Berita
Harta Kekayaan dalam Perspektif Islam
Bicara tentang harta dan kekayaan, ada pandangan berbeda-beda dalam ifrath dan tafrit-nya (sifat berlebihan dan lalai). Sebagian orang mengatakan harta dan kekayaan itu sedemikian penting, karena dengannya semua problem bisa terpecahkan. Para penganut keyakinan ini bahkan meneriakkan suara mereka di dalam syair. Sebuah syair arab mengatakan:
Kefasihan Subhan dan (indahnya) tulisan Ibnu Muqillah
Kebijaksanaan Luqman dan kezuhudan Ibnu Idham
Kalaupun menyatu dalam diri seseorang yang miskin
Kadarnya tidakkah sebanding dengan satu dirham!
Kefasihan Subhan (yang ucapannya dikenal fasih dalam bahasa Arab), tulisan Ibnu Muqillah (seorang penulis Arab), kebijaksanaan Luqman, dan kezuhudan Ibrahim bin Idham apabila semua itu dimiliki oleh seseorang yang tidak memiliki uang, kadar kedudukannya tidak sebanding dengan orang cuma memiliki uang satu dirham! Oleh sebab itu wajar bila mereka selalu sibuk mengumpulkan harta dan tidak pernah sejenak pun untuk bisa duduk santai. Untuk mendapatkan harta mereka tidak terikat dengan syarat apa pun, halal dan haram menurut mereka sama.
Diseberang golongan ini ada sekelompok orang yang memandang bahwa harta kekayaan tidak ada harganya sekecil apa pun. Mereka memuja kemiskinan dan menganggapnya sebagai sesuatu yang berharga, bahkan menganggap harta sebagai penghambat ketakwaan dan kedekatan kepada Allah. Akan tetapi di dalam dua keyakinan yang saling berseberangan ini terdapat sifat ifrath dan tafrith.
Syarat Harta yang baik
Dari al-Quran dan hadis kita bisa mengambil pelajaran bahwa harta itu baik namun dengan beberapa syarat, yaitu:
- Sebagai perantara dan bukan sebagai tujuan.
- Tidak menjadikan manusia sebagai budaknya.
- Didapat dari jalan yang benar dan digunakan di jalan keridaan Allah.
Kecenderungan terhadap harta seperti ini tidaklah dianggap sebagai cinta dunia, bahkan itu menunjukkan kecenderungan pada akhirat. Sebuah riwayat menyatakan bahwa suatu ketika Imam Ja’far Shadiq as mengutuk dan memaki dzahab dan riddhah (emas dan perak). Salah seorang sahabat terkejut dan bertanya apa yang sedang beliau lakukan. Imam berkata: “Ini bukan seperti yang kau kira. Maksud dari dzahab (pergi) adalah sesuatu yang menghilangkan agama dan yang dimaksud fiddhah (sumber) adalah sesuatu yang memancarkan kekufuran.” [Bihar al-Anwar 73/141, hadis 17]
Di dalam hadis lain Imam Ali as berkata: “Ada empat macam mabuk, yaitu mabuk minuman, mabuk harta, mabuk tidur, dan mabuk kekuasaan!” [Bihar al-Anwar 730/142]
Sebuah riwayat menyebutkan suatu ketika Imam Ja’far Shadiq as didatangi seorang lelaki yang berkata: “Wahai Imam! Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu. Berilah aku nasihat.”
Imam Ja’far berkata: “Jika kebaikan itu hak dan kita mempercayainya, buat apa mengumpulkan harta? Kalau kita tidak berinfak di jalan Allah dan jika janji (pahala dan balasan) Allah itu hak, maka buat apa kikir.? [Tauhid Shaduq, 5/668, hadis ke-8]
Banyak orang yang hingga akhir hayatnya sibuk mengumpulkan harta sampai akhirnya mereka memberi pinjaman kepada orang lain, dan mereka hanya mendapatkan harta yang dipinjamkan dan keuntungannya menjadi milik orang lain. Sebuah hadis dari lbnu Abbas menyatakan bahwa Nabi saw berkata: “Pada hari kiamat seorang hamba tidak akan bergeser kedua kakinya hingga ia ditanyai tentang empat perkara, yaitu tentang umur untuk apa dihabiskan, tentang harta dari mana diperoleh dan ke mana diinfakkan, tentang amal perbuatan apa yang telah ia lakukan, dan tentang kecintaan kepada kami Ahlulbait!” [Majma a–Bayan, 10/494]
Penyesalan Terbesar
Sebuah hadis menyatakan ada seseorang bertanya kepada Imam Ali as: “Siapa yang paling besar penyesalannya?”
Imam as berkata: “Orang yang melihat hartanya sebagai timbangan amal perbuatan orang lain dan karena hartanya Allah akan memasukkannya ke dalam neraka dan memasukkan pewarisnya ke dalam surga!” [Bihar al-Anwar, 73/142]
Imam Ja’far Shadiq as berkenaan dengan tafsir ayat Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi penyesalan bagi merekaf” [QS. al-Baqarah: 167] beliau berkata: “Ayat ini berbicara tentang seorang yang menitipkan harta dan karena kekikirannya tidak menginfakkannya di jalan ketaatan kepada Allah. Lalu ia meninggal dunia. Maka artinya ia menitipkan harta kepada orang yang digunakan di jalan ketaatan kepada Allah atau digunakan untuk maksiat kepada-Nya. Jika digunakan di jalan ketaatan kepada Allah, ia (si pemilik harta) akan menjadikan hartanya sebagai timbangan amal perbuatan orang lain dan ia akan menyesal karena harta tersebut dulu adalah miliknya. Apabila digunakan untuk bermaksiat, semakin menguatkan orang itu untuk berbuat dosa (meskipun begitu siksaan dan penyesalan masih mengarah kepadanya).” [Bihar al-Anwar, hadis ke-20]
Memang kondisi manusia di hadapan harta itu berbeda-beda. Terkadang menjadi berhala yang membahayakan dan terkadang juga menjadi perantara kebahagiaan.
Yang menyenangkan hati setan
Kita akhiri bab ini dengan sebuah hadis dari Ibnu Abbas. Ia berkata: “Ketika (uang) dirham dan dinar ditimpakan di bumi, Iblis melihat keduanya. Ketika ia memandang keduanya, ia mengambil dan menempelkan keduanya di kedua matanya, lalu mengambil dan menempelkan ke dadanya. Kemudian ia berteriak gembira dan menempelkan lagi ke dadanya. lalu berkata “Kalian berdua (dirham dan dinar) adalah cahaya kedua mataku dan buah hatiku! Apabila manusia menyukai kalian dan tidak menyembah berhala, bagiku itu bukan hal yang penting, melainkan kecintaan mereka kepada kalian itu sudah cukup bagiku (karena kalian adalah berhala yang paling unggul). [Bihar al-Anwar, hadis ke-20]
Said Husain Saidi, Bertuhan dalam Pusaran Zaman