Berita
HAM dalam Perspektif Agama dan Kepercayaan di Indonesia
Pemahaman sekelompok orang yang menyatakan Hak Asasi Manusia berasal dari Barat agaknya menjadi bahan bagi kelompok radikal untuk melancarkan aksinya. Mereka mengabaikan nilai-nilai Hak Asasi Manusia dengan dalih bahwa HAM itu dari Barat yang tidak perlu ditaati. Berdalih melakukan pemurnian agama, tindakan apapun dianggap halal.
Organization of Ahlulbayt for Social Support and Education (OASE) dalam sebuah seminar (25/3) yang diselenggarakannya, menghadirkan tokoh-tokoh agama dan kepercayaan membahas duduk perkara HAM ini. Berlokasi di Wisma Antara Jakarta, seminar itu diberi tema “Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Agama dan Kepercayaan di Indonesia.”
Benarkah HAM dari Barat?
Pemahaman bahwa HAM dari Barat runtuh dengan sendirinya tatkala Ust. Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal) menunjukkan sebuah kitab berjudul “Risalatul Huquq” sebuah risalah tentang hak-hak asasi manusia. Kitab yang ditulis oleh Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib tersebut dinilai merupakan kitab HAM pertama dalam sejarah Islam. Kang Jalal selaku penasihat OASE sekaligus Anggota Komisi 8 DPR-RI menyebut, Risalatul Huquq merupakan salah satu warisan Islam di antara warisan-warisan lain yang tersisa di tengah persekusi yang terjadi terhadap Keluarga Nabi saat itu.
Buku yang ditulis lebih dari 1300 tahun lalu itu mencerminkan derita Keluarga Nabi yang berusaha menjaga warisan suci itu sepeninggal Rasulullah saw. “Pada jaman itu ditradisikan mencaci maki terhadap keluarga Ali bin Abi Thalib, mulai di mimbar-mimbar sebelum khatib menyelesaikan khotbah pada hari Jumat. Lebih dari 80 tahun kakeknya, Ali bin Abi Thalib dicaci di mimbar-mimbar,” tutur Kang Jalal.
Imam Ali Zainal Abidin dilarang bicara di mimbar-mimbar, di tengah kekuasaan yang zalim sehingga yang dilakukan adalah membentuk sebuah majelis dan mengajarkan ajaran Islam melalui doa-doa yang sangat indah. Risalatul Huquq yang diabadikan di sebuah perpustakaan di Karbala, Irak itu tengah diterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
HAM dalam Pandangan Agama dan Kepercayaan di Indonesia
Romo Frans Magnis dari perwakilan Katholik menilai semenjak tumbangnya Presiden Soeharto, kondisi perlindungan HAM mulai membaik ketika MPR memasukkan HAM dalam UUD. Menurutnya itu sebuah prestasi historis yang harus dibanggakan dan terus dibela. Di sisi lain ia menilai kebebasan beragama juga harus memperhatikan rambu-rambu Undang-undang. “Rambu-rambu itu tidak boleh menimbulkan diskriminasi. Kalau menimbulkan diskriminasi tidak perlu dihormati. Undang-undang harus memperhatikan Hak Asasi Manusia,” kata Romo Magnis.
Sementara itu Engkus Ruswana dari Majelis Luhur Kepercayaan juga menyampaikan pandangannya. Menurutnya kebanyakan agama yang ada di Indonesia sudah diharmonikan dengan nilai-nilai lokal tradisi dan budaya. Sebagian besar sudah menyatu. “Tradisi merupakan perwujudan nilai-nilai spiritual lokal,” kata Engkus.
Selain itu K.H Misbahul Munir dari Komisi Fatwa MUI turut serta menjadi pembicara. Selaku orang Nahdlatul Ulama (NU) ia menyampaikan tujuan utama didirikannya NU untuk meredam lahirnya kelompok radikal Wahabi, yang secara otomatis memberikan perlindungan HAM bagi umat Islam dari bahaya kelompok radikal. “Saat itu Wahabisme lahir, lalu K.H Hasyim Asyari merasa perlu meng-counter idiologi ini dengan mendirikan NU,” ungkap Misbahul Munir. Namun menurutnya saat ini radikalisme telah merampas banyak hak umat Islam.
Biksu Nyanabhadra dari Majelis Budhayyana Indonesia mengutip ajaran Budha, mengajarkan seseorang jangan mudah percaya begitu saja terhadap kabar yang diterima, bahkan yang ditulis dalam kitab sekalipun. Melainkan harus dibuktikan kebenarannya. Hal itu juga dimaksudkan agar tidak mudah terpengaruh begitu saja sehingga mudah saling menyalahkan satu sama lainnya, ‘’Jangan percaya pada apa yang saya sampaikan hanya karena saya guru Anda.”
Banyaknya kelompok radikal yang menganggap bahwa perang untuk menyebarkan ajaran Islam adalah suatu kebenaran dibantah Zafrullah Pontoh dari Jamaah Ahmadiyah, “Islam berperang membela diri, bukan untuk menyebarkan agama,” ungkapnya.
Imdaduddin Rakhmat dari Komisioner Komnas HAM juga hadir dalam forum itu. “Dalam membela kebebasan HAM saya selalu dicerca, dituduh murtad, bahkan kafir karena membela HAM yang mereka anggap dari Barat,” tuturnya. Ia kemudian mengapresiasi upaya Kang Jalal yang berusaha memperkenalkan warisan Islam yang dapat memberi kontribusi bagi perkembangan HAM di dunia.
Ia kemudian mengutip poin yang ada di dalam kitab Risalatul Huquq tersebut. “Bahwa berbuat baik kepada seagama, seiman adalah sebuah keharusan; Harus ada solidaritas sosial, harus memikirkan kesejahteraan yang lain, harus berkasih sayang, memaafkan kesalahan, santun, menolong dan saling menghormati,” paparnya.
Ia kemudian juga mengutip poin kitab Risalatul Huquq tentang bagaimana seharusnya Islam memandang keberadaan non-Islam. “Menerima keberadaan non-Muslim sebagaimana Allah Swt menerima keberadaan mereka. Memenuhi perjanjian mereka, hak-hak perdatanya, juga berbuat adil di dalam penegakan hukum. Dilarang mengganggu,” ungkapnya.
Bahkan Imdaduddin Rakhmat mengutip hadis Nabi yang menjelaskan, “Bahwa barangsiapa mengganggu non-Muslim, telah menyakiti aku dan aku akan menjadi musuhnya kelak di Hari Akhir.” (Malik/Yudhi)