Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Hari H Perjalanan Mencari Diri: Rangkuman Perasaan dan Harapan

(Catatan Kedua)

Dalam perjalanan menuju Baghdad, kepala saya disesaki pertanyaan: mengapa saya seperti latah, merasa “wajib” kembali lagi berjalan kaki kali ini? Mengapa saya mau meninggalkan hal-hal yang sangat saya cintai demi pawai akbar di negeri asing yang serba kacau ini?  Apa yang sebenarnya ingin saya raih? Apa yang sudah saya raih sebelumnya? Dan apa yang ingin saya raih kali ini?

Terus-terang tumpukan pertanyaan itu mengocok kepala saya — dan perlahan menusuk sanubari. Inikah yang disebut dengan hantaman keraguan yang keji itu?!

Saya limbung. Saya benar-benar tak lagi tahu apa persisnya yang mendorong saya kemari lagi. Tapi saya sadar hal ini: saya adalah makhluk lemah yang selalu memerlukan penyuluh, cahaya yang dapat membimbing saya di dalam gelapnya kehidupan yang kian sangar; cahaya yang dapat secara tulus menerangi saya dan keluarga serta para sahabat. Saya, dan saya kira ini jamak, mendambakan cinta tanpa pamrih, perhatian tanpa lelah. Dan sepertinya saya menemukannya di sini, di makam-makam suci ini, di antara puluhan juta peziarah itu.

Saya terutama menemukan yang saya cari itu saat berjalan kaki dari Najaf menuju Karbala. Tarikannya sangat kuat. Di tiap langkah ada kesempatan untuk melakukan refleksi, melihat kembali apa yang menjadi tanggung jawab dan peran yang harus saya pikul dan apa yang sebenarnya semata bersitan nafsu yang bodoh. Di lautan manusia menuju Karbala ini, saya menemukan kesatuan tujuan, keramaian yang terarah, paduan yang agung. Di tengah apa yang tampak sebagai ‘ketidakteraturan’ itu, ada energi luhur yang mengatur segalanya.

Dalam long march ini, saya berharap saya dan keluarga dianggap layak mendapatkan belas kasihan dan bimbingan. Saya juga berharap apa yang saya lakukan ini diterima sebagai ungkapan simpati, dan semoga wujud empati, kepada Keluarga Suci Nabi Muhammad yang telah mengorbankan begitu banyak demi umat ini.

Sejujurnya, mempertahankan keyakinan di tengah gelombang kejahatan yang demikian mekanik seperti saat ini, jelas bukan perkara mudah. Ia seperti menegakkan benang basah. Di sini, dengan melibatkan tubuh dalam konvoi akbar ini, dengan mengambil risiko ini, dalam berjalan kaki ini, dengan meninggalkan kesenangan pribadi, berdesak-desakan dengan puluhan juta manusia, saya merasa bisa mempertahankan sejumput keyakinan dan harapan. Lebih penting lagi, semua itu menambah kepercayaan kepada kebaikan kodrati sesama manusia; saling cinta, saling sayang, dan saling rela berkorban di antara sesama manusia.

Di Irak hari-hari ini, Anda bisa melihat dengan mata kepala sendiri aneka wujud manifestasi cinta, pelayanan tulus, pengorbanan, kesetiaan, penghormatan, keramahtamahan dan yang terpenting dari semuanya, kesatuan tujuan. Orang dari segala umur, dari semua lapisan masyarakat tumpah di jalanan menawarkan pelayanan ke peziarah. Mereka berteriak menyambut, menyapa, dan mengajak kita bergabung dalam tenda-tenda untuk dijamu makanan, dipijat, dipersilahkan istirahat dan beragam bentuk layanan lain. Kita mendengar teriakan: Hala bi Zuwwar, Hala. (Selamat datang hai para peziarah, selamat datang).

Di semua momen itu, siapapun dengan mudah merasakan inti kemanusiaan itu masih tegak berdiri meski dihantam gelombang prahara. Saya seperti kembali ke masa kanak-kanak ketika saya percaya semua orang baik dan saling menyayangi. Ini momen pemanusiaan diri kembali yang begitu menggairahkan. (Abu Jawad/Yudhi)

 

Link Terkait :

H-1 Perjalanan Mencari Diri: Dari Jakarta Ke Karbala

Hari Jalan Kaki: Hari Pemanusiaan Kembali

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *