Berita
Hari Anak, Teguran Bagi Orangtua
Hampir seluruh negara di dunia pada tanggal 22 November memperingati Hari Anak Internasional, begitu juga dengan sejumlah masyarakat di Indonesia. Sebagian kalangan menyatakan bahwa kondisi kekerasan terhadap anak di Indonesia mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan.
Untuk memahami makna, konsepsi, cara pandang kita terhadap anak, berikut petikan wawancara ABI Press dengan Dr. Muhsin Labib.
Apa sebenarnya makna “anak” menurut Dr. Muhsin Labib?
Kata anak itu punya arti utama yaitu makna primer dan makna sekunder. Kalau makna primer adalah anak yang lahir dari rahim istri kita, tapi kemudian berkembang yang tidak lahir dari rahim istri kita pun bisa dipanggil anak, anak angkat, anak tiri itu juga bisa disebut anak, kemudian ada anak yang punya makna ketiga yang lebih jauh lagi, yaitu orang yang mendapatkan perhatian khusus dari kita, yang usianya jauh lebih muda dari kita itu bisa disebut anak.
Makanya ada dalam sebuah hadis disebutkan lihatlah anakmu pada setiap anak agar kau menyayanginya. Artinya, bagaimana kita memperlakukan semua anak kecil itu seperti anak kita, jangan kita beda-bedakan. Jadi istilah anak itu punya makna utama dan makna kedua. Makna kedua ini juga punya artian tadi itu, anak tiri itu sudah dianggap makna utama, ada anak tiri, anak kandung dan anak angkat, anak asuh terus kemudian ada anak-anak bangsa. Kalau anak bangsa itu artinya, bangsa itukan dianggap sebagai ibu, ibu melahirkan anak, jadi setiap anggota masyarakat itu adalah anak bangsa itu, anak-anak masyarakat.
Apa arti Hari Anak menurut Anda?
Hari ini kan disebut Hari Anak Internasional, disebut hari anak karena sedikitnya perhatian orang tua terhadap anak, sampai perlu ada hari anak, padahal mestinya ndak perlu ada hari anak kalau misalkan setiap orangtua itu tahu kewajibannya terhadap anak. Tapi karena banyak kezaliman yang terjadi pada anak sampai pada orang terdekatnya bahkan oleh orangtuanya, makanya perlu ada hari anak, bahkan ada hari internasional anak dan ada hari nasional, kita juga memiliki Hari Anak Nasional yang kalau tidak salah jatuh pada bulan Mei. Dalam Islam juga ada hari anak. Nah, jadi memang itu tujuannya untuk mengingatkan kita dan diperingati untuk hal itu.
Lalu bagaimana cara pandang kita seharusnya terhadap anak?
Itu tergantung bagaimana kita memahami anak, ada yang menganggap anak itu properti, kekayaan, milik, ada yang menganggap anak itu sebagai rakyat. Dalam sebuah struktur keluarga, ada yang menganggap anak itu partner, ada yang menganggap anak itu amanat, titipan, semua tergantung dari sudut pandang kita.
Kalau dalam Islam semuanya itu adalah dimensi anak. Makanya dalam sebuah hadis disebutkan bahwa anak itu pada usia 7 tahun pertama adalah Raja, kalau perempuan Ratu. Usiah tujuh tahun berikutnya anak adalah bawahan, dia perlu diperintah. Tujuh tahun berikutnya dia adalah teman, artinya cara pandang kita terhadap anak, perlakuan kita kepada anak harus juga bertahap pada tahapan-tahapannya.
Namun, karena sebagian besar menganggap anak itu properti, milik, seperti kita memilki barang, sehingga apa yang orangtua kehendaki itu yang dia terapkan terhadap anaknya, jadi tidak menganggap anak itu punya independensi seperti halnya manusia. Padahal anak adalah makhluk hidup, dia memiliki independensinya, dia memiliki semua hak-hak otonomnya sebagai manusia. Bahwa dia belum dewasa nah itu tanggung jawab kita menjaganya, merawatnya, tapi kelak ketika sudah matang, sudah dewasa maka itu sudah diluar tanggung jawab kita, itu sudah tidak instruktif, tapi lebih bersifat konsultatif atau koordinatif, kita hanya memberikan saran-saran, tidak lagi memerintahkan.
Tapi selama berada dibawah tanggung jawab kita, ya kita memerintahkan, mengarahkan memberikannya hukuman apabila melanggar, karena berada dalam tanggung jawab kita. Tapi kalau kita menganggap anak itu sebagai properti, kita biasanya sewenang-wenang padahal dalam Islam kita tidakmemiliki apa-apa. Anak itupun sebenarnya bukan milik kita, semua yang kita miliki, harta kekayaan itu pun titipan, yang harus kita jaga dengan baik sehingga apabila kita sia-siakan maka Allah akan meminta pertanggung jawaban dari kita.
Karena anak bukan milik kita, dan karena bukan milik kita, kita tidak boleh sewenang-wenang tapi anak juga bukan Raja kita, bukan Penguasa kita, berarti apa? Dia bukan tuhan, anak bukan Tuhan kita, sehingga semua yang dia inginkan harus kita penuhi, sampai-sampai dia memerintahkan, dia kurang ajar terhadap kita, tidak sopan kita biarkan dia tidak shalat, dia melanggar agama, dia tidak mematuhi aturan-aturan agama, tidak melakukan kewajiban-kewajiban kita diamkan saja, itu juga salah.
Jadi ekstremitas dalam perlakuan terhadap anak tidak boleh, menganggapnya sebagia milik tidak boleh, menganggapnya sebagai penguasa tunggal dirumah juga tidak boleh, harus proporsional dan standardnya adalah etika logika agama, itu standardnya.
Fenomena apa sebenarnya yang terjadi sehingga tindak kekerasan terhadap anak di Indonesia saat ini terus meningkat?
Ya, seperti yang telah saya jelaskan, karena pola pikir menganggap bahwa anak itu adalah properti miliknya maka suka-suka mereka memperlakukannya sehingga terjadi kekerasan, dia tidak menganggapnya sebagai makhluk yang sama dengan dia, apalagi jika sudah baligmestinya diarahkan malah dipaksa.
Misalnya kecenderungan anaknya kalau dalam hal sekolah lebih ke ilmu social, namun kemudian dipaksa oleh orangtuanya untuk memilih bidang ilmu lain, akhirnya dia mengukur orang dengan dirinya padahal anaknya tumbuh dengan situasi yang berbeda dengan dia, karakternya berbeda. Tuhan itu tidak pernah menciptakan makhluk yang sama.
Orangtua yang tidak punya wawasan ini yang menganggap dirinya itu ideal, sudah sempurna sehingga anaknya dipaksa seperti dia, jadi ada unsur begitu karena menganggap apa? Anak adalah miliknya, kemudian karena anak tidak memenuhi keinginannya orangtua melakukan kekerasan. Hal seperti itu merupakan perbudakan bukan hubungan anak dan orangtua, tapi hubungan majikan dan budak, ini yang salah.
Dari situ muncul kekerasan, tindakan-tindakan yang tidak patut, sehingga begitu banyak orang yang melahirkan tapi belum tentu menjadi ibu, begitu banyak orang yang menjadi ayah, tapi dia bukan ayah yang sebenarnya, hanya memelihara saja. Disebut dengan ibu dan ayah itu kalau mereka mendidiknya, merawatnya, bukan sekedar memberinya makan atau melahirkannnya.
Sebab kalau sekadar melahirkan, kucing juga melahirkan tapi kucing bukan ayah atau ibu, kucing itu induk baik pejantan ataupun betinanya. Makanya dalam Al-Qur’an anak kecil disuruh berdoa, Rabbighfirli wali walidayya, ya Allah ampuni aku dan ampuni kedua orangtuaku, warhamhuma dan rahmati mereka sebagaimana mereka mendidikku, jadi karena didikannya, bukan karena makan yang diberikan, bukan karena susu yang diberikan. Kalau makan itu instingtif, setiap induk binatang pun begitu. Tapi yang ditekankan disini karena mendidiknya, makanya ibu itu siapa? Ibu adalah guru di rumah, ayah itu siapa? Ayah adalah guru dirumah. Nah, guru itu siapa? Guru itu adalah ayah dan ibu di luar rumah.
Sehingga anak itu selalu dalam perlindungan pendidikan, namun pada kenyataannya kan sekarang tidak begitu. Pendidikan anak sepenuhnya diberikan kepada orang yang tidak bersama kita, di sekolah. Begitu dirumah dia bebas, nah buat apa dididik sengan susah payah di kelas kalau di rumahnya dibiarkan, tidak shalat dibiarkan, hukum tidak terjangkau oleh dia, nah anak yang begini yang hidup dalam situasi yang seperti ini ketika keluar ke masyarakat dia menganggap lingkungan masyarakat seperti di rumahnya, apa yang dia lakukan dan diperbolehkan, hal ini karena banyak orangtua yang memperlakukan anak seperti Tuhan.
Memperlakukan anak seperti properti juga salah, dikerasi, dibantah, apalagi dia mengangap bahwa dirinya harus diduplikasi oleh anaknya sebab dia merasa sebagai manusia ideal, ini juga salah dan kekerasan terjadi karena hal itu.
Bagaimana dengan alasan beberapa orang yang menyatakan bahwa anak harus patuh kepada orangtua, dan ridha anak itu ada pada orangtua?
Itu salah tuh, tidak ada ceritanya anak wajib patuh kepada orangtua, yang ada itu anak wajib berbakti, hormat kepada orang tua. Al-Qur’an itu yang mengatakan, wabil walidaini ihsana, harus bersikap baik kepada kedua orangtua, kepada ayah dan ibu harus hormat. Tapi untuk harus patuh? Tidak! Patuh hanya pada agama sehingga keinginan orangtua kalau tidak sesuai dengan agama, tidak boleh dipatuhi, tapi tidak mematuhinya bukan berarti harus bersikap buruk, ini masalahnya.
Kalau bersikap baik itu mutlak, seburuk apapun perangi ibunya, seburuk apapun perilaku ayahnya, anak harus hormat. Karena apa ? Itu bagian dari terima kasih, tapi untuk taat, tidak. Jadi ucapan yang mengatakan anak harus patuh kepada orang tua, sama artinya orang tua itu mengaku dirinya Nabi. Al-Qur’an mengatakan kalau dianjurkan untuk syirik jangan ditaati. Nah semua keburukan itu ujung-ujungnya adalah syirik, kalau mengajakmu pada syirik jangan dipatuhi, semua kemaksiatan itu muaranya pada syirik, artinya kalau orangtua menganjurkan pada keburukan, pada maksiat, ya jangan dipatuhi.
Tapi tidak dipatuhi bukan berarti kita boleh kurang ajar. Sebagian orangtua mengaggap hak taat itu ada pada mereka, sekali lagi, tidak ada itu. Taat itu hanya pada hukum agama, taat itu pada hukum negara, itu ketaatan. Tapi kepada orangtua tetap saja standard benar dan salah itu berlaku. Jadi misalnya orang tua menyuruh dia untuk melakukan perbuatan yang buruk, ya dia tidak perlu lakukan tapi tetap harus bersikap sopan karena yang sopan itu wajib. Walaupun berbeda agama, berbeda keyakinan, walaupun profesinya itu profesi yang negatif misalnya.
Pesan anda untuk Hari Anak Internasional kali ini apa?
Kalau menurut saya, kita perlu mengubah cara pandang kita, seperti yang saya katakan ayah itu adalah pendidik, guru dirumah, kalau pendidikan dia serahkan kepada orang lain, lebih dekat mana orang yang melahirkan dengan orang yang tidak? Tentu kita yang lebih dekat dan kita harus mengkaitkan kebaikan kita, kebaikan anak, itu yang kembali kepada kita sebagai kebaikan.
Keburukan anak akan berimbas kepada kita karena ini kerja kita, kalau dakwah dirumah kita buruk maka kita dinilai buruk karena tidak menjalankan tugas dengan benar. Kalau kita memposisikan penguasa dirumah, kalau rakyatnya salah berarti pemimpin yang salah, jadi artinya orangtua perlu berfikir logis, adil, tidak menganggap anak itu sebagai properti dan tidak juga menganggap anak itu diatas hukum.
Karena itu perlu ada penghargaan, karena itu kalau mereka berbuat baik dihargai, tapi kalau salah ada hukuman, jangan semuanya kita langgar. Kemudian anak lazimnya ingin melihat orangtua sebagai idolanya, orang pertama yang dilihat di dunia ini kalau dia banggakan pertama kali kepada anak-anak lain itu orangtuanya. Tugas orangtua lah menjaga agar kebanggan itu tidak hilang, dalam arti kata perangai orang tua juga harus baik.
Kalau kita dusta, ya anak akan belajar dusta, kalau kita keras terhadap istri kita, ya anak akan menduplikasinya terhadap perempuan lain, terhadap istrinya, terhadap orang lain, karena idolanya adalah ayahnya. Jadi untuk bisa menghasilkan anak yang baik, ayahnya harusmenjadi ayah yang baik, tidak mungkin dari ayah yang baik muncul anak yang tidak baik, tidak mungkin dari ibu yang berperangai baik muncul anak yang buruk, kecuali karena faktor-faktor luar yang sangat dominan.
Mengapa anak nakal, terlantar? Itu karena ayahnya tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Yang lebih penting dari itu semuanya adalah anak-anak yang tidak punya ayah, anak-anak yang tidak punya ibu, ini ada dua macam.
Yaitu yang karena meninggal atau karena ditinggalkan, yang lebih miskin dan kasihan lagi yang ditinggalkan, kalau yang ditinggal meninggal itu yatim, agama sudah punya anjuran-anjuran khusus untuk itu, tapi yang tidak ada anjuran khusus secara tekstual itu adalah anak-anak terlantar, anak yang memang dibuang oleh ibunya, bahkan dijual atau segala macam. Seharusnya negara yang menangani mereka, tidak mungkin tugas ini hanya dibebankan kepada kita karena jumlahnya sangat banyak.
Kalau kita lihat di lampu merah, anak-anak sampai tengah malam pun ada, mereka dieksploitasi oleh sindikat-sindikat. Entah mengapa negara tidak berani terhadap itu? Itu yang harus diselamatkan karena mereka yang akan memegang negara ini, bangsa ini, kedepannya adalah milik mereka.
Kalau kita zalim terhadap mereka, kita tidak punya empati kepada mereka, kita lebih memprihatinkan kalau ada kontes hewan seperti anjing di Jakarta, tapi tidak ada yang peduli terhadap anak-anak itu korban kekerasan, yang disuruh mencopet, disuruh mencuri, juga kadang menjadi korban kekerasan seksual, itu sejatinya cermin bangsa ini.
Kalau orang asing melihat semua itu disini, lha kita ini bangsa yang beradab atau ndak? Karena itu, itu cerminan kita. Tidak perlu mall yang bagus, tidak perlu mobil-mobil yang mewah, tidak perlu jalan-jalan yang mulus, yang lebih penting adalah manusia-manusia yang mengisi ini semua.
Untuk apa mall bagus, semuanya rapi, tapi masih ada anak-anak di pinggir-pinggir jalan di trotoar yang tidur di tengah malam sendirian atau bersama orang-orang, anak-anak lain, itukan pemandangan yang sangat memprihatinkan. Jadi kalau kita bilang ada Hari Anak, pada saat yang sama,itu adalah hari teguran terhadap ayah dan ibu.
Seperti halnya Komnas Anak, mengapa sampai perlu ada Komnas Anak? Itu karena sudah begitu banyaknya ayah yang cuma memerankan dirinya hanya sebagai suami, menjadi suami yang baik belum tentu menjadi ayah yang baik, kadang malah menjadi suami tidak baik juga menjadi ayah tidak baik. Walaupun biasanya, suami yang baik mestinya menjadi ayah yang baik, kalau ayah baik pastilah suami yang baik.
Namun, kebanyakan dari kita menikah, membina rumah tangga tapi belum tahu tanggung jawab sebagai suami, tanggung jawab sebagai ayah, sehingga wajar saja kalau terjadi kekerasan, penelantaran, pemiskinan dan korban yang paling besar adalah anak-anak.
Saat ini Indonesia menempati salah satu level yang sangat memprihatinkan terkait perlindungan anak, contohnya adalah anak-anak korban kejahatan intoleransi, kejahatan sektarian yang di Sampang, kelihatannya hanya urusan aliran yang dianggap sesat, Syiah yang diganggu. Tapi sadari satu orang di desa itu bisa punya lima sampai 10 anak, berarti yang ditelantarkan bukan cuma satu-dua orang dan itu ibarat anak-anak kita, bukan orang lain, mereka berhak untuk senyum.
Senyum anak-anak dicabut, dihilangkan senyum masa kanak-kanaknya, pertumbuhan mentalnya dirampas oleh orang-orang yang tidak berperikemanusiaan. Tragisnya sudah berganti pemerintahan sampai sekarang belum ada kejelasan, padahal intoleransi ini lebih buruk daripada korupsi.
Jadi kalau terkait dengan kekerasan anak, salah satu yang harus diperhatikan itu adalah kekerasan sektarian terhadap anak selain kekerasan seksual, kekerasan sosial ada kekerasan sektarian di dalamnya. Maka baiknya Komnas HAM tidak hanya mengurusi kekerasan fisik atau seksual, kekerasan sektarian juga harus dilaporkan kepada Komnas HAM, itu juga harus menjadi perhatian negara dan masyarakat.
Tapi karena individualisme yang sangat kuat, sehingga orang hanya peduli kepada dirinya sendiri, peduli kepada istri dan anaknya, yang lainnya mau hancur terserah. Individualisme inilah yang merusak, hingga muncul anak-anak terlantar, dengan berdalih toh bukan anakku, toh bukan keluargaku, semudah itu orang kehilangan empati dan perhatiannya kepada sesama.
Jika seperti ini, sebanyak apapun Komnas-nya, tidak ada pengaruhnya, Komnas itu sebuah lembaga kecil yang terdiri dari beberapa orang menangani 250 juta penduduk Indonesia, yang harus membenahi adalah setiap individunya masing-masing, maka dari itu masing-masing kita harus punya kepekaan terhadap tanggung jawab tersebut.
Jika ada seorang ayah memukuli anaknya di depan mata kita, jangan karena menganggap itu urusan keluarga kemudian kita diam saja. Anak itukan juga manusia, maka harus kita hentikan walaupun itu ayahnya. Bukan berarti karena dia adalah orangtuanya boleh mukul manusia lain seenaknya, kita harus punya hak untuk menjaga, melawan kezaliman atas siapapun.
Begitu juga jika ada kekerasan oleh guru di sekolah bahkan sampai mengakibatkan kematian, inikan tragis, ironi jika justru pendidik yang malah melakukan kekerasan.
Kalau kita ingin menjadi bermartabat maka harus benahi anak, perhatikan anak. Nabi saja kalau mau berperang melawan para musuh, terlebih dahulu mengumpulkan orang-orang yang lemah, salah satunya adalah anak-anak untuk minta doa dari mereka. Nabi yang paling mulia, yang doanya pasti dikabulkan itu minta doa kepada anak-anak, sampai dibilang setiap anak itu mendapatkan perhatian khusus dari Nabi, karena beliau biasa bercanda dengan anak-anak.
Para sahabat kalau lebaran ingin berkunjung kepada Nabi, Nabi tidak ditemukan di rumahnya dan ternyata Nabi dipinggir kota, sedang menanak nasi untuk seorang ibu janda dan beberapa anaknya yang kelaparan. Itu seorang pemimpin, bukan hanya melakukan retorika, bukan hanya bicara tapi dia wujudkan dalam bentuk nyata. Ibaratnya, kalau tiap satu orang yang memiliki kemampuan mengambil satu anak di pinggir jalan, maka selesai sudah.
Satu kata untuk anak-anak Indonesia?
Anak yang baik pasti karena orangtua yang baik, jadi kalau kita ingin anak kita menjadi baik, kita semuanya harus menjadi orang-orang tua yang baik. Tidak bisa kita mengharapkan anak-anak yang baik sementara diri kita tidak menjadi baik. Kewajiban untuk berperilaku baik itu dimulai dari orangtua. Itulah yang saya maksud bahwa Hari Anak sebenarnya adalah hari teguran buat para orangtua. (Lutfi/Yudhi)
Continue Reading