Berita
Hari Jalan Kaki: Hari Pemanusiaan Kembali
(Catatan Ketiga)
Setelah berkendara dua jam dari Baghdad, saya akhirnya sampai di Najaf. Perjalanan kami agak tersendat lantaran banyaknya pos pengamanan dan tenda-tenda pelayanan peziarah. Kendati begitu, waktu serasa masih berberkah. Kok bisa?
Terus terang, ini juga salah satu rahasia yang belum bisa saya ungkap terkait long march menuju Karbala. Entah bagaimana persisnya, saya merasa di wilayah ini waktu seperti memuai. Beberapa kawan juga merasakan hal serupa.
Di sini, satu jam terasa begitu panjang dan berkah. Banyak yang bisa kami lakukan dengan satu jam, yang tidak bisa kami lakukan dengan lima jam di Jakarta.
Soal pemuaian waktu di sepanjang jalan menuju Karbala, sebagian peziarah mengaitkannya dengan kebosanan. Tapi secara objektif waktu memang lebih longgar di sini.
Kebanyakan peziarah asing seperti saya memang mengambil rute Najaf-Karbala. Ini rute yang relatif mudah, aman dan pendek. Tapi sebagian besar warga Irak yang bermukim di wilayah selatan, harus berjalan dari Basrah yang berjarak sekitar 600 km. Ada yang bahkan memulai dari titik yang lebih jauh lagi. Ajaibnya, berjuta-juta peziarah itu bakal sampai bersamaan di mulut Karbala pada Hari Arbain.
Di sepanjang jalan menuju Karbala, Anda akan menemukan tiang-tiang bernomor. Nomor-nomor tiang itu berfungsi sebagai tanda, panduan bagi rombongan, dan titik pertemuan. Tiang yang akan saya lalui sebanyak 1.452, dengan jarak di antaranya sekitar 50 meter. Jadi 20 tiang sekitar 1 km.
Di sepanjang jalan, saya menemukan ribuan meja panjang berisi beragam hidangan gratis untuk peziarah. Tidak cukup disiapkan di meja, sebagian pelayan mendekat ke para peziarah untuk langsung memberinya. Sebagian malah sedikit memaksa agar kita mau menerima hidangannya atau mampir di tendanya.
Tiba-tiba saya dikejutkan oleh seseorang (dan ternyata kemudian beberapa sosok lain di depan) yang memaksa saya jalan di atas sepotong kain. Lalu dia membersihkan debu sandal saya dan menampungnya dalam sejenis karung. Saya bertanya-tanya: Untuk apa itu? Jawaban baru saya terima setelah acara selesai: untuk obat penyembuhan.
Bagi sebagian orang barangkali memang ada unsur kemusyrikan di situ. Tapi ungkapan cinta memang tak mudah dipahami oleh yang tidak terlibat di dalamnya. Apalagi bagi yang memang kurang suka dengannya. Padahal bagi banyak orang awam, efek penyembuhan debu para peziarah Imam Husein bukan lagi teori yang perlu dibuktikan. Ia adalah fakta yang sehari-hari mereka temukan.
Cinta memang bukan urusan benak untuk dipikirkan. Ia adalah gelegak dalam hati. Ia adalah rasa manis yang hanya bisa dicicipi. Ia adalah obat hati. Ia adalah penyemangat yang terkuat. Sudahlah, cinta memang bukan urusan kata-kata, atau teori atau tulisan.
Demikian petikan laporan pandangan mata dan ungkapan perasaan untuk hari ini. (Abu Jawad/Yudhi)
Link terkait :
– Perjalanan Mencari Diri: Dari Jakarta Ke Karbala (Catatan Pertama)
– Hari H Perjalanan Mencari Diri: Rangkuman Perasaan Dan Harapan (Catatan Kedua)