Berita
Imam Ali dan Kelompok yang Berbalik Menyerangnya
Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. [QS. at-Taubah: 58]
Disebutkan dalam riwayat bahwa Imam Ali as mengutus sahabatnya, Shasha’ah kepada kelompok Khawarij untuk menanyakan sebab permusuhan mereka dengan Imam Ali as. Abdullah bin Wahab Rasbi, salah seorang pimpinan Khawarij, berkata, “Katakan pada Ali, ‘Kami memerangimu atas nama hukum Allah dan apa yang telah Dia turunkan. Kami takkan menghentikan peperangan dan permusuhan denganmu, kecuali kamu mengakui kekufuranmu sendiri lalu bertaubat.’”
Mendengar jawaban itu, Imam Ali as mengucapkan kalimat berikut sampai tiga kali, “Ya Allah, saksikanlah! Orang yang memberi peringatan telah menyatakan uzurnya. Bersiap-siaplah untuk perang.” [Bihar al-Anwar, juz 33. hal. 403]
Dalam riwayat lain, Imam Ali as mengutus Ibnu Abbas kepada Ibnu Kawwa dan kawan-kawannya yang termasuk kelompok Khawarij untuk menanyakan sebab mereka memusuhi Imam Ali as.
Ibnu Abbas mendatangi mereka dengan berpakaian mewah. Kelompok Khawarij mengkritiknya, “Mengapa engkau berpakaian mewah?”
Ibnu Abbas menjawab, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” [QS. al-A’raf: 32]
Setelah itu, ia membacakan ayat. “Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid.”
Riwayat Iain menyebutkan, Imam Ali as mengutus Ibnu Abbas kepada kelompok Khawarij untuk berdialog dengan mereka dan bertanya tentang mengapa mereka memusuhi Imam Ali as.
Mereka menjawab, “Kami dapati pada diri Ali perangai-perangai yang seluruhnya adalah kekufuran dan membinasakan.
Pertama, julukan ‘amirul mukminin’. Berbeda dengan Muawiyah yang tidak menolak jika sebutan ‘amirul mukminin’ dihapus. Karena itu, bagi kami, ia bukanlah Mukmin; ia sudah bukan lagi pemimpin kami.
Kedua, Ali menerima dua hukum (yang bertentangan) berarti ia meragukan dirinya sendiri. Sebab, yang berlaku dalam penentuan dua hukum yang hak dan batil dari Ali dan Muawiyah, menimbulkan keraguan besar bagi kami mengenai dirinya dalam kebenarannya.
Ketiga, hak otoritas milik Ali. Tapi ia menyerahkannya pada Abu Musa.
Keempat, ia tidak berhak menentukan seseorang (menjadi hakim) dalam mengambil keputusan.
Kelima, harta pampasan yang diperoleh dari Perang Jamal, yang dibagi-bagikan kepada laskar hanya berupa persenjataan dan barang-barang kecil. Sedangkan tawanan perang, yaitu para wanita dan anak-anak, tidak dibagi-bagikan.
Keenam, ia memang washi Nabi saw. Namun menerima keputusan orang lain telah merusak citranya sebagai washi.”
Ibnu Abbas berkata kepada Imam Ali as di hadapan para kerabat yang hadir, “Apakah Anda telah mendengar perkataan (kritik) mereka? Tentu Anda Iebih mengetahui jawabannya (yang Iebih benar) bagi mereka ketimbang diriku!”
Imam Ali as menjawab, “Pertama, Rasulullah saw dalam peristiwa Perdamaian Hudaibiyah tidak menolak protes kaum kafir bahwa kalimat ‘Rasulullah’ harus dihapus dalam isi surat perdamaian itu; demikian pula aku! Karena aku mengikuti Rasulullah saw, maka aku terima kalimat ‘amirul mukminin’ dihapus dalam surat perjanjian itu.”
“Itu dalil yang sangat kuat,” kata kaum Khawarij.
“Kedua, kalian mengatakan bahwa aku meragukan diriku sendiri. Ketahuilah, sesungguhnya aku memberikan keadilan sebagaimana firman Allah Swt: Dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.
Dalam ayat ini telah diberikan dalil apabila kalian orang-orang musyrik mengatakan bahwa rezeki itu, Tuhanlah yang memberikannya, maka Sang Pemberi Rezeki itulah (Allah) yang harus kalian sembah. Maka dari itu, berikanlah keadilan, kami atau kalian yang berada di atas petunjuk. Demikian halnya dalam dialog itu; jika keadilan diberikan kepada Imam Ali as, bahwa Imam Ali as bersama kebenaran, maka menerima keputusan yang ia berikan menjadi bagian dari keadilan (kebenaran bersama Imam Ali as). Nabi saw, tak ada keraguan sedikit pun pada dirinya, dan Allah Swt juga mengetahui bahwa utusan-Nya di atas jalan kebenaran.”
“Itu dalil yang sangat kuat,” kata mereka lagi.
“Ketiga, sesungguhnya aku mengikuti Rasulullah saw sebagaimana pada hari Bani Quraizhah, beliau mengangkat Sa‘d sebagai hakim. Padahal Nabi saw sendiri tahu bahwa beliau jauh lebih baik dari yang Iain dalam menghukumi sesuatu. Demikian pula diriku! Aku pun berlaku begitu.”
“Itu dalil yang sangat kuat,” kata mereka lagi.
“Keempat, aku menjadikan flrman Allah Swt sebagai hukum (yang menghukumi) dan bukan kaum lelaki yang kujadikan sebagai hakim. Sebagaimana tercantum dalam al-Quran; Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya adalah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadya (untuk mendekatkan diri kepada Allah) yang dibawa sampai ke Ka‘bah atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah Ialu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Mahakuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa. Maka, darah kaum Muslim lebih besar dan lebih berharga dari darah seekor burung (buruan).”
“Itu dalil yang kuat,” kata mereka.
“Kelima, Mengapa aku tidak membagi-bagikan wanita dan anak-anak (tawanan) di Basrah? Karena aku telah berbuat baik pada penduduk Basrah, sebagaimana Nabi saw telah berbuat baik pada penduduk Mekah. Kami mencela orang lalim dan tidak menempatkan yang kecil sebagai ganti yang besar. Lagi, siapa di antara kalian yang menerima Aisyah sebagai bagian dari kalian?”
“Itu alasan yang sangat kuat,” kata mereka.
Imam Ali as melanjutkan, “Keenam, pernyataan kalian sebelumnya bahwa aku seorang washi, dengan menerima tahkim (penghakiman pasca Shiffin) berarti aku telah kehilangan ke-washi-anku! Jawabannya, kalian telah menjadi kafir dan lebih mengutamakan diri kalian di atas diriku. Kalian telah merampas pilihanku dalam memutuskan suatu perkara. Hanya para nabi-lah yang menyeru umat mereka untuk mengikuti mereka. Sedangkan seorang washi, (tugasnya) memberi petunjuk dan tak harus mengajak umat agar mengikutinya. Mengerjakan haji itu kewajiban manusia terhadap Allah Swt, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta aiam. ” [QS. Ali Imran: 97]
“Seandainya orang-orang meninggalkan haji, Kabah tidak menjadi kafir namun merekalah yang menjadi kafir. Kalaulah Allah Swt menjadikan Kabah sebagai tanda, Dia telah menjadikan aku sebagai panji dan berkata, ‘Aku sebagai Kabah, datanglah kalian kepada-Ku! Bukannya Aku ditinggal pergi oleh mereka.’”
“Itu dalil yang sangat kuat,” sahut mereka.
Kelompok Khawarij yang berjumlah 12 orang itu telah mendengar jawaban yang memuaskan. Sebanyak 8000 orang di antaranya tersadar dan mengatakan, “Taubat! Taubat!” Mereka telah bertaubat dan berpaling dari memerangi Imam Ali as. Sementara 4000 lainnya tetap menentang dan berencana berperang melawan Imam Ali as.
Sebelum memulai perang, Imam Ali as menyampaikan orasi yang amat memukau, dengan mengatakan, “Hari ini akan terbunuh dari pasukanku kurang dari sepuluh prajurit, sedangkan dari laskar Khawarij akan tersisa kurang dari sepuluh serdadu.”
Beliau telah mengetahui jumlah yang terbunuh dan dapat saja mengatakan, “Sembilan dari prajuritku akan terbunuh dan akan tersisa sembilan dari sedadu musuh.” Namun, ungkapan Imam Ali as bahwa “laskar musuh akan tersisa kurang dari sepuluh serdadu” itu dapat melemahkan mental musuh dan boleh jadi, yang hidup hanya tersisa satu orang sehingga akan menguatkan mental pasukan Imam Ali as. Ungkapan beliau bahwa “hari ini akan terbunuh kurang dari sepuluh prajurit” menjadikan mental mereka kian membaja. Sebab, karena mereka beranggapan, boleh jadi hanya satu prajurit Imam Ali as yang akan terbunuh, yang sekaligus menjatuhkan mental musuh.
Kedua pasukan pun bersiap-siap untuk berperang. Abdullah bin Wahab dan Dzuts Tsudayyah, dua pemuka Khawarij, mengatakan, “Kami berperang denganmu, tujuan kami tiada lain kecuali keridhaan Allah dan rumah akhirat.”
Imam Ali as menjawab, “Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” [QS. al-Kahfi: 103]
Di akhir perang, saat jumlah mereka terkikis habis, mereka baru tersadar bahwa pasukan Khawarij hanya tersisa sembilan orang, sementara di pihak Imam Ali as, hanya sembilan prajurit yang gugur sebagai syahid.
*Abbas Rais Kermani, Kecuali Ali