Berita
Hasuna: “Kapan Kami Bisa Ikut Lomba 17 Agustusan Lagi…?”
Pesta perayaan hari kemerdekaan bangsa Indonesia ke-69 masih menyisakan kemeriahan dan kegembiraan di hati masyarakat Indonesia. Tak hanya di tanggal 17, hingga hari ini pun di berbagai pelosok kampung dan daerah, warga masih merayakan momen hari kemerdekaan ini dengan berbagai lomba rakyat, mensyukuri kemerdekaan yang diperjuangkan para leluhur kita.
Namun di tengah-tengah kemeriahan dan kebahagiaan ini, ada satu kisah terlupa. Kisah anak-anak bangsa yang sudah dua tahun terlunta-lunta; ratusan saudara kita, pengungsi Muslim Syiah Sampang di Jemundo, Sidoarjo.
Tak hanya harus menelan kenyataan pahit kala Hari Raya Iedul Fitri tak bisa kembali ke kampung halaman melepas rindu dengan sanak kerabat yang dua tahun terpisah karena dihalang-halangi Pemda Sampang dan Pemprov Surabaya, di hari kemerdekaan ini pun para pengungsi Muslim Syiah Sampang tak merasakan gembira dan meriahnya perayaan kemerdekaan Indonesia itu, termasuk momen khidmat prosesi upacara benderanya.
Hasuna, gadis 11 tahun yang berstatus pengungsi saat ABI Press wawancarai menceritakan bahwa ia dari dulu sangat senang tiap 17 Agustus tiba.
“Aku dulu di kampung seneng kalau mau 17-an. Kayak mau lebaran senengnya, soalnya banyak kembang api, banyak perlombaan, diajari gerak jalan, dll. Pokoknya seneng…,” tutur Hasuna. “Tapi pas di sini, 17 Agustusan ga ada acara apa-apa. Aku pengen kayak dulu… Kapan ya bisa ikut lomba 17 agustusan lagi…?”
“Dulu pernah ikut lomba makan kerupuk, lomba tarik tambang, lomba gerak jalan di sekolah waktu 17 Agustus bareng temen. Seneng banget rasanya,” ujar Hasuna dengan mata berbinar-binar. “Semoga pemerintah cepat memulangkan kami semua ke kampung ya, Pak…” harapnya.
Sowi, pemuda yang juga ikut menjadi pengungsi merasakan hal yang sama.
“17 Agustus sekarang tidak seperti dulu waktu di kampung. Dulu waktu di kampung senang merayakannya apa lagi ada perlombaan di sekolah, tapi sekarang kayak ga ada apa-apa rasanya,” ujar Sowi.
“Mungkin karena saya merasa belum merdeka dan masih mengungsi, ya? Saya ingin merayakan tapi gimana? Kan saya belum merdeka…,” keluh Sowi. “Untuk pemerintah tolong segera selesaikan kasus ini agar kami bisa pulang kampung dan bisa merdeka seperti yang lain,” harap Sowi, menitipkan pesannya pada pemerintah yang hingga saat ini masih berpangku tangan.
Pesan Dari Pengungsian
“Sebenarnya kami ingin merayakannya juga mas, setidaknya mengibarkan bendera merah putih,” ujar Nur Kholish, salah seorang pengungsi yang lain. “Kami ingin membuktikan ke semua elemen masyarakat bahwa kami juga warga negara Indonesia yang dimerdekakan oleh Soekarno dan para pejuang. Nenek moyang kami juga orang Indonesia yang mungkin juga menjadi pejuang kemerdekaan Indonesia tahun 45 lalu. Tapi ya… mau bagaimana lagi?” keluh Kholis.
“Kepada saudara-saudara kami di luar sana, yang bahagia dan bergembira merayakan 17 Agustusan, saya hanya ingin bilang, kalian mungkin bisa bebas dan bergembira merayakan Agustusan, tapi kami di sini dipenjara, dua tahun kami tidak merasakan kemerdekaan dan terlunta-lunta… hak-hak kami dirampas… kami dianiaya…” tutur Kholis. Suaranya terdengar agak bergetar menahan pedih saat ABI Press mewawancarainya.
“Kepada saudara-saudara kami di luar sana…, saya hanya ingin bilang, ingatlah kami. Jangan lupakan kami. Kami juga saudara kalian, saudara sebangsa dan setanah air. Kami tidak menuntut apa-apa. Kami hanya ingin pulang. Ke kampung halaman kami,” pinta Kholis, masih dengan suara pelan, dan bergetar. Seolah mencoba menahan perih yang sudah dua tahun ini sesaki dadanya. (Muhammad/Yudhi)