Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Hukum Taqlid

Agama Islam meliputi masalah akidah, fikih, dan akhlak.  Dalam masalah akidah (ushuluddin), khususnya menurut ajaran mazhab Ahlulbait as, seorang Muslim tidak dibenarkan bertaqlid buta dan mengikuti akidah orang lain tanpa memahami dalil-dalil dan argumen-argumennya. Umpama dalam masalah menetapkan dan meyakini adanya Tuhan Sang Pencipta alam semesta ini, adanya hari pembalasan, keesaan Tuhan, dan lain-lain. Dalam semua perkara itu, kita tidak diperbolehkan sekadar ikut-ikutan dan bertaklid buta pada orang lain, sekali pun pada guru atau orangtua kita sendiri. Artinya, kita harus mencari atau memahami dengan baik dan benar rangkaian dalil dan argumen yang berhubungan dengan masalah tersebut.

Sehingga, ketika kita ditanya orang; Adakah Tuhan itu?  Kalau Tuhan ada, esakah Dia? Satu atau lebih?  Apakah hari kiamat itu pasti terjadi? Dan rangkaian pertanyaan akidah lainnya. Kita dapat menjawabnya sekali pun dengan argumen paling sederhana sekalipun. Inilah kelebihan luar biasa mazhab Ahlulbait.

Berbeda dengan masalah fikih atau furu’uddin (cabang-cabang agama). Sehubungan dengan masalah ini, kaum muslimin secara umum, apapun mazhab dan alirannya, dapat dibagi dalam tiga kelompok: Mujtahid, muqallid, dan muhtath.

Sebelum dijelaskan definisi masing-masingnya, kiranya perlu dijelaskan lebih dulu pengertian daruriyyatuddin yang merupakan bagian dari ahkam syari’ah. Hukum-hukum syariat (ahkam syari’ah) ditinjau dari sudut pandang upaya mengenal dan mengetahuinya, dapat dibagi dalam dua bagian.

  1. Ahkam dharuriyyah, yaitu hukum-hukum daruriyyah. Artinya, hukum-hukum yang sudah jelas, gamblang, dan ma’ruf serta telah menjadi keyakinan seluruh muslimin. Untuk mengetahui, meneliti, mengkajinya, dan menggunakan kaidah-kaidah ushul, tidak diperlukan upaya dan kemampuan tertentu. Dengan kata lain, untuk mengetahui hukum-hukum dharuriyyah tidak memerlukan, contoh, seperti wajibnya salat, zakat, haji, dan lain-lain, atau haramnya berzina, membunuh, dan lain-lain. Seluruh muslimin telah meyakini  dan mengetahui dengan jelas semua perkara itu tanpa perlu berijtihad.
  2. Hukum-hukum syariat yang bukan dharuri, artinya tidak gamblang bagi setiap muslim, yang biasa disebut ahkam ghairu dharuriyyah (selain hukum-hukum dharuriyyah). Ahkam ghairu dharûriyyah ini menuntut segenap kemampuan dan kerja keras untuk diketahui, yaitu dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh dan ilmu-ilmu alat lainnya (seperti tatabahasa Arab, ilmu hadis, tafsir, dll). Semua itu  diperlukan agar hukum-hukum tersebut dapat ditentukan, seperti perincian hukum-hukum ibadah dan muamalah pada umumnya.

Sudah barang tentu tidak semua Muslim mampu melakukan pekerjaan berat semacam ini. Bahkan tidak pula setiap ulama mampu melakukannya. Pekerjaan seperti ini disebut dengan ijtihad yang hanya dapat dilakukan kalangan mujtahid. Untuk mencapai tingkat ijtihad, diperlukan keseriusan belajar di tingkat bahtsul kharij, yaitu peringkat tertinggi dalam pelajaran fikih dan ushul.

Baca juga Ringkasan Fatwa Ayatullah Ali Khamenei, Daras Fikih Ibadah: Taklid

Tingkat bahtsul kharij ini dapat dimasuki seorang santri (talabeh) setelah melewati peringkat sutuh. Setidaknya, mereka yang duduk di kelas bahtsul kharij menghabiskan waktu kurang lebih lima belas tahun (bahkan lebih) untuk dapat berijtihad. Sementara peringkat sutuh  dapat ditempuh secara normal selama delapan tahun. Setelah itu, barulah mereka dapat memasuki pelajaran fikih dan ushul pada tingkat bahtsul kharij.

Untuk mencapai tingkat marjaiyyah (menjadi marja dan sumber rujukan hukum bagi masyarakat umum), seorang Mujtahid Mutlaq diwajibkan memenuhi syarat-syarat khusus. Seperti adanya kesaksian beberapa ulama yang dikenal dengan Ahli Khibrah dan–idealnya—telah menulis risâlah ‘amaliyyah agar dapat dirujuk masyarakat umum dengan mudah. Mengingat berijtihad memerlukan ilmu yang kompleks, keseriusan dan kerja keras yang istiqamah, akibatnya hanya sedikit sekali orang yang mampu mencapai peringkat mulia dan terpuji ini.  Kondisi inilah  yang menyebabkan mayoritas muslimin harus merujuk seorang mujtahid sebagai sumber rujukan dalam masalah-masalah fikih. Inilah yang  disebut “taqlid “. Ini pula yang menjadi kelebihan lain bagi mazhab Ahlulbait.

Definisi Mujtahid, Muqallid, dan Muhtath  

Mujtahid: figur yang—berkat ilmunya yang tinggi dan komprehensif—mampu mengeksplorasi dan menyimpulkan hukum-hukum Islam dari sumber-sumber aslinya (al-Quran dan hadis). Mujtahid inilah yang menjadi rujukan (marja’) bagi kalangan awam yang disebut muqallid.

Muqallid: kalangan awam yang belum atau tidak sampai pada derajat ijtihad. Mereka wajib bertaqlid pada seorang mujtahid atau marja’ yang telah memenuhi syarat.  Ringkasnya, muqallid itu orang yang bertaklid atau mengikuti mujtahid.  Sementara arti taklid itu sendiri adalah beramal ibadah, bermuamalah, bermasyarakat, dan bertingkah laku sesuai fatwa mujtahid atau marja’.

Muhtath: sosok yang belum mencapai peringkat ijtihad, namun lebih tinggi kedudukannya dari muqallid lantaran telah mampu mengkaji dan membandingkan fatwa-fatwa seorang marja’ dengan fawa-fatwa marja’ lainnya, sehingga dapat memilih fatwa yang lebih hati-hati dan lebih berat untuk diamalkan.  Muhtath adalah orang yang berhati-hati dalam segala amal ibadah dan perbuatannya.  Kelompok muhtath jumlahnya sangat sedikit sekali. Sebab, berihtiyath termasuk pekerjaan berat.  Karena itu, kelompok ini dibolehkan bertaqlid pada seorang marja’.

Kewajiban Bertaqlid

Jika ditanya, mengapa dalam agama  khususnya mazhab Ahlulbait as, setiap Muslim dilarang bertaqlid—dalam masalah ushuluddin—kepada orang lain, sekalipun ulama dan para mujtahid, namun dalam masalah fikih non-daruriyyatuddin, setiap Muslim awam diwajibkan bertaqlid pada seorang mujtahid atau marja?

Baca juga Berbagai Masalah Taklid

Jawabnya, karena setiap Muslim berakal sehat pasti mampu mencari atau memahami argumen-argumen ushuluddin/akidah dengan akal pikirannya. Sehingga, dalam masalah-masalah akidah tidak diperlukan dan tidak dibolehkan bertaqlid pada orang lain. Namun, tidak demikian dalam perkara fikih (furu’uddin). Artinya, tidak semua orang (bahkan sedikit sekali) mampu menggali hukum dari sumbernya aslinya,  yaitu al-Quran dan hadis. Hanya kalangan mujtahid saja yang mampu melakukannya (berijtihad).  Karena itu, dalam masalah fikih, setiap orang awam (yang belum mencapai peringkat ijtihad) diwajibkan bertaklid pada seorang marja’.

Jika kehidupan dan kemajuan di zaman sekarang dicermati lebih jauh, dapat dipahami bahwa untuk memecahkan masalah yang bersifat umum saja, diperlukan adanya spesialisasi dalam bidang tertentu. Umpama, kedokteran, ekonomi, politik, teknik, dan lain-lain.  Bahkan ilmu kedokteran saja memiliki banyak cabang. Nah, apalagi dalam masalah agama dan hukum-hukum Islam. Sudah tentu diperlukan adanya mujtahid dan marja’ (ulama rujukan hukum) agar kalangan awam tidak sampai tersesat atau seenaknya menyimpulkan dan merilis hukum sendiri. (erfan.ir)

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *