Akhlak
Imam Khomeini: Telaah Hadis Kibr [Bag. 3]
Penyebab Utama Takabur
Ada beberapa penyebab takabur, tetapi semuanya bersumber pada khayalan seseorang akan adanya kesempurnaan dalam dirinya. Ilusi ini mengakibatkan ‘ujub yang berpadu dengan cinta diri, membuat kelebihan orang lain tidak tampak di matanya. Apabila itu terjadi, orang ini akan merasa tinggi dihadapan orang lain, baik dalam hati maupun dalam perilaku lahiriyah. Misalnya hal ini dapat ditemui pada diri seorang ahli makrifat yang menganggap dirinya sebagai ahli makrifat dan penyaksian [syuhud] yang memandang dirinya sebagai ahli hati dan memiliki latar belakang yang sangat baik.
Baca juga Imam Khomeini: Telaah Hadis Kibr [Bag. 2]
Orang seperti ini selalu berusaha mempertunjukkan superioritasnya atas orang lain, memandang rendah para ahli hikmah, filsafat, fikih, dan hadis sebagai orang-orang dangkal dan memandang orang awam lebih menyerupai binatang daripada manusia. Orang seperti itu selalu menghina semua makhluk Allah. Ia secara panjang lebar berbicara tentang fana’ fillah baqa’ billah dan mengetuk gerbang realisasi spiritual [tahaqquq] padahal ajaran ajaran Ilahi menuntut agar kita untuk bersangka baik dengan semua makhluk.
Kalau saja ia sedikit mencicipi manisnya makrifat tentang Allah Swt tentu ia tidak akan memandang hina manifestasi keagungan dan keindahan Allah. Akan tetapi pengetahuan dan penjelasan verbalnya menunjukkan bahwa ia bukan dari golongan ini, dan memang pada hakekatnya ajaran-ajaran ini belum masuk dalam hatinya bahkan si malang ini belum lagi masuk dalam tingkat keimanan pada semua itu apalagi tingkat irfan mengenainya. Lalu belum lagi ia sampai pada tingkat irfan ia sudah berani bicara tentang tahaqquq.
Di kalangan ahli hikmah juga ada orang-orang yang menganggap diri mereka memiliki bukti-bukti rasional yang jelas, pengetahuan mengenai beberapa hakikat, keyakinan tentang Allah Swt, para malaikat, kitab-kitab suci, dan para rasul-Nya, lalu mereka memandang rendah dan hina orang lain. Mereka memandang semua ilmu yang lain sebagai tak bernilai dan semua hamba Allah kurang ilmu dan iman, sehingga mereka bersikap takabur dalam batin dan berperilaku congkak di hadapan orang lain. Padahal kalau mereka benar-benar memiliki pengetahuan tentang kebesaran Allah dan kelemahan nyata makhluk fana [yaitu diri mereka] tentu mereka akan bersikap dan berperilaku sebaliknya. Dan ahli hikmah [hakim] adalah orang yang pengetahuannya tentang rahasia-rahasia asal-usul dan tujuan manusia membuat dirinya rendah hati.
Allah telah menganugerahkan kepada Luqman hikmah [kebijaksanaan], di antara butir-butir wasiat yang besar ini kepada putranya sebagaimana tersebut dalam al-Quran;
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. [QS. Luqman: 18]
Di kalangan orang-orang yang mengaku sebagai guru tasawuf dan orang yang jiwanya telah bersih terdapat orang-orang yang bersikap kaku terhadap orang awam dan berprasangka jelek kepada para ilmuwan, ahli fiqih, dan pengikut-pengikut mereka. Mereka meremehkan para ilmuwan dan filosof. Semua orang kecuali diri mereka sendiri dan orang-orang yang dekat dengan mereka dipandang sebagai makhluk-makhluk yang celaka.
Karena mereka kurang berilmu dan berwawasan mereka memandang ilmu pengetahuan sebagai duri di jalan spiritual dan para ilmuwan mereka pandang sebagai setan-setan yang menyesatkan musafir yang sedang menempuh perjalanan spiritual, meskipun pengakuan mereka bahwa mereka memiliki peringkat spiritual yang tinggi bertolak belakang dengan sudut pandang seperti itu. Seorang pembimbing spiritual dan pemandu orang-orang sesat harus setelah dirinya sendiri bersih dari semua dosa dan sifat yang merusak, zuhud terhadap dunia, lebur dalam keindahan Allah Swt dan tidak angkuh atau berprasangka jelek terhadap makhluk-makhluk Allah.
Orang seperti ini terlihat ada di kalangan para ahli fikih dan hadis serta orang-orang yang sedang menuntut kedua ilmu tersebut, mereka memandang orang lain dengan pandangan menghina dan memperlakukan mereka dengan angkuh, menganggap diri mereka sendiri patut menerima setiap pujian dan penghargaan. Mereka beranggapan bahwa semua orang harus mematuhi perintah-perintah mereka dengan buta dan menerapkan kriteria tersebut pada diri mereka sendiri.
Dia [yaitu Allah] tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai. [QS. al-Anbiya: 23]
Mereka beranggapan tidak ada yang pantas masuk surga kecuali diri mereka dan sejumlah orang seperti mereka. Apabila ada pembicaraan mengenai bidang ilmu lain serta merta mereka pun melecehkannya. Mereka tidak segan-segan menolak disiplin-disiplin lainnya yang mereka terima hanyalah bidang mereka sendiri yang sempit dan sedikit. Mereka beranggapan bahwa disiplin ilmu lain itu bukan saja tidak pantas dipelajari melainkan juga merusak, pencelaan mereka terhadap pakar-pakar ilmu lainnya itu disebabkan mereka sendiri bodoh. Mereka mengemukakan pandangan mereka seakan-akan ketaatan mereka yang amat sangat terhadap agama mengharuskan mereka bersikap merendahkan seperti itu, padahal ilmu dan agama tersucikan dari sikap serta perilaku semacam itu. Syariat suci melarang kita berbicara tentang apapun apabila kita tidak mengetahuinya secara memadai dan mewajibkan kita bersikap hormat kepada setiap muslim.
Orang celaka ini tanpa memiliki wawasan yang cukup mengenai agama atau ilmu pengetahuan telah berdosa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kitab Allah dan ajaran-ajaran nabi-Nya. Ia mengira bahwa gagasan-gagasannya berasal dari agama, padahal akhlak semua alim besar dari setiap generasi tidak seperti itu. Tiap-tiap cabang ilmu agama menuntut sang alim yang menguasai cabang ilmu tertentu untuk bersikap rendah hati dan untuk menyimpan semua akar takabur dari hatinya. Tidak ada ilmu yang mengajak pada takabur atau bertentangan dengan kerendahan hati.
(Bersambung)
Imam Khomeini, “40 Hadis: Hadis-hadis Mistik dan Akhlak”