang mencintai dirinya sendiri? lalu untuk apakah ujub ini? apakah artinya kegembiraan yang berlebihan ini?
Bahkan jika misalnya saja perbuatan-perbuatan itu memenuhi seluruh persyaratan dan bebas dari riya, syirik, ujub dan sifat buruk lainnya, apakah tujuannya bukan tujuan nafsu? Apakah sifat baik yang dimilikinya sehingga engkau menganggapnya layak dibawa oleh para malaikat untuk dipersembahkan kepada-Nya? Tidakkah kita seharusnya merasa malu dan berpikir untuk berbuat sesuatu untuk menutupi semua itu.?
Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari tipu daya setan dan muslihat al-nafs al-ammarah. Lindungilah kami dari tipu muslihat mereka, demi Rasulullah saw dan Ahlulbait beliau.
Imam Khomeini, “40 Hadis: Hadis-hadis Mistik dan Akhlak”