Berita
Hikmah Maulid Nabi: Teladani Perilaku, Bukan Sekadar Puji Penampilannya
Tiap bulan Rabiul Awal, sudah menjadi tradisi kaum Muslimin di Indonesia dalam memeriahkan peringatan kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW. Hampir di tiap pelosok negeri, tiap hari ada saja peringatan yang lebih dikenal dengan sebutan Maulid Nabi ini.
Namun, seperti apa kita seharusnya memperingati Maulid Nabi?
Berikut ini hasil wawancara ABI Press dengan intelektual Muslim Dr. Muhsin Labib berkenaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Apa sebenarnya Maulid Nabi itu menurut Dr. Muhsin Labib? Dan mengapa begitu penting untuk diperingati?
Memperingati kelahiran diri sendiri saja itu menjadi sebuah tradisi yang umum bukan hanya di kalangan umat Islam. Misalnya perayaan ulang tahun, tidak ada buruknya memperingati ulang tahun meskipun itu tidak wajib, tapi kalau ulang tahun itu isinya dengan melakukan evaluasi, berapa usia yang sudah dilewati, betapa dekatnya dia dengan kematian, ini menjadi positif.
Memperingati kelahiran diri sendiri saja positif, apalagi memperingati kelahiran pribadi yang berjasa mengangkat kita dari kegelapan pada terang, pada agama yang kita anut. Itu adalah salah satu bukti terima kasih, salah satu ekspresi syukur.
Memang agama tidak menetapkan sebuah format baku bagaimana memperingati kelahiran atau maulid Nabi, jadi orang bisa mengekpresikannya selama tidak bertentangan dengan syariat dan etika. Apalagi kelahiran Nabi itu terjadi dalam catatan sejarah, terjadi peristiwa-peristiwa besar yang menandai kelahiran seorang Nabi Muhammad, itu sesuatu yang besar. Bahkan kelahiran beliau itu telah dijanjikan dalam kitab-kitab suci sebelumnya.
Jadi memang kelahiran Nabi Muhammad itu sebuah momen besar, dan menunjukkan seseorang itu beradab kalau tetap bisa mengingat orang yang berjasa kepadanya. Apalagi ini adalah kelahiran nabi terakhir dan termulia. Masalahnya, karena memang tidak ada tata cara yang baku.
Namun apa sebenarnya tujuan memperingati kelahiran Nabi? Tujuannya pasti mengenang ajaran-ajarannya, perilakunya sehingga ada feedback positif kepada mereka yang memperingatinya. Apalagi kalau diisi dengan ceramah-ceramah pencerahan dan pembacaan narasi sejarah hidup Nabi, itu tentu hal positif.
Makanya agak aneh dan ngawur kalau ada yang mengatakan bahwa membaca teks narasi peristiwa kelahiran dan sejarah perilaku hidup Nabi itu dianggap bid’ah. Mungkin justru pernyataan semacam itulah yang bisa dikatakan bid’ah.
Kalau harus atau mewajibkan dengan tata cara tertentu, itu tidak boleh. Misalnya ada yang menyatakan, untuk memperingati kelahiran Nabi harus dengan membaca kitab ini atau harus begini, itu tidak ada. Hanya saja memang sudah tradisi masyarakat Indonesia ini yang terbiasa memperingati kelahiran Nabi itu dengan membaca narasi kelahiran Nabi. Ada kitab-kitab yang memang sudah umum dibaca di antaranya seperti Barzanji, Diba’, dan Maulud Habsy. Tapi itu semua tidak diharuskan.
Mengapa tidak ada tanggal khusus untuk memperingati Maulid Nabi, seperti halnya peringatan Natal di kalangan saudara kita, umat Nasrani?
Maulid Nabi tidak berhubungan langsung dengan persoalan benar dan salah, itu tradisi. Tapi yang paling utama kalau orang sudah terbiasa maulidan bahkan bulan Rabiul Awal di Jawa disebut dengan bulan Mulud, artinya memang utamanya memperingati kelahiran Nabi itu pada bulan Rabiul Awal dan yang dikenal oleh banyak orang adalah tanggal 12 dan sebagian juga mengatakan tanggal 17. Tapi yang pasti, kelahiran Nabi diyakini terjadi pada Bulan Rabiul Awal.
Di sisi lain, bahkan pembacaan teks-teks yang biasa dibaca dalam peringatan Maulid Nabi tidak hanya dibaca pada bulan Rabiul Awal. Mungkin dalam tradisi perkawinan, biasanya teks-teks narasi maulid dibaca, itu tidak masalah. Selama itu tidak mengganggu orang, sepanjang tidak ada hal-hal yang negatif, boleh-boleh saja. Mau kapan saja tidak ada masalah. Selama itu tidak bertentangan dengan etika, agama, syariat, tidak mengganggu orang, saya kira tetap baik.
Apakah ini berarti esensi sebenarnya dari peringatan Maulid Nabi adalah merefleksi kembali tentang Rasulullah?
Ya, kalau kita mengenang orang baik pasti kita orang baik. Mana mungkin orang yang suka baca narasi Maulid Nabi ada di diskotik? Ketika dia membaca narasi maulid, otomatis dia berkumpul dengan orang-orang yang baik. Minimal hal itu dapat mengurangi kecenderungan kita atas hal-hal yang negatif.
Daripada mempersoalkan orang kumpul-kumpul membaca narasi maulid dan shalawatnya, mengapa tidak mempersoalkan orang yang melakukan tindak korupsi saja? Banyak yang kita lakukan mengganggu dan mencederai umat Islam mayoritas, terutama yang memang menunjukkan kecintaannya pada Maulid, pada bulan Rabiul Awal.
Misalnya membaca narasi maulid dengan diiringi rebana itu menunjukkan kegembiraan, dan posisi berdiri itu tanda menyambut, mengandaikan seakan-akan Rasulullah itu hadir dan secara fisik berada di situ. Penghormatan dengan cara berdiri itu dianggap cara beradab dimana saja. Bukan sebagai pengkultusan. Jadi aneh, kalau ada kelompok-kelompok begitu bencinya dengan peringatan Maulid Nabi padahal yang diperingati juga nabi yang sama, yang kata mereka, mereka pun mengikuti nabi itu juga. Kalau mengikuti Nabi, ya berarti harus hormat kepada Nabi.
Bagaimana pendapat anda terhadap perayaan Maulid Nabi yang sampai menutup jalan utama dan mengganggu perjalanan orang?
Seperti saya katakan, selama tidak mengganggu orang hal itu baik-baik saja. Tapi kalau memperingati Maulid Nabi dengan cara mengambil alih jalan utama yang biasa digunakan oleh masyarakat umum sampai orang lain merasa terganggu, akibatnya orang-orang yang punya keperluan mendesak sampai harus mencari jalan lain memutar jauh. Itu bukan acara maulidnya yang buruk. Acara maulidnya baik, tapi bisa jadi orang-orang yang menggelar acara itu yang entah memang punya tendensi lain atau tidak punya cara berpikir yang benar, tidak mampu memilah mana yang utama dan yang tidak.
Jelas yang lebih utama adalah kepentingan masyarakat. Dengan menjaga kepentingan masyarakat, Maulid Nabi masih tetap bisa diadakan. Misalnya di tempat yang tidak mengganggu seperti di lapangan. Saya pikir itu relatif, yang penting jangan memaksa orang supaya menyumbang, sampai menganggap menyumbang itu sesuatu yang wajib. Sebab masih ada yang lebih penting, yaitu mencukupi nafkah untuk anak-istri, dan bagaimana menjaga shalat wajibnya. Artinya, kalau memang berhalangan hadir ke peringatan Maulid Nabi, ya ndak perlu harus memaksakan diri hadir. Jangan pula semua orang yang tidak hadir kemudian dicap sebagai sebuah pertanda bahwa dia tidak cinta kepada Nabi. Ekstremitas seperti itulah yang tidak boleh. Karena orang menghormati Nabi itu punya caranya sendiri-sendiri dan cara terbaik menghormati Nabi yaitu menjalankan perintah agama yang dibawa Nabi, dengan baik dan benar.
Yang aneh saat ini adalah kelihatan sebagian orang antusias memperingati Maulid Nabi tapi perilakunya tidak mencerminkan agama dan ajaran yang dibawa Nabi. Perilaku Nabi tidak ditiru, tapi ribut dengan peringatan-peringatan kelahiran beliau.
Di beberapa daerah bahkan ada tradisi yang kadang seperti mewajibkan masyarakat sekitar untuk mengadakan peringatan Maulid Nabi di setiap rumah, sampai-sampai banyak orang harus berhutang hanya untuk menggelar acara tersebut. Bagaimana pendapat anda?
Itu tidak benar, itu yang harus ditentang! Bahwa mengadakan Maulid Nabi itu tidak wajib dengan tata cara tertentu. Meski berterima kasih kepada Nabi itu wajib, tapi jika dikatakan harus dengan cara tertentu sehingga menjadikan orang-orang tertekan, itu tidak boleh. Apalagi sampai memaksakan diri, hingga terpaksa meminjam uang. Jelas Nabi tidak ingin begitu. Nabi malah bisa jadi kecewa kalau ada yang memperingati kelahiran beliau dengan mengganggu orang, atau jika sampai orang itu menjadi terpaksa dan terbebani. Jelas hal semacam itu tidak bisa dibenarkan.
Kita berhaji saja, yang merupakan perkara wajib, kalau tidak mampu ya tidak apa-apa kalau tidak dilakukan. Lha ini yang bukan kewajiban seperti haji kok malah mau diwajibkan. Cukup ikuti saja ajaran Nabi. Misalnya Nabi itu toleran, ikuti saja hal itu, sudah cukup membuktikan kita menghormati Nabi tanpa harus mengadakan acara maulid yang dipaksakan.
Hal seperti ini yang perlu ditegaskan. Banyak orang memperingati Maulid Nabi itu hanya memuji-muji fisik Nabi. Misalnya dengan mengatakan “wajahmu seperti rembulan.” Jadi, pada saat ini kelihatannya ada pergeseran makna peringatan Maulid Nabi dari yang semestinya mempelajari, meneladani perilakunya, jiwa perjuangannya, pengorbanannya, berubah hanya muji-muji wajahnya yang tampan, wajahnya yang bersinar. Padahal kalau dalam narasi Maulid Nabi dikatakan “kau adalah rembulan” pasti maksud dari yang nulis itu bukan fisiknya. Sebagaimana Al Quran bilang, Nabi datang sebagai cahaya, yang cahaya itu ajarannya, bukan wajahnya. Tapi yang dipuja-puja wajahnya, ini yang saya maksud ada pergeseran makna. Benar, Nabi itu sempurna fisiknya tapi bukan itu yang terpenting. Jadi jangan cuma memperhatikan rambutnya Nabi bergelombang, alisnya begini, kulitnya begitu. Cambangnya begini, fisiknya begitu. Yang lebih penting itu adalah bagaimana kepribadian dan akhlak beliau..
Jadi jangan Nabi hanya digambarkan klimis bersih tak tersentuh debu, padahal Nabi itu berpeluh, berkeringat, terluka, berdarah. Sebab makna perjuangan dan pengorbanannya itulah yang mesti kita ikuti, bukan karena tampilan klimisnya, seakan-akan selalu kalem, seakan-akan ndak ada perlawanan (terhadap kezaliman).
Padahal sejatinya Nabi itu, kalau Imam Ali saja dikatakan paling berani, maka Nabi pasti lebih berani dalam pertempuran. Sampai Imam Ali mengatakan, “kalau pertempuran berkecamuk dan kami terdesak, kami berlindung di belakang Nabi.” Maka itu Nabi lukanya paling banyak. Nabi itu berjuang sudah dengan apa adanya, jangan sampai seakan-akan Nabi digambarkan melankolis, bersih dan klimis. Tidak seperti itu. Nabi itu berjuang hingga berdarah-darah, pernah rahangnya patah dalam perang Uhud, pernah luka-luka, tubuhnya banyak dilempari batu oleh orang, dan sebagainya.
Kita kan sudah pernah dengar Nabi dilempari kotoran. Semua yang pernah dialami oleh para nabi itu dialami oleh Nabi. Tapi akhir-akhir ini kita ndak pernah menggambarkan sisi perjuangannya. Dalam acara maulid-maulid yang kita baca cuma hal-hal secara kelihatannya, artifisial, hal-hal yang kelihatannya fisikal, simbolik. Padahal yang jauh lebih penting, setiap acara Maulid Nabi harus menjelaskan aspek-aspek yang jauh lebih fundamental.
Cara memuji Nabi dengan mengikutinya. Cara mengikuti Nabi itu dengan mengikuti apa yang paling menonjol pada diri Nabi. Lihatlah perilaku Nabi, bagaimana sikap Nabi. Nabi itu toleran, Nabi itu tidak membeda-bedakan orang.
Ketika dipanggil orang, Nabi tidak hanya menoleh tapi malah berbalik seluruh tubuhnya. Kalau bicara dengan orang sepenuh hati tidak membedakan status, ibaratnya tidak membedakan merek baju yang orang pakai dan lain sebagainya. Juga apakah orang itu kaya atau miskin, semua tidak dibedakan. Sehingga setiap orang kalau berbicara dengan Nabi merasa seolah mendapat perlakuan khusus. Kalau Nabi bicara itu sepenuh hati, jadi tidak ada perlakuan berbeda.
Kalau kebanyakan kita kan senyum itu kadang disesuaikan dengan merek, dengan status sosial orang yang kita sapa. Saat itu baru kita ramah, kalau tidak ya tidak. Tapi Nabi tidak membeda-bedakan dan hal inilah salah satu yang saya contoh, yang menurut saya perlu dibuat narasinya.
Contoh lain lagi. Nabi itu kalau di tengah masyarakat berjalan seperti orang yang mengendap-endap, langkahnya halus, tujuannya apa? Agar kalau ada orang berkumpul itu tidak berhamburan menyambut Nabi. Tidak tarik-menarik untuk jabat tangan, cium tangan. Jadi Nabi menjaga agar orang tidak menjadi sungkan dan rikuh karena kehadiran dan keberadaannya.
Kalau Nabi diundang ke majelis, beliau tidak langsung menerobos ke depan, tapi akan duduk di bagian yang belum terisi. Itu perilaku Nabi. Jadi, Nabi itu tidak pernah menganggap dirinya itu lebih dari yang lain. Nabi itu kalau mau melakukan perjalanan, beliau biasanya mengumpulkan orang-orang miskin untuk meminta doa mereka.
Jadi, Nabi itu bukan duduk-duduk di rumah menunggu sumbangan pengikut, istilahnya menunggu ada sponsor, kalau di jaman kita sekarang. Nabi itu berdagang di pasar, tidak minta malaikat mengirimkan menu-menu spesial dari surga. Nabi itu kalau lapar ya lapar. Nah, narasi perihal Nabi semacam ini yang saya pikir perlu diangkat. Sayangnya saat ini seakan-akan yang terjadi hanya menggambarkan aspek-aspek fisikal, padahal mestinya aspek-aspek kenabiannya yang perlu ditunjukkan.
Apa pesan-pesan anda bagi masyarakat yang memperingati Maulid Nabi?
Peringatan Maulid Nabi, setiap tahun itu ada. Tapi makin hari, makin kesini kelihatannya masyarakat makin intoleran, makin gampang meyesatkan, gampang mengkafirkan. Kelihatannya antara apa yang kita lakukan berupa memperingati Maulid Nabi dengan perilaku kita agak tidak sejalan. Ada masalah apa ini? Jangan-jangan Maulid Nabi hanya dianggap sekadar memenuhi tuntutan tradisi. Bahkan jangan-jangan ini hanya dianggap hura-hura, hanya hiburan belaka.
Karena itu perlu ada pendalaman, ada pengayaan makna Maulid Nabi. Tidak hanya senang-senang tapi merenungkan hal lain. Yang juga perlu diingat bahwa Nabi itu lahir kemudian tidak hidup terus, bahwa Nabi juga meninggal. Karena itu, yang juga perlu diperingati dari Nabi adalah hari lahir dan wafatnya. Bagaimana pesan-pesan beliau sebelum wafat, misalnya di haji Wada’ Nabi mengatakan, “Jangan kalian berbalik kafir dengan saling mengkafirkan, dengan saling menyesatkan di antara umat.” Pesan-pesan seperti itu kiranya lebih perlu untuk diingat.
Jadi kelahirannya kita peringati sebagai rasa syukur, wafatnya juga perlu kita peringati sebagai rasa kehilangan. Agar kita juga tahu apa saja pesan-pesannya dalam momen haji Wada’, apa yang dimaksud dengan “ummati, ummati, ummati.” Itu yang perlu direnungkan.
Tapi anehnya orang jaman sekarang lebih suka memperingati yang enak-enak saja, yang gembira-gembira saja. Kita tidak pernah mengingat betapa derita Nabi, begitu beratnya Nabi meninggalkan umat ini. Bila kedua peristiwa tersebut terus diingat, peringatan maulidnya juga diperkaya dengan perilaku sosialnya, sikap pengorbanannya, insya Allah dengan begitu hikmah acara Maulid Nabi bisa berpengaruh pada perilaku kita.
Jadi bukan maulidnya makin gencar tapi masyarakatnya makin tercerai-berai, gampang mengkafirkan orang hanya karena beda dalam bidang dan hal-hal tertentu.
Karena itu pesan peringatan Maulid Nabi mestinya bagaimana kita menjadi toleran, karena Nabi itu sangat toleran, Nabi itu tidak membeda-bedakan orang, semua orang diperlakukan sama.
Meski Nabi itu memiliki indra malakuti yang bisa melihat orang dari hatinya, tapi Nabi memperlakukan orang sesuai dengan perilaku lahiriahnya, tidak menilai orang dari apa yang dia ketahui dari langit. Karena Nabi menilai orang dari perilakunya, maka kita harus melihat orang sesuai dengan apa yang kita lihat dari perilakunya, sehingga jangan gampang menilai orang dari hatinya, seakan-akan kita ini lebih dari Nabi dan dapat bocoran dari “langit.”
Akibat menilai orang bukan dari perilakunya melainkan dengan prasangka-prasangka, maka sebagian orang gampang menganggap yang ini sesat yang itu kafir, yang itu masuk surga yang ini masuk neraka. Memangnya kita ini juru kunci surga? Nabi yang dari awal berdakwah berusaha memasukkan semua orang ke surga, tapi ada sekelompok orang seakan-akan berdiri di depan pintu surga dan lalu menghalang-halangi orang masuk kesana, seakan surga hanya milik dia dan hanya dia yang punya sertifikatnya. Pendeknya, surga seperti hanya milik dia dan kelompoknya.
Ini yang membuat Nabi sedih. Ini yang membuat Islam itu diniali negatif oleh masyarakat lain di luar Islam. Maunya bicara Islam yang toleran, Islam yang rahmatan lil ‘alamin, tapi di dalamnya sendiri ada kalangan Islam tertentu yang disesatkan, dikafirkan, diganggu. Dan kita tidak punya empati, kita tidak menunjukkan simpati, kita tidak menunjukkan kepedulian akan hal itu. Banyak kasus-kasus intoleransi dan kekerasan terhadap kelompok Islam, tapi kita tidak peduli.
Jadi, pesan penting maulid adalah pesan toleransi. Bagaimana menjadi toleran meniru Nabi. Nabi itu dihadirkan bukan untuk dipuji tapi diteladani.
Namun, seperti apa kita seharusnya memperingati Maulid Nabi?
Berikut ini hasil wawancara ABI Press dengan intelektual Muslim Dr. Muhsin Labib berkenaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Apa sebenarnya Maulid Nabi itu menurut Dr. Muhsin Labib? Dan mengapa begitu penting untuk diperingati?
Memperingati kelahiran diri sendiri saja itu menjadi sebuah tradisi yang umum bukan hanya di kalangan umat Islam. Misalnya perayaan ulang tahun, tidak ada buruknya memperingati ulang tahun meskipun itu tidak wajib, tapi kalau ulang tahun itu isinya dengan melakukan evaluasi, berapa usia yang sudah dilewati, betapa dekatnya dia dengan kematian, ini menjadi positif.
Memperingati kelahiran diri sendiri saja positif, apalagi memperingati kelahiran pribadi yang berjasa mengangkat kita dari kegelapan pada terang, pada agama yang kita anut. Itu adalah salah satu bukti terima kasih, salah satu ekspresi syukur.
Memang agama tidak menetapkan sebuah format baku bagaimana memperingati kelahiran atau maulid Nabi, jadi orang bisa mengekpresikannya selama tidak bertentangan dengan syariat dan etika. Apalagi kelahiran Nabi itu terjadi dalam catatan sejarah, terjadi peristiwa-peristiwa besar yang menandai kelahiran seorang Nabi Muhammad, itu sesuatu yang besar. Bahkan kelahiran beliau itu telah dijanjikan dalam kitab-kitab suci sebelumnya.
Jadi memang kelahiran Nabi Muhammad itu sebuah momen besar, dan menunjukkan seseorang itu beradab kalau tetap bisa mengingat orang yang berjasa kepadanya. Apalagi ini adalah kelahiran nabi terakhir dan termulia. Masalahnya, karena memang tidak ada tata cara yang baku.
Namun apa sebenarnya tujuan memperingati kelahiran Nabi? Tujuannya pasti mengenang ajaran-ajarannya, perilakunya sehingga ada feedback positif kepada mereka yang memperingatinya. Apalagi kalau diisi dengan ceramah-ceramah pencerahan dan pembacaan narasi sejarah hidup Nabi, itu tentu hal positif.
Makanya agak aneh dan ngawur kalau ada yang mengatakan bahwa membaca teks narasi peristiwa kelahiran dan sejarah perilaku hidup Nabi itu dianggap bid’ah. Mungkin justru pernyataan semacam itulah yang bisa dikatakan bid’ah.
Kalau harus atau mewajibkan dengan tata cara tertentu, itu tidak boleh. Misalnya ada yang menyatakan, untuk memperingati kelahiran Nabi harus dengan membaca kitab ini atau harus begini, itu tidak ada. Hanya saja memang sudah tradisi masyarakat Indonesia ini yang terbiasa memperingati kelahiran Nabi itu dengan membaca narasi kelahiran Nabi. Ada kitab-kitab yang memang sudah umum dibaca di antaranya seperti Barzanji, Diba’, dan Maulud Habsy. Tapi itu semua tidak diharuskan.
Mengapa tidak ada tanggal khusus untuk memperingati Maulid Nabi, seperti halnya peringatan Natal di kalangan saudara kita, umat Nasrani?
Maulid Nabi tidak berhubungan langsung dengan persoalan benar dan salah, itu tradisi. Tapi yang paling utama kalau orang sudah terbiasa maulidan bahkan bulan Rabiul Awal di Jawa disebut dengan bulan Mulud, artinya memang utamanya memperingati kelahiran Nabi itu pada bulan Rabiul Awal dan yang dikenal oleh banyak orang adalah tanggal 12 dan sebagian juga mengatakan tanggal 17. Tapi yang pasti, kelahiran Nabi diyakini terjadi pada Bulan Rabiul Awal.
Di sisi lain, bahkan pembacaan teks-teks yang biasa dibaca dalam peringatan Maulid Nabi tidak hanya dibaca pada bulan Rabiul Awal. Mungkin dalam tradisi perkawinan, biasanya teks-teks narasi maulid dibaca, itu tidak masalah. Selama itu tidak mengganggu orang, sepanjang tidak ada hal-hal yang negatif, boleh-boleh saja. Mau kapan saja tidak ada masalah. Selama itu tidak bertentangan dengan etika, agama, syariat, tidak mengganggu orang, saya kira tetap baik.
Apakah ini berarti esensi sebenarnya dari peringatan Maulid Nabi adalah merefleksi kembali tentang Rasulullah?
Ya, kalau kita mengenang orang baik pasti kita orang baik. Mana mungkin orang yang suka baca narasi Maulid Nabi ada di diskotik? Ketika dia membaca narasi maulid, otomatis dia berkumpul dengan orang-orang yang baik. Minimal hal itu dapat mengurangi kecenderungan kita atas hal-hal yang negatif.
Daripada mempersoalkan orang kumpul-kumpul membaca narasi maulid dan shalawatnya, mengapa tidak mempersoalkan orang yang melakukan tindak korupsi saja? Banyak yang kita lakukan mengganggu dan mencederai umat Islam mayoritas, terutama yang memang menunjukkan kecintaannya pada Maulid, pada bulan Rabiul Awal.
Misalnya membaca narasi maulid dengan diiringi rebana itu menunjukkan kegembiraan, dan posisi berdiri itu tanda menyambut, mengandaikan seakan-akan Rasulullah itu hadir dan secara fisik berada di situ. Penghormatan dengan cara berdiri itu dianggap cara beradab dimana saja. Bukan sebagai pengkultusan. Jadi aneh, kalau ada kelompok-kelompok begitu bencinya dengan peringatan Maulid Nabi padahal yang diperingati juga nabi yang sama, yang kata mereka, mereka pun mengikuti nabi itu juga. Kalau mengikuti Nabi, ya berarti harus hormat kepada Nabi.
Bagaimana pendapat anda terhadap perayaan Maulid Nabi yang sampai menutup jalan utama dan mengganggu perjalanan orang?
Seperti saya katakan, selama tidak mengganggu orang hal itu baik-baik saja. Tapi kalau memperingati Maulid Nabi dengan cara mengambil alih jalan utama yang biasa digunakan oleh masyarakat umum sampai orang lain merasa terganggu, akibatnya orang-orang yang punya keperluan mendesak sampai harus mencari jalan lain memutar jauh. Itu bukan acara maulidnya yang buruk. Acara maulidnya baik, tapi bisa jadi orang-orang yang menggelar acara itu yang entah memang punya tendensi lain atau tidak punya cara berpikir yang benar, tidak mampu memilah mana yang utama dan yang tidak.
Jelas yang lebih utama adalah kepentingan masyarakat. Dengan menjaga kepentingan masyarakat, Maulid Nabi masih tetap bisa diadakan. Misalnya di tempat yang tidak mengganggu seperti di lapangan. Saya pikir itu relatif, yang penting jangan memaksa orang supaya menyumbang, sampai menganggap menyumbang itu sesuatu yang wajib. Sebab masih ada yang lebih penting, yaitu mencukupi nafkah untuk anak-istri, dan bagaimana menjaga shalat wajibnya. Artinya, kalau memang berhalangan hadir ke peringatan Maulid Nabi, ya ndak perlu harus memaksakan diri hadir. Jangan pula semua orang yang tidak hadir kemudian dicap sebagai sebuah pertanda bahwa dia tidak cinta kepada Nabi. Ekstremitas seperti itulah yang tidak boleh. Karena orang menghormati Nabi itu punya caranya sendiri-sendiri dan cara terbaik menghormati Nabi yaitu menjalankan perintah agama yang dibawa Nabi, dengan baik dan benar.
Yang aneh saat ini adalah kelihatan sebagian orang antusias memperingati Maulid Nabi tapi perilakunya tidak mencerminkan agama dan ajaran yang dibawa Nabi. Perilaku Nabi tidak ditiru, tapi ribut dengan peringatan-peringatan kelahiran beliau.
Di beberapa daerah bahkan ada tradisi yang kadang seperti mewajibkan masyarakat sekitar untuk mengadakan peringatan Maulid Nabi di setiap rumah, sampai-sampai banyak orang harus berhutang hanya untuk menggelar acara tersebut. Bagaimana pendapat anda?
Itu tidak benar, itu yang harus ditentang! Bahwa mengadakan Maulid Nabi itu tidak wajib dengan tata cara tertentu. Meski berterima kasih kepada Nabi itu wajib, tapi jika dikatakan harus dengan cara tertentu sehingga menjadikan orang-orang tertekan, itu tidak boleh. Apalagi sampai memaksakan diri, hingga terpaksa meminjam uang. Jelas Nabi tidak ingin begitu. Nabi malah bisa jadi kecewa kalau ada yang memperingati kelahiran beliau dengan mengganggu orang, atau jika sampai orang itu menjadi terpaksa dan terbebani. Jelas hal semacam itu tidak bisa dibenarkan.
Kita berhaji saja, yang merupakan perkara wajib, kalau tidak mampu ya tidak apa-apa kalau tidak dilakukan. Lha ini yang bukan kewajiban seperti haji kok malah mau diwajibkan. Cukup ikuti saja ajaran Nabi. Misalnya Nabi itu toleran, ikuti saja hal itu, sudah cukup membuktikan kita menghormati Nabi tanpa harus mengadakan acara maulid yang dipaksakan.
Hal seperti ini yang perlu ditegaskan. Banyak orang memperingati Maulid Nabi itu hanya memuji-muji fisik Nabi. Misalnya dengan mengatakan “wajahmu seperti rembulan.” Jadi, pada saat ini kelihatannya ada pergeseran makna peringatan Maulid Nabi dari yang semestinya mempelajari, meneladani perilakunya, jiwa perjuangannya, pengorbanannya, berubah hanya muji-muji wajahnya yang tampan, wajahnya yang bersinar. Padahal kalau dalam narasi Maulid Nabi dikatakan “kau adalah rembulan” pasti maksud dari yang nulis itu bukan fisiknya. Sebagaimana Al Quran bilang, Nabi datang sebagai cahaya, yang cahaya itu ajarannya, bukan wajahnya. Tapi yang dipuja-puja wajahnya, ini yang saya maksud ada pergeseran makna. Benar, Nabi itu sempurna fisiknya tapi bukan itu yang terpenting. Jadi jangan cuma memperhatikan rambutnya Nabi bergelombang, alisnya begini, kulitnya begitu. Cambangnya begini, fisiknya begitu. Yang lebih penting itu adalah bagaimana kepribadian dan akhlak beliau..
Jadi jangan Nabi hanya digambarkan klimis bersih tak tersentuh debu, padahal Nabi itu berpeluh, berkeringat, terluka, berdarah. Sebab makna perjuangan dan pengorbanannya itulah yang mesti kita ikuti, bukan karena tampilan klimisnya, seakan-akan selalu kalem, seakan-akan ndak ada perlawanan (terhadap kezaliman).
Padahal sejatinya Nabi itu, kalau Imam Ali saja dikatakan paling berani, maka Nabi pasti lebih berani dalam pertempuran. Sampai Imam Ali mengatakan, “kalau pertempuran berkecamuk dan kami terdesak, kami berlindung di belakang Nabi.” Maka itu Nabi lukanya paling banyak. Nabi itu berjuang sudah dengan apa adanya, jangan sampai seakan-akan Nabi digambarkan melankolis, bersih dan klimis. Tidak seperti itu. Nabi itu berjuang hingga berdarah-darah, pernah rahangnya patah dalam perang Uhud, pernah luka-luka, tubuhnya banyak dilempari batu oleh orang, dan sebagainya.
Kita kan sudah pernah dengar Nabi dilempari kotoran. Semua yang pernah dialami oleh para nabi itu dialami oleh Nabi. Tapi akhir-akhir ini kita ndak pernah menggambarkan sisi perjuangannya. Dalam acara maulid-maulid yang kita baca cuma hal-hal secara kelihatannya, artifisial, hal-hal yang kelihatannya fisikal, simbolik. Padahal yang jauh lebih penting, setiap acara Maulid Nabi harus menjelaskan aspek-aspek yang jauh lebih fundamental.
Cara memuji Nabi dengan mengikutinya. Cara mengikuti Nabi itu dengan mengikuti apa yang paling menonjol pada diri Nabi. Lihatlah perilaku Nabi, bagaimana sikap Nabi. Nabi itu toleran, Nabi itu tidak membeda-bedakan orang.
Ketika dipanggil orang, Nabi tidak hanya menoleh tapi malah berbalik seluruh tubuhnya. Kalau bicara dengan orang sepenuh hati tidak membedakan status, ibaratnya tidak membedakan merek baju yang orang pakai dan lain sebagainya. Juga apakah orang itu kaya atau miskin, semua tidak dibedakan. Sehingga setiap orang kalau berbicara dengan Nabi merasa seolah mendapat perlakuan khusus. Kalau Nabi bicara itu sepenuh hati, jadi tidak ada perlakuan berbeda.
Kalau kebanyakan kita kan senyum itu kadang disesuaikan dengan merek, dengan status sosial orang yang kita sapa. Saat itu baru kita ramah, kalau tidak ya tidak. Tapi Nabi tidak membeda-bedakan dan hal inilah salah satu yang saya contoh, yang menurut saya perlu dibuat narasinya.
Contoh lain lagi. Nabi itu kalau di tengah masyarakat berjalan seperti orang yang mengendap-endap, langkahnya halus, tujuannya apa? Agar kalau ada orang berkumpul itu tidak berhamburan menyambut Nabi. Tidak tarik-menarik untuk jabat tangan, cium tangan. Jadi Nabi menjaga agar orang tidak menjadi sungkan dan rikuh karena kehadiran dan keberadaannya.
Kalau Nabi diundang ke majelis, beliau tidak langsung menerobos ke depan, tapi akan duduk di bagian yang belum terisi. Itu perilaku Nabi. Jadi, Nabi itu tidak pernah menganggap dirinya itu lebih dari yang lain. Nabi itu kalau mau melakukan perjalanan, beliau biasanya mengumpulkan orang-orang miskin untuk meminta doa mereka.
Jadi, Nabi itu bukan duduk-duduk di rumah menunggu sumbangan pengikut, istilahnya menunggu ada sponsor, kalau di jaman kita sekarang. Nabi itu berdagang di pasar, tidak minta malaikat mengirimkan menu-menu spesial dari surga. Nabi itu kalau lapar ya lapar. Nah, narasi perihal Nabi semacam ini yang saya pikir perlu diangkat. Sayangnya saat ini seakan-akan yang terjadi hanya menggambarkan aspek-aspek fisikal, padahal mestinya aspek-aspek kenabiannya yang perlu ditunjukkan.
Apa pesan-pesan anda bagi masyarakat yang memperingati Maulid Nabi?
Peringatan Maulid Nabi, setiap tahun itu ada. Tapi makin hari, makin kesini kelihatannya masyarakat makin intoleran, makin gampang meyesatkan, gampang mengkafirkan. Kelihatannya antara apa yang kita lakukan berupa memperingati Maulid Nabi dengan perilaku kita agak tidak sejalan. Ada masalah apa ini? Jangan-jangan Maulid Nabi hanya dianggap sekadar memenuhi tuntutan tradisi. Bahkan jangan-jangan ini hanya dianggap hura-hura, hanya hiburan belaka.
Karena itu perlu ada pendalaman, ada pengayaan makna Maulid Nabi. Tidak hanya senang-senang tapi merenungkan hal lain. Yang juga perlu diingat bahwa Nabi itu lahir kemudian tidak hidup terus, bahwa Nabi juga meninggal. Karena itu, yang juga perlu diperingati dari Nabi adalah hari lahir dan wafatnya. Bagaimana pesan-pesan beliau sebelum wafat, misalnya di haji Wada’ Nabi mengatakan, “Jangan kalian berbalik kafir dengan saling mengkafirkan, dengan saling menyesatkan di antara umat.” Pesan-pesan seperti itu kiranya lebih perlu untuk diingat.
Jadi kelahirannya kita peringati sebagai rasa syukur, wafatnya juga perlu kita peringati sebagai rasa kehilangan. Agar kita juga tahu apa saja pesan-pesannya dalam momen haji Wada’, apa yang dimaksud dengan “ummati, ummati, ummati.” Itu yang perlu direnungkan.
Tapi anehnya orang jaman sekarang lebih suka memperingati yang enak-enak saja, yang gembira-gembira saja. Kita tidak pernah mengingat betapa derita Nabi, begitu beratnya Nabi meninggalkan umat ini. Bila kedua peristiwa tersebut terus diingat, peringatan maulidnya juga diperkaya dengan perilaku sosialnya, sikap pengorbanannya, insya Allah dengan begitu hikmah acara Maulid Nabi bisa berpengaruh pada perilaku kita.
Jadi bukan maulidnya makin gencar tapi masyarakatnya makin tercerai-berai, gampang mengkafirkan orang hanya karena beda dalam bidang dan hal-hal tertentu.
Karena itu pesan peringatan Maulid Nabi mestinya bagaimana kita menjadi toleran, karena Nabi itu sangat toleran, Nabi itu tidak membeda-bedakan orang, semua orang diperlakukan sama.
Meski Nabi itu memiliki indra malakuti yang bisa melihat orang dari hatinya, tapi Nabi memperlakukan orang sesuai dengan perilaku lahiriahnya, tidak menilai orang dari apa yang dia ketahui dari langit. Karena Nabi menilai orang dari perilakunya, maka kita harus melihat orang sesuai dengan apa yang kita lihat dari perilakunya, sehingga jangan gampang menilai orang dari hatinya, seakan-akan kita ini lebih dari Nabi dan dapat bocoran dari “langit.”
Akibat menilai orang bukan dari perilakunya melainkan dengan prasangka-prasangka, maka sebagian orang gampang menganggap yang ini sesat yang itu kafir, yang itu masuk surga yang ini masuk neraka. Memangnya kita ini juru kunci surga? Nabi yang dari awal berdakwah berusaha memasukkan semua orang ke surga, tapi ada sekelompok orang seakan-akan berdiri di depan pintu surga dan lalu menghalang-halangi orang masuk kesana, seakan surga hanya milik dia dan hanya dia yang punya sertifikatnya. Pendeknya, surga seperti hanya milik dia dan kelompoknya.
Ini yang membuat Nabi sedih. Ini yang membuat Islam itu diniali negatif oleh masyarakat lain di luar Islam. Maunya bicara Islam yang toleran, Islam yang rahmatan lil ‘alamin, tapi di dalamnya sendiri ada kalangan Islam tertentu yang disesatkan, dikafirkan, diganggu. Dan kita tidak punya empati, kita tidak menunjukkan simpati, kita tidak menunjukkan kepedulian akan hal itu. Banyak kasus-kasus intoleransi dan kekerasan terhadap kelompok Islam, tapi kita tidak peduli.
Jadi, pesan penting maulid adalah pesan toleransi. Bagaimana menjadi toleran meniru Nabi. Nabi itu dihadirkan bukan untuk dipuji tapi diteladani.
Kenapa dia manusia? Sebab kalau malaikat, kita akan berkata, “Dia kan malaikat, jadi tidak bisa ditiru.”
Ya, Nabi itu manusia, dan karena manusia, kita bisa menirunya. Meniru tidak berarti harus seratus persen. Paling tidak meniru aspek-aspek tertentu yang bisa kita tiru. Masing-masing bisa meniru perilaku Nabi, karena semua yang dilakukan Nabi itu nilai. Semua mulai darinya. Apapun yang dilakukan Nabi itu, “Laqad kaana lakum fii Rasulillahi uswatun hasanah.” Apa yang ada pada diri Nabi itu semuanya adalah teladan terbaik.
Kita menyatakan memujinya tapi kenyataannya perilaku yang paling menonjol dari Nabi, yaitu toleran terhadap semua orang dan tidak gampang menuduh, hal itu malah tidak terefleksi dalam sikap kita. Akhirnya kita menjadi bangsa yang disepelekan, menjadi masyarakat Muslim yang diremehkan orang, dianggap gemar gontok-gontokan atau suka berseteru, dianggap keras, tidak beradab dan lain sebagainya.
Kasihan Nabi. Dengan bersusah payah agama Islam ini dibangun, kita malah menyia-nyiakannya dan tidak malu mengaku sebagai umat Islam, pengikut dan pencinta Nabi. (Lutfi/Yudhi)
Ya, Nabi itu manusia, dan karena manusia, kita bisa menirunya. Meniru tidak berarti harus seratus persen. Paling tidak meniru aspek-aspek tertentu yang bisa kita tiru. Masing-masing bisa meniru perilaku Nabi, karena semua yang dilakukan Nabi itu nilai. Semua mulai darinya. Apapun yang dilakukan Nabi itu, “Laqad kaana lakum fii Rasulillahi uswatun hasanah.” Apa yang ada pada diri Nabi itu semuanya adalah teladan terbaik.
Kita menyatakan memujinya tapi kenyataannya perilaku yang paling menonjol dari Nabi, yaitu toleran terhadap semua orang dan tidak gampang menuduh, hal itu malah tidak terefleksi dalam sikap kita. Akhirnya kita menjadi bangsa yang disepelekan, menjadi masyarakat Muslim yang diremehkan orang, dianggap gemar gontok-gontokan atau suka berseteru, dianggap keras, tidak beradab dan lain sebagainya.
Kasihan Nabi. Dengan bersusah payah agama Islam ini dibangun, kita malah menyia-nyiakannya dan tidak malu mengaku sebagai umat Islam, pengikut dan pencinta Nabi. (Lutfi/Yudhi)
Continue Reading
You may like
Click to comment