Berita
Imam Ali bin Abi Thalib as, Tempat Rujukan Para Sahabat
Udzainah Abdi meriwayatkan, “Aku menemui khalifah Umar dan bertanya, ‘Dari manakah aku harus memulai umrah?’ Ia menjawab, ‘Temuilah Ali dan bertanyalah kepadanya!” (HR. Abu Umar)
Abu Hazim meriwayatkan, ”Suatu hari, seseorang menemui Muawiyah. Ia datang untuk menanyakan suatu masalah. Maka Muawiyah berkata, ‘Datanglah kepada Ali dan tanyakanlah kepadanya, karena sesungguhnya ia adalah orang yang paling alim.’ Orang itu berkata kepada Muawiyah, ‘Wahai amirul mukminin, jawaban darimu lebih saya sukai daripada jawaban dari Ali.’ Muawiyah menegurnya, ‘Sungguh buruk perkataanmu! Apakah kamu tidak senang kepada orang yang telah dilimpahi ilmu yang sangat banyak oleh Rasulullah saw? Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda kepadanya, ‘Kedudukanmu terhadapku adalah seperti kedudukan Harun terhadap Musa, namun tidak ada nabi setelahku.’ Umar sendiri, jika dihadapkan pada suatu masalah yang pelik, meminta pemecahannya kepada Ali.” (HR. Ahmad dalam al-Manaqib)
Aisyah ra meriwayatkan, “Aku pernah ditanya tentang mengusap kedua kaki dalam wudu. Maka Aisyah berkata, ‘Temuilah Ali dan tanyakan masalah itu kepadanya!” (HR Muslim)
Hanats bin Mu’tamir meriwayatkan, “Dua orang laki-laki datang kepada seorang wanita Quraisy. Kedua orang itu menitipkan uang sebesar seratus dinar kepadanya. Mereka berkata kepada wanita itu, ‘Jangan serahkan uang ini kepada siapa pun dari kami tanpa disaksikan oleh yang lain hingga kami berkumpul bersama.’ Setahun telah berlalu, dan salah seorang dari mereka datang kepada wanita Quraisy itu dan berkata, ‘Sesungguhnya temanku telah meninggal. Oleh karena itu, serahkanlah uang itu kepadaku!’ Wanita itu menolak untuk menyerahkannya. Namun, laki-laki tadi terus mendesaknya sehingga menyebabkan keluarga wanita itu merasa terganggu. Kemudian, dengan berat hati, wanita itu menyerahkan uang titipan tersebut kepadanya.
Setahun berikutnya, laki-laki yang lain datang kepada wanita itu dan berkata, ‘Serahkanlah uang titipan itu kepadaku!’
Wanita itu berkata, ‘Temanmu mengatakan bahwa engkau telah meninggal dunia. Oleh karena itu, aku telah menyerahkan uang tersebut kepadanya.’ Maka kedua orang tersebut mengadukan perkara tersebut kepada Umar ra. Wanita itu berkata, ‘Aku bersumpah demi Allah, Anda tidak berhak memutuskan perkara ini di antara kami. Marilah kita mengadukannya kepada Ali bin Abi Thalib as.’ Mereka. pun mengadukan perkara tersebut kepada Ali. Ali ra mengetahui bahwa kedua laki-laki itu sengaja membuat makar kepada si wanita… Maka Ali bertanya kepada kedua laki-laki itu, ‘Bukankah dulu kalian mengatakan agar wanita ini tidak menyerahkan uang yang kalian titipkan kepada salah seorang dari kalian tanpa kehadiran yang lain?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Benar.’ Kemudian Ali bin Abi Thalib as berkata, ’Uangmu ada pada kami. Oleh karena itu, pergilah dan bawalah temanmu ke sini sehingga kami dapat menyerahkannya kepada kalian berdua.”
Diriwayatkan dari Muhammad bin Yahya bin Hibban, “Hibban bin Munqidz mempunyai dua orang istri, yang satu wanita Bani Hasyim dan satu lagi wanita dari kalangan Anshar. Ia mencerai istrinya yang dari Anshar. Setahun kemudian, ia meninggal dunia. Istrinya yang dari Anshar itu berkata, ‘Masa idahku belum habis.’ Lalu kedua wanita itu mengadukan masalah tersebut kepada sahabat Usman. Tetapi Usman berkata, ‘Aku tidak mengetahui ini. Oleh karena itu, bawalah persoalan ini kepada Ali.’
Ali ra berkata kepada wanita dari Anshar itu, “Bersumpahlah di atas mimbar Rasulullah saw bahwa engkau belum mengalami tiga kali haid! Maka engkau berhak mendapatkan bagian warisan.” Wanita itu pun bersumpah, sehingga ia berhak atas sebagian harta warisan yang ditinggalkan suaminya.”
Khalifah Abu Bakar dan Umar ra Merujuk pada Pendapatnya
Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, “Sejumlah orang Yahudi datang kepada Abu Bakar ra dan berkata, ‘Jelaskan kepada kami ciri-ciri sahabatmu itu -yakni Nabi Muhammad saw.’ Abu Bakar berkata, ‘Wahai orang-orang Yahudi, aku pernah bersamanya di dalam gua seperti dua jari ini (sambil mengisyaratkan dengan dua jarinya). Aku naik ke atas gunung Hira bersamanya, dan jariku berada di dalam jarinya. Sangat sulit untuk menjelaskan ciri-ciri beliau. Oleh karena itu, silakan datang kepada Ali bin Abi Thalib.’ Mereka pun datang kepada Ali. Mereka berkata ‘Wahai Abul-Hasan, jelaskan ciri-ciri sepupumu!’ Ali pun menjelaskan ciri-ciri beliau kepada mereka.”
Diriwayatkan dari Zaid bin Ali dari ayahnya dari kakeknya. “Seorang wanita hamil yang mengakui perbuatan zina yang dilakukannya dihadapkan kepada Umar ra. Maka Umar memerintahkan agar wanita itu dirajam. Kemudian Ali bin Abi Thalib as melihat wanita itu dan bertanya, ‘Apa yang terjadi dengan wanita ini?’ Mereka menjawab, ‘Umar memerintahkan agar wanita ini dirajam.’ Maka Ali bin Abi Thalib as membebaskan wanita tersebut lalu berkata kepada Umar, ‘Engkau memang memiliki kewenangan untuk menghukum wanita ini, tetapi engkau tidak memiliki kewenangan untuk menghukum janin yang ada di dalam perutnya! Tindakanmu bisa menyebabkan janin itu terbunuh atau menjadikannya trauma.’ Umar menjawab, ‘Memang begitu.’ Kemudian Ali as berkata, ‘Tidakkah engkau mendengar sabda Rasulullah saw kepada seseorang yang mengakui bersalah setelah suatu musibah, sedangkan ia dibelenggu, ditahan, atau diancam?’ Maka Umar membatalkan keputusannya dan membebaskan wanita itu.
Abu Abdurrahman Salami meriwayatkan, “Seorang wanita dihadapkan kepada Umar. Sebelumnya, wanita itu didera kehausan. Lalu ia bertemu dengan seorang pengembala dan ia meminta minum kepadanya. Tetapi penggembala tadi tidak mau memberinya air minum kecuali jika ia mau melayani hasrat seksualnya. Wanita itu pun menyetujuinya demi mendapatkan air minum. Kemudian, orang-orang bermusyawarah untuk merajam wanita itu. Melihat hal itu, Ali as berkata kepada Umar, ‘Wanita itu melakukannya karena terpaksa. Oleh karena itu, bebaskanlah dia.’ Maka Umar pun membebaskannya!
Dalam hal ini, wanita itu dapat terancam nyawanya jika ia tidak melakukan perbuatan tersebut. Namun demikian, masalah ini masih harus dikaji. Kadang-kadang, dari ucapan Ali as ini dipahami bahwa wanita itu dibolehkan melakukan perzinahan disebabkan kondisi tersebut, tetapi saya berpendapat bahwa perbuatan tersebut tetap tidak diperbolehkan. Hukuman hadd itu digugurkan semata-mata karena adanya keraguan. Wallahu a’lam.
Diriwayatkan dari Masruq, ”Seorang wanita yang menikah dalam masa idahnya dihadapkan kepada Umar. Maka Umar membatalkan pernikahannya dan menyerahkan maharnya ke Baitul mal. Ia berkata kepada suami-istri itu, ‘Kalian berdua tidak boleh bersatu.’ Berita tentang peristiwa itu sampai kepada Ali as. Maka Ali bin Abi Thalib as berkata, ‘Apabila kedua orang itu tidak mengetahui bahwa wanita tersebut masih dalam masa idah, maka mahar itu menjadi milik pihak wanita karena telah menghalalkan kelaminnya.’ Ia juga meminta keduanya berpisah. Lalu setelah masa idah wanita itu berakhir, laki-laki itu boleh melamarnya. Maka Umar melamarnya atas nama laki-laki tersebut. Kemudian ia berkata, ‘Tinggalkanlah hal-hal yang tidak diketahui dan kembali ke sunah.’ Ia merujuk pada ucapan Ali bin Abi Thalib as.’”
Semua hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Nu’man dalam kitab al-Muwafaqah. Hadis dari Abu Zhibyan di atas diriwayatkan oleh Ahmad.
Dikutip dari buku Syekh Muhibbudin ath-Thabari, Penghargaan Ahlusunah atas Ahlulbait