Berita
Imam Khomeini: Telaah Hadis Riya (Bag. 4)
Ajakan Ikhlas dalam Berbuat
Karena itu, gosoklah cermin hatimu agar cahaya kebesaran Ilahiah dapat terpantul dan menjadikanmu melupakan dunia ini dan segala isinya. Lalu hatimu menyala dengan api cinta-Nya sehingga seluruh keterikatanmu dengan dunia ini terputus habis dan tidak sesaat pun dirimu terikat dengan benda-benda duniawi. Kemudian engkau mengecap kenikmatan luar biasa dengan mengingatnya sedemikian sehingga seluruh kenikmatan hewani di dunia ini tampak bagimu sebagai tipuan. Kalau pun engkau tidak mencapai kedudukan tersebut, janganlah engkau acuhkan karunia Allah Swt yang dijanjikan, yang akan diberikan di alam berikutnya, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran dan hadis para Maksum demi memperoleh penghormatan yang berumur pendek dari para makhluk lemah. Janganlah menjual kebahagiaan abadi dengan penderitaan abadi.
Pembahasan sebelumnya Imam Khomeini: Telaah Hadis Riya (Bag. 3)
Ketahuilah, Raja segala Raja pemberi kebahagiaan sejati telah menganugerahkan seluruh rahmat-Nya kepada kita. Diciptakannya segala sesuatu ini bagi kita dan bahkan semua itu telah dipersiapkan oleh-Nya sebelum kita datang ke dunia ini. Dia ciptakan bagi kita makanan yang dapat dicerna perut kita yang lemah ini. Dia ciptakan bagi kita udara dan iklim yang cocok. Dia telah menganugerahkan kepada kita seluruh bantuan-Nya yang gaib atau pun terlihat di dunia ini dan alam nanti. Setelah menghimpun seluruh rahmat-Nya lalu Dia meminta kita untuk menjaga kesucian hati kita agar dapat menjadi tempat bagi-Nya sehingga kita sendiri akan mendapatkan manfaat akan kehadiran-Nya. Meskipun kita telah mendengar seluruh peringatan ini, kita masih tetap tidak mematuhi-Nya, tidak memperhatikan firman-firman-Nya, dan tidak berbuat sesuai keinginan-Nya. Apakah ini bukan suatu pembangkangan yang besar? Dengan siapakah kita akan mengobarkan perang yang akibat-akibatnya kelak harus kita hadapi? Kita sama sekali, sekecil apapun, tidak akan mampu menggoyahkan kerajaannya dan kita tidak akan dapat melepaskan diri dari jangkauan kekuasaan-Nya. Jika kita berbuat seperti kaum musyrik, kita sedang membahayakan diri kita sendiri karena: Sesungguhnya Allah tidak bergantung pada [seluruh] ciptaannya. [QS. Ali Imran: 97]
Dia tidak membutuhkan pengabdian, penyembahan, atau ketundukan kita. Setiap pembangkangan, kemusyrikan, dan kemunafikan yang kita lakukan tidak akan mengurangi kekuasaannya sama sekali. Namun, mengingat Dia adalah Sang Maha Pengasih, rahmat-Nya tidak terbatas dan kebijaksanaan-Nya yang sempurna mengharuskan kita mencari jalan yang lurus. Dan untuk itu, Dia telah membedakan dengan jelas antara kebaikan dan kejahatan, mana yang indah dan mana yang buruk, serta mengingatkan kita akan ancaman dan bahaya yang akan menghadang di jalan kesempurnaan dan kebahagiaan sejati manusia. Kita berhutang kepada Allah Swt atas petunjuk tersebut dan kita harus menunjukkan dengan seluruh kerendahan dan penghormatan kita yang besar terhadap-Nya dalam segenap ibadah dan doa kita, yang nilai pentingnya tidak dapat kita pahami sebelum memperoleh pandangan akan dunia yang lain. Selama kita bermukim di dunia lahiriah yang sempit ini–terikat matarantai ruang dan waktu–kita tidak dapat memahami tak berhingganya hamparan karunia-Nya kepada kita.
Janganlah pernah terpikir oleh kita bahwa dengan melakukan ibadah, kita telah melakukan sesuatu bagi para Nabi, para Wali, dan ulama besar umat. Mereka adalah pemimpin kita menuju kebahagiaan dan keselamatan kita serta membebaskan kita dari kegelapan, kebodohan, dan kesengsaraan, dus pengajak kita menuju cahaya kesenangan, keriangan, dan keagungan. Betapa berat tanggung jawab yang mereka emban dan penderitaan yang telah mereka alami demi mendidik dan mengentaskan kita dari semua kegelapan akibat berbagai akidah sesat dan kebodohan kompleks kita. Mereka ingin menyelamatkan kita dari beragam tekanan dan siksa yang merupakan bentuk gaib dari segenap watak dan akhlak rendah kita. Mereka menuntut kita mencapai cahaya kedamaian dan ketentraman yang tidak dapat dijamah oleh pikiran kita.
Dunia lahiriah ini, kendati tampak sedemikian luas, sesungguhnya amat terbatas dan sempit sehingga kita tidak dapat membayangkan kenikmatan surga dengan pandangan duniawi ini. Pandangan kita tidak cukup memiliki kekuatan untuk menatap kebesaran dunia itu, yang digambarkan dalam ucapan Rasulullah saw yang telah menyaksikan kebenaran-kebenaran itu melalui wahyu Ilahi, melihatnya, mendengarnya, lalu meminta kita mencapainya. Dan kita anak kecil yang membangkang, tidak mematuhi perintah orang yang telah mengerti dan bahkan tidak mempedulikan tuntunan akal kita, selalu lebih siap menentang orang-orang yang telah dipimpin Allah Swt. Padahal, mereka yang jiwanya disucikan dengan cinta dan kelembutan pada makhluk Allah Swt, tidak pernah berputus asa dalam melaksanakan tugas menuntun kita menuju surga dan kebahagiaan. Mereka tak pernah memaksa kita mengikuti ajakan mereka. Mereka juga tidak menuntut balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.
Bahkan imbalan yang diminta Rasul saw dalam ayat al-Mawaddah [QS. al-Syura: 23] agar kita mencintai keluarganya, sebetulnya bukanlah imbalan atas pengabdian yang telah beliau berikan untuk kita, melainkan dimaksudkan untuk memberi manfaat yang lebih besar lagi bagi kita. Sebab, bentuk kecintaan ini di alam akhirat boleh jadi akan menjadi cahaya dan karunia terbesar bagi kita. Semua ini agar kita mencapai kebahagiaan dan rahmat di sisi Allah Swt. Jadi, balasan Rasulullah saw bagi penyampaian risalah ini sesungguhnya juga menjadi kebaikan bagi kita dan kita memperoleh lebih banyak manfaat dari mereka. Bagaimana mungkin mereka memperoleh manfaat dari makhluk malang seperti kita? Dengan cara bagaimana keikhlasan dalam beribadah dan ketundukan kita kepada mereka dapat memberi manfaat bagi mereka? Bagaimana mungkin kita memandang diri kita yang hina telah berbuat kebaikan bagi para pembimbing umat, mulai dari seorang ahli fikih biasa yang menjelaskan hukum-hukum praktis agama untuk kita hingga Rasulullah saw dan Allah yang Mahakuasa? Semua telah menjalankan peran masing-masing dalam membimbing dan menunjukkan jalan yang lurus kepada kita, yang karenanya kita berutang besar kepada mereka dan sebagian terkecil dari utang itu mustahil sanggup kita bayar di dunia ini. Tak satu pun di dunia ini yang cukup berharga untuk membayar mereka. Kepada Allah Swt, Nabi-nabi dan Wali-walinya, kita semua berutang seperti yang telah difirmankan Allah Swt:
Katakanlah, “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepada-Ku dengan keislamanmu. Sebenarnya, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan membimbingmu menuju keimanan. Jika kamu adalah orang-orang yang benar.” Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. [QS al-Hujurat: 17-18]
Karena itu, jika kita ikhlas dalam beriman kepada Allah Swt, itu saja sudah merupakan rahmat bagi kita. Allah Maha Melihat dan mengetahui segala yang tersembunyi. Dia mengetahui esensi bentuk amal-amal kita, bentuk keimanan dan keislaman kita di alam gaib. Ada pun kita–makhluk tak berdaya yang tidak mengetahui hakikat–memperoleh pengetahuan dari seorang alim lalu berpikir bahwa kita telah berbuat sesuatu untuk-Nya. Kita melakukan salat berjamaah di belakang seorang imam, lalu kita beranggapan telah berbuat suatu kebaikan baginya, padahal sesungguhnya kitalah yang berutang kepada mereka. Kita tak menyadari hal ini dan karenanya pandangan keliru inilah yang menggugurkan segenap perbuatan kita dan menggiring kita menuju sijin yang menjadikan segenap perbuatan kita tidak bermakna.
Bersambung…