Artikel
Harmonisasi Syiah dan Ahlusunah dalam Sejarah Awal di Nusantara
Dari catatan sejarah masuknya Islam ke Aceh dan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam dapat kita ketahui bahwa semua antara Syiah dan Ahlusunah telah saling rebut pengaruh dan kekuasaan. Berikut ringkasannya:
Kerajaan Islam Perlak
Pada tahun 173 / 800 M tibalah di Bandar Perlak sebuah kapal dagang dari Teluk Kambey (Gujarat) di bawah pimpinan Nahkoda Khalifah dengan para pedagang yang berjumlah sekitar seratus orang, yang semuanya Muslim. [Yunus Jamil: Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh, hal 68]
Sudah menjadi kebiasaan sejak beratus -ratus tahun yang lalu, banyak kapal-kapal datang dari Gujarat berniaga dengan Perlak, seperti halnya kapal-kapal dagang dari Arab, Persia, dan Tiongkok. Tetapi kapal dagang yang dipimpin oleh Nahkoda Khalifah ini lain, ia pada hakikatnya adalah kapal dagang yang akan menyebarkan Islam kepada rakyat Perlak, karena Nahkoda Khalifah dan rombongannya sebenarnya adalah “Misi Islam” yang menyamar sebagai pedagang.
Usaha mereka untuk “mengislamkan” Perlak berhasil dengan baik sekali, di mana dalam waktu yang relatif singkat sebagian besar rakyat Perlak telah masuk Islam dan pada hari selasa tanggal 1 Muharram 225 H (840 M) diumumkan proklamasi berdirinya Kerajaan Islam Perlak, dengan raja yang pertamanya Sultan Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah, turunan Arab-Quraisy, beliau menganut aliran Syiah.
Adapun rombongan “misi Islam” yang dipimpin Nahkoda Khalifah semuanya orang-orang Syiah, yang di negeri Arab telah ditindas dan dikejar-kejar sejak Daulah Umayah dan Daulah Abbasiyah. Karena itulah, Kerajaan Islam Perlak pada mula berdirinya dipengaruhi dan dikuasai oleh orang-orag dari aliran politik Syiah, sehingga pahamnya menyelusupi dalam tubuh masyarakat Islam yang baru tumbuh waktu itu.
Pada masa itu, aliran politik Ahlusunah yang telah mulai berpengaruh di zaman Daulah Abbasiyah, mengirim pula Misinya ke Perlak secara rahasia, sehingga dengan ketekunan dan kecakapan berdakwah, mereka berhasil mengumpulkan pengikutnya di Perlak, sehingga dalam masa pemerintahan Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abbas (Sultan Perlak ke III) yang memerintah pada tahun 285 – 300 H (880-913 M) terjadi pemberontakan terhadap kerajaan yang dikuasai Syiah, pemberontakan berlangsung sampai dua tahun lamanya.
Pada akhir masa Sultan Alaiddin Maulana Ali Mughaiyat Syah, yang memerintah dalam tahun 302-305 H. (915 – 918 M), pecahlah pemberontakan lagi , yang berakhir dengan kemenangan kelompok Ahlusunah, dan dengan demikian berakhirlah Dinasti Arab Quraisy yang beraliran Syiah, dan terbentuklah Dinasti Makhdum Johan dari penduduk Asli yang beraliran Ahlusunah.
Adapun rahasia dari kemenangan aliran Ahlussunnah, yaitu karena mereka mendasarkan kekuatannya pada penduduk asli, mereka mencalonkan salah seorang bangsawan penduduk asli untuk menjadi Sultan, sehingga setelah mereka mencapai kemenangan, diangkatlah Meurah Abdul Kadir menjadi Sultan Perlak dengan gelar Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat sebagai Sultan Pertama dari Dinasti Makhdum Johan, yang memerintah dalam tahun 306 – 310 H (918 – 922 M).
Sementara itu, orang-orang Syiah tidak tinggal diam, mereka terus mengadakan gerakan di bawah tanah dengan cara yang intensif sekali, sehingga pada akhir pemerintahan Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan berdaulat yang memerintah dalam tahun 334 – 361 H (946 – 973 M), golongan Syiah melakukan suatu pemberontakan terhadap Dinasti Makhdum Johan, yang berlangsung sampai empat tahun lamanya dan berakhir dengan suatu perdamaian yang membagi Perlak menjadi dua kerajaan, yaitu: Perlak Pesisir untuk golongan Syiah dengan mengangkat Sultannya, Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Mahmud Syah yang memerintah pada Tahun 365 – 377 H (976 – 988 M). Perlak Pedalaman untuk golongan Ahlusunah dengan mengangkat Sultannya; Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah, yang memerintah dalam Tahun 365 – 402 H. (976 – 1012 M).
Pada tahun 375 H (986 M), Kerajaan Sriwijaya menyerang kerajaan Perlak, penyerangan ini berhasil digagalkan. Karena penyerangan ini, Kerajaan Perlak bersatu kembali, dan Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Mahmud Syah, syahid di medan perang, dan dengan demikian tinggallah Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan berdaulat menjadi Sultan Perlak, dan seterusnya golongan Ahlusunah menguasai Kerajaan Islam Perlak, dengan memberi hak hidup kepada golongan Syiah.
Kerajaan Islam Samudra Pasai
Pada tahun 433 H (1042 M) berdirilah Kerajaan Islam Samudra Pasai, setelah Meurah Giri memimpin sebuah Misi Islam, dari Perlak ke Pasai dan berhasil mengislamkan penduduknya. Meurah giri salah seorang dari keluarga Sultan Makhdum dari Dinasti Makhdum Johan yang menganut aliran Ahlusunah. Karena jasa-jasanya, kemudian Meurah Giri diangkat menjadi Sultan Samudra Pasai pertama dengan gelar Maharaja Mahmud Syah, yang memerintah pada tahun 433 – 470 H (1042 – 1078 M).
Sekalipun yang mula-mula menyiarkan Islam ke daerah Pasai orang-orang Ahlusunah dan berkesempatan pula memegang tampuk kekuasaan negara, namun orang-orang dari aliran Syiah yang terjepit di Perlak datang pula ke daerah Samudra Pasai untuk mengembangkan pahamnya. Usaha kaum Syiah menanamkan pengaruhnya di daerah Samudra Pasai akhirnya berhasil, sehingga dalam masa pemerintahan Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu (801 – 831 H / 1400 – 1438 M), diangkatlah salah seorang tokoh mereka menjadi perdana mentri, yaitu Arya Bakooy yang setelah menjadi perdana Mentri bergelar Maharaja Ahmad Permala.
Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh Darussalam yang diproklamasikan pada tanggal 12 Zulkaidah 916 H (1511 ), adalah lanjutan dari kerajaan-kerajaan kecil sebelumnya, yaitu kerajaan Islam Perlak, Kerajaan Islam Samudra Pasai, Kerajaan Beunua (Teumieng), Kerajaan Islam Lingga, Kerajaan Islam Pidie, Kerajaan Islam Daya dan Kerajaan Darussalam. Karena adanya ancaman penjajah Portugis, maka Kerajaan-kerajaan kecil itu dapat disatukan oleh Ali Mughayat Syah dalam satu kerajaan besar yang dinamakan kerajaan Aceh Darussalam, dan Ali sendiri dinobatkan menjadi rajanya yang pertama dengan gelar Sultan Alaiddin Ali Mughaiyat Syah, yang memerintah dari tahun 916 – 936 H (1511 – 1530 M). [Mohammad Said: Aceh Sepanjang Abad, hal 89 – 99]
Adalah suatu hal yang logis, kalau saling rebut pengaruh dan kekuasaan antara Syiah dan Ahlusunah yang telah berkecamuk sebelumnya dalam Kerajaan Islam Perlak dan Kerajaan Islam Samudra Pasai berkelanjutan terus dalam kerajaan Aceh Darussalam. Masing-masing pihak mencoba mempengaruhi pimpinan negara dan selanjutnya kalau mungkin merebut kekuasaan.
Usaha-usaha mereka tidak pernah dapat tercapai, karena Sultan sangat waspada terhadap kemungkinan terjadinya perpecahan dalam kalangan rakyat, pada saat-saat ancaman penjajahan Portugis semakin menjadi-jadi. Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya perpecahan diambil Sultan dengan amat bijaksana.
Karena itu, baik Syiah ataupun Ahlusunah tidak dapat merebut kekuasaan politik dalam kerajaan Aceh Darussalam, sekalipun gerakan mereka tidak dilarang, bahkan kepada semua golongan diberi kebebasan bergerak seluas-luasnya, sesuai dengan “Demokrasi Islam” yang dianut kerajaan. Sungguhpun dalam politik, Ahlusunnah dan Syiah tidak pernah mencapai sasaran pokoknya dalam kerajaan Aceh Darussalam, namun ajaran mereka mengenai dengan aqidah, tasawuf, thariqat, filsafat dan Ibadat berkembang di kalangan rakyat.
Pada abad XVI dan XVII, tokoh-tokoh ulama yang beraliran Syiah dan beraliran Ahlsunnah, silih berganti datang ke Aceh dari Arabia, Persia dan India, masing-masing untuk memperkuat golongannya. [A. Hasjmy: Ruba’i Hamzah Fansury, hal 2-4] Pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mansur Syah, yang memerintah pada tahun 989 – 995 H (1581 – 1587 M), datang ke Aceh dua orang ulama dari Mekkah, yaitu Syekh Abdul Khair Ibnu Hajar, yang menganut aliran Syiah beliau membawa ke Aceh paham Thariqat Wujudiyah (Wahdatul Wujud) dan Masalah A’yaannus Sabitah. Ajaran-ajaran beliau ini mendapat sambutan baik dari Syekh Hamzah Fansury dan Syekh Syamsuddin Sumatrany serta para pengikutnya. Syekh Muhammad Yamin, penganut Aliran Ahlusunah, yang membawa ajaran Wahdatusy Syuhud, ajaran beliau ini kemudian dikembangkan oleh Syekh Nuruddin Ar Raniry dan Syekh Abdurrauf Syah kuala serta para pengikutnya.
Syekh Muhammad Jailani bin Hasan Ji Bin Muhammad Hamid (Pamannya Syekh Nuruddin Ar-Raniry) yang datang dari Gujarat India, beliau penganut Ahlusunah. Pada masa itu, terjadilah perbedaan pendapat dan pertentangan paham tersebut, di samping telah menimbulkan hal-hal yang negatif karena perpecahan, tetapi juga mengakibatkan hal-hal positif dan baik, yaitu meluasnya perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga Aceh dalam Abad ke XVII merupakan gudang ilmu pengetahuan di Asia Tenggara, terutama dalam masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah yang memerintah pada tahun 1016 – 1045 H (1607 1636 M) dan masa pemerintahan Sultanah Seri Ratu Tajul alam Safiatuddin Johan berdaulat, yang memerintah pada tahun 1050-1086 H (1641 – 1675 M). [Nuruddin Al’raniry: Bustanus Salatin, hal 73 / Mohammad Said: Aceh Sepanjang Abad, hal 173-190]
Pada zaman ini telah banyak dikarang kitab-kitab ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang hukum, tasawuf dan filsafat, baik dalam bahasa Melayu, Arab dan Aceh. Kehidupan Ilmu pengetahuan mencapai puncaknya di Abad ke XVII berlanjutan terus sampai ke abad XVIII dan permulaan abad ke XIX, sekalipun dalam abad-abad itu kehidupan politik sudah menurun dan terus menurun. Pada masa-masa itu, muncullah nama ulama-ulama/ pengarang yang sanggup mengarang tidak saja dalam bahasa melayu /Aceh, tetapi juga dalam bahasa Arab dan Persia, seperti Syekh Hamzah Fansury, Syekh Syamsuddin Sumatrany, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Syekh Burhanuddin, Syekh Ismail Bin Abdullah Al-Asyi, Syekh Jalaluddin Bin Syekh Arif Billah, Syekh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Thrsani, Syekh Muhammad Daud Baba Ar-Rumy, Tengku Seumatang, Syekh Abbas Kuta Karang, dan lain-lain.
*Disadur dari buku “Syiah dan Ahlusunnah saling rebut pengaruh dan kekuasaan sejak awal sejarah awal di Kepulauan Nusantara”. Karya Prof. A. Hasimy, Penerbit PT Bina Ilmu, Surabaya 1983.