Ikuti Kami Di Medsos

Artikel

Identitas dan Karakter Pokok Syiah pada Masa Awal Kedatangannya di Nusantara

Seorang peneliti Syi’ah asal jerman; Christoph Marcinkowski dalam bukunya, Shi’ite Identities: Community and Culture in Changing Social Context (2010), menyatakan: umum bahwa terjadi kesalahpahaman inti dalam memahami ajaran inti dan karakter pokok Syiah, yaitu menganggap Syiah sebagai mazhab yang penuh dengan aktivisme dan jihad politik. Ini sebuah kekeliruan yang fatal.

Hasil gambar untuk shi'ite identities

Sesungguhnya, kata Marcinkowski yang menjadi muallaf ini,watak utama Syiah sebagaimana ditunjukkanoleh para Imam Ahlulbait adalah quietism (bersikap tenang, mengalah, dan berkecenderungan damai) alih-alih kesibukan berpolitik. Mereka lebih banyak mengisi waktu dengan aktivitas pengajaran, intelektual, dan bimbingan spiritual.

“Jika kita pelajari fungsi imamah di dalam mazhab Syiah, sebelum belakangan ini ada paham-paham yang mengaitkan wilayah para imam dengan kekuasaan politik. Konsep imamah dalam Syiah dipahami persis sebagaimana kaum sufi memahami konsep wilayah itu, yaitu sebagai eksemplar para ekselon dari Allah swt, dari nabi, khususnya Nabi Muhammad saw yang merupakan perwujudan paling sempurna dan paling mulia dari tajalliyat Allah swt. Dan memang jika kita pelajari Syiah awal, setidaknya menurut pendapat saya, sesungguhnya Syiah awal itu lebih merupakan satu mazhab tasawuf ketimbang mazhab yang mencakup segala aspek ajaran agama sebagaimana yang kita kenal sekarang. Saya kira, Syiah sebagaimana yang dikenal sekarang ini sebetulnya merupakan perkembangan belakangan yang terjadi setelah ghaibah imam yang kedua belas, tapi sejak masa Imam Ali bin Abi Thalib hingga masa imam kedua belas yang ghaib, sesungguhnya Syi’ah dipahamai sebagai semacam suatu Spiritualisme.” (Dr. Haidar Bagir)

Satu hal yang perlu diingat adalah tentang dinamika ajaran dan tradisi Syiah termasuk di Nusantara, yaitu adanya “perkembangan Syiah” itu sendiri sejak abad 7 M hingga sekarang. Jangan lupa bahwa Syiah yang dulu masuk ke Nusantara pada abad ke-7 atau 8 M bukanlah Syiah sekarang dengan doktrin segala macam atribut ideologi politik. Ajaran ini Syiah ketika itu adalah mencintai dan mengikuti Ahlulbait Nabi serta menganut ajaran wilayah yang dekat dengan tasawuf.

“Karya Allamah Thaba’thabai yang berjudul “Syiah di dalaln Islam”, menggambarkan dengan jelas bahwa mazhab Syiah awal itu sesungguhnya adalah spiritualisme yang memasukkan di dalamnya konsep-konsep tasawuf, baik itu dari prinsip Wahdatul Wujud yang menjadi akar semua pandangan itu maupun juga terkait dengan konsep wilayah yang kemudian mendasari juga pemahaman orang Syiah terhadap imamah”  (Dr. Haidar Bagir)

Menurut Allamah Thabathaba’i, pesan sentral ajaran Syiah adalah mengenal Allah (marifatullah). Ini sesuai dengan Pernyataan Imam Ali bin Abi Thalib kw. “Awaluddin Ma‘rifatullah” pokok pangkal agama adalah ma’rifatullah Allamah Thabathaba’i:

Dengan menggunakan pendekatan multidisipliner budayareligi, literatur sastra keagamaan, antropologi sejarah, dan sosiologi perkembangan, peneliti Marcinkowski menyimpulkan bahwa pengikut Syi’ah yang mengembara ke Asia Tenggara pada masa awal Islam adalah Syiah spiritual.

…… tradisi, literatur dan ritus yang hidup di Asia Tenggara (Nusantara) memiliki korelasi yang kuat dengan model Syiah pada abad 8-9 M ketika ia diperkenalkan: pertama kali di wilayah Nusantara..…” (Shi’ites Identities: Community and Culture in Changing and Soelall Contexts, Zurich, 2010)

“Mazhab Syiah seperti yang kita kenal sekarang, saya kira adalah sudah merupakan perkembangan atau kodifikasi dari ajaran-ajaran yang dibawa oleh para Imam. Khususnya di masa-masa awal pada masa Syeikh Shaduq, Ibnu Babawaih alQomi dan Syeikh Mufid yang kemudian merumuskan berbagai ajaran yang mereka dasarkan pada ajaran-ajaran spiritual yang sesungguhnya merupakan inti dari ajaran Syiah itu sendiri. ]adi, sesungguhnya kalau kita lihat Syiah pada masa awal, tidak banyak berbeda dengan tasawuf kecuali dalam hal penentuan jumlah dua belas imam sebagai penerus Nabi.” (Dr. Haidar Bagir)

Ketika masa penyebaran Islam di Nusantara, Syiah belum tersusun seperti sekarang. Jangankan politik dalam pengertian kekuasaan atau pemerintah Islam, madrasah Ja’fari pun belum tersusun sistematis. Kitab Empat yang menjadi rujukan fiqh dan tradisi mazhab Syiah baru muncul pada abad 10-11 M.

Kitab Empat sebagai rujukan fiqh dan tradisi mazhab Syiah

  1. Al-Kafii, karya Muhammad ibn Ya’qub al-Kulayni (w. 940 M)
  2. Man La Yahdhuruhu al-Faqih, karya Syaikh Shaduq Muhammad ibn Babawayh al-Qummi (w. 991 M)
  3. Al-Tahdzib al-Ahkdm, karya Syaikh Abu ja’far al-Thusi (w. 1068 M)
  4. Al-Istibsha’r, karya Syaikh Abu jafar al-Thusi (w. 1068 M)

Data itu memperkuat pandangan bahwa Syiah yang datang ke Nusantara pada abad 7-8 M adalah Syiah yang belum ada formulasinya. Ketika itu, identitas Syi’ah dicirikan dengan paham Sufi Wujudiyyah, kecintaan kepada Ahlulbait, dan keterbukaan serta asimilasi dengan kebudayaan lokal Nusantara.

Identitas Syiah pada masa penyebaran Islam awal di Nusantara

  • Teologi Syi’ah: Tauhid esoteris afinitas kuat dengan Sufi Wujudiyyah
  • Ideologi Syi’ah: Kecintaan kepada Ahlulbait (Nabi Muhammad,  Sayyidah Fatimah, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayidina Hasan, Sayyidina Husayn).
  • Asimilasi dan pribumisasi dengan kebudayaan lokal Nusantara.

Atas dasar paparan menyeluruh dengan menggunakan pendekatan multidisipliner, yaitu historiografi tradisional dan modern, antropologi sejarah, studi literatur sastra, interpretasi tradisi dan budaya, dan dinamika identitas Syiah, sebagaimana yang telah kami suguhkan sebelumnya maka kesimpulan pokok yang dapat dirumuskan.

  1. Dengan pendekatan historiografi modern dan arkeologi sejarah, memang tidak mudah menunjukkan kehadiran Syiah pada masa penyebaran Islam awal di Nusantara, akan tetapi lebih sulit untuk menafikan kehadiran Syiah pada masa itu.
  2. Dengan pendekatan antropologi sejarah, interpretasi tradisi dan budaya keagamaan, dan studi literatur sastra keagamaan awal, kehadiran Syiah adalah sesuatu yang masuk akal, realistis, dan menerangi banyak misteri kegelapan sejarah awal Islam di Nusantara.

“Ada tiga komponen yang membentuk kebudayaan Islam di Indonesia pada masa awal sampai pada periode formatiknya;nPertama adalah Syi’ah. Kedua adalah Sunni mazhab Syafi’i, dan ketiga adalah tasawuf, sufisme. Itu yang memainkan peran penting, yang lain-lain datang kemudian.” (Prof. Dr. Abdul Hadi WM)

Tiga elemen utama pembentuk kebudayaan Islam awal Nusantara:

  1. Syi’ah
  2. Sunni Syafi’i
  3. Tasawuf

Banyak hal yang masih digali dan diteliti untuk memperjelas proses masuk dan penyebaran Islam awal di Nusantara.

“Di tengah kekaburan itu, kemudian para ahli dari Belanda memang juga lebih banyak menuliskan perjalanan sejarah Islam di Indonesia itu untuk kepentingan-kepentingan politiknya. Bahkan ada seorang sarjana Profesor Emiritus dari Universitas Utrech bernama Karel A. Steenbring mengatakan bahwa ada usaha-usaha sistematis dari para sarjana ahli kolonial Belanda untuk mengecilkan peran Islam di Indonesia. Secara sistematis mengecilkan peran Islam di dalam ranah sosial budaya Indonesia. Itu ditulis oleh Karel A. Steenbring dalam bukunya “Dutch Colonialism in Islam”. Misalnya kalau bicara soal etika Jawa, itu dilepaskan sama sekali dari pengaruh Islam misalnya.” (Prof. Dr. Azyumardi Azra)

“Jangan lupa bahwa mereka yang berusaha mengubur sejarah Islam di masa lalu ada tiga golongan. Pertama, kaum orientalis dan sarjana-sarjana yang dididik oleh orientalis yang mengingat bahwa Islam tidak memainkan peran apa-apa di dalam sejarah Indonesia. Itu masih tersebar luas sampai sekarang ini di kalangan para sarjana. Yang kedua adalah orang-orang Islam ahistoris. Artinya melihat agama Islam itu hanya dari segi legalistik formal, misalnya kaum pembaharu. Wahabi itu ahistoris sekali dalam melihat perkembangan sejarah Islam dan menganggap bahwa tasawuf itu merupakan aliran sesat”. (Prof Dr. Abdul Hadi WM) 

Baca juga Apa Makna Pernyataan Gus Dur ‘NU adalah Syiah Secara Kultural’?

“Sejarah tentang perkembangan keagamaan di Indonesia ini yang bukan Islam lebih tertata rapi. Satu dengan yang lainnya tidak bertabrakan, tetapi begitu kita bahas tentang sejarah perkembangan Islam masuknya ke sini, buku satu dengan buku yang lain bertabrakan. Hal itu memang yang diinginkan oleh penjajah Belanda. Oleh karena itu penjajah Belanda sangat tidak senang dengan Islam itu sendiri dan musuh mereka. Karena itu, tangan-tangan kotor penjajah untuk merusak Islam ini diawali dengan sejarah.” (Drs. Abdul Rouf Abdullah)

“Kalangan orang-orang modern yang menganut cara pandang Skolastik dari Barat, menganggap Wali Songo itu dongeng, seolah-olah menafikan peran Wali Songo. Itu termasuk yang ditulis di Ensiklopedia Islam yang 7 jilid, terbitan Van Huvo, Itu tidak ada penjelasan tentang sunan-sunan secara benar; Hanya ada sedikit tentang Wali Songo, tapi itupun sudah jelas dikaburkan, misalnya sumber yang digunakan dalam menulis Wali Songo, dijelaskan menurut Babad Diponegoro. Loh menulis Wali Songo kok menggunakan Babad Diponegoro, kan kacau, dari mana?” (Agus Sunyoto, MA)

Oleh karena itu, perlu penulisan ulang, rekonstruksi sejarah Islam Indonesia.

“Harus dibangun satu epistemologi baru dalam memaknai ilmu sejarah. Sebagai contoh, fakta yang disebut fakta historis menurut ilmu arkeologi, ilmu sejarah itu adalah fakta yang berkaitan dengan data empiris sejarah, yang berkaitan dengan prasasti-prasasti, kronik-kronik, naskah-naskah, sisa-sisa peninggalan lama dan lain sebagainya, itu fakta empirik. Ketika kita mendalami satu sejarah hanya bertumpu pada satu pandangan fakta empirik ini, kita akan banyak mengalami kesulitan. Tidak semua yang tercatat dalam kronik itu tokohnya tidak ada, misalnya ada tokoh yang riil ada, karena tidak ada prasastinya bisa dianggap tidak ada. Misalnya tokoh Ken Arok. Karena tidak ada prasasti zaman itu dia dianggap tokoh mitos, tapi keturunannya ada menurut cerita faktanya.” (Agus Sunyoto MA) “

“Kenapa sejarah perkembangan awal Islam di Indonesia itu masih tidak begitu jelas atau kabur dan bahkan kontroversial. Pertama, sumber-sumber lokal, historiografi lokal yang tertulis, sumber-sumber tertulis tersedia relatif terbatas. Keterbatasan ini antara lain karena saya kira tradisi menulis tidak begitu kuat sebelum datangnya Islam dan juga kalaupun ada bahan-bahan tertulis biasanya tidak bisa bertahan dalam waktu yang lama karena iklim di Indonesia yang sangat lembab sehingga kemudian bahan-bahan tertulis itu cepat sekali lapuk dan hancur dalam perjalanan waktu.” (Prof. Dr. Azyumardi Azra)

“Sejarah kita masih belum benar, masih belum fair. Penulisan sejarah nasional banyak sekali mengenyampingkan peranan para wali, peranan para ulama dalam membangun masyarakat yang beradab, masyarakat beragama, masyarakat berbudaya di Nusantara ini, seakan-akan peranan ulama sangat kecil. Peranan habaib Ahlulbait juga tidak ditulis dengan benar, dengan sejujurnya, banyak yang dikebiri, banyak yang dikurangi, dan banyak yang dibuang. Bisa saya contohkan misalnya peranan habib di Jakarta ini. Para habaib yang di Luar Batang, Kwitang sangat besar sekali membangun masyarakat Jakarta. Begitu pula K.H. Hasyim Asy’ari peranannya dalam membangun sebuah masyarakat yang beragama, berbudaya, berperadaban hanya disebut sekilas dalam sejarah perlu dikaji ulang.” (Prof. Dr. KH. Said Agil Sirajd)

Kita berharap rekonstruksi sejarah Islam awal di Nusantara dapat memberikan jawaban banyak misteri dan kegelapan sejarah, serta membuka horison baru untuk menatap dan menjemput kejayaan peradaban Islam Indonesia di masa depan.

Dikutip dari buku Menguak Akar Spiritual Islam Indonesia, Peran Ahlulbait dalam Penyebaran Islam di Nusantara.
Penulis TIM ICRO dan Tim ACRoSS 

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *