Berita
Hakim Tunda Putusan Swastanisasi Air DKI Jakarta
Sidang putusan kasus gugatan warganegara (citizen lawsuit atau CLS) terhadap swastanisasi pengelolaan air Jakarta untuk mengakhiri perjanjian antara PDAM dengan PALYJA dan AETRA di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (13/1) diputuskan ditunda hingga 10 Februari oleh Hakim Ketua Iim Nurohim.
Alasan penundaan putusan oleh pengadilan menurut Iim Nurohim dikarenakan adanya tawaran dari pihak tergugat 5 (Gubernur DKI Jakarta) dan tergugat 7 (PDAM DKI Jakarta), selain juga karena pihak majelis hakim yang belum selesai melakukan musyawarah.
Sementara dari pihak tergugat 1 (Presiden), tergugat 2 (Wakil Presiden), tergugat 3 (Menteri Pekerjaan Umum), tergugat 4 (Menteri Keuangan), tergugat 6 (DPRD DKI Jakarta), serta PALYJA (turut tergugat 1) dan AETRA (turut tergugat 2) tidak ada yang disampaikan dalam persidangan hari itu.
Arti Tawaran Damai
Salah satu poin tawaran damai yang disampaikan oleh sejumlah tergugat menurut Arif Maulana dari LBH Jakarta, salah satu LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) adalah pemutusan kontrak perjanjian pengelolaan air Jakarta antara PDAM dengan PALYJA dan AETRA sebagai pengelola air di DKI Jakarta saat ini.
Selain itu tawaran damai tersebut menurut Arif juga merupakan pengakuan dan tanda bahwa tergugat memang mengakui bersalah dalam kasus swastanisasi air di Jakarta. Mereka juga mengakui bahwa swastanisasi air ini merugikan negara seperti halnya keterangan BPK dalam auditnya pada tanggal 23 Januari 2009.
“Ini bukan pertama kalinya mereka meminta perdamaian,” tutur Arif.
Perdamaian itu sendiri bagi Arif adalah pemutusan kontrak swastanisasi air dengan PALYJA dan AETRA, bukan perjanjian damai yang lain seperti yang pernah ditawarkan yaitu dengan menjual saham yang ada. Pemutusan kontrak swastanisasi air adalah juga tuntutan sejak awal dari KMMSAJ dan masyarakat.
“Kalau memang tergugat beritikad baik untuk berdamai, putuskan kontrak swastanisasi air Jakarta,” tegas Arif.
Putusan Sidang Maju Mundur
“Kalau mundur, maju, mundur, maju, capek, mana bisa kelar,” keluh Habibah, warga Marunda Kepuk kepada ABI Press.
Habibah menginginkan agar sidang ini terus berlanjut dan cepat selesai. Alasannya jika diulur terus, waktu akan habis hanya untuk persidangan, sedangkan sebagai seorang nelayan Habibah memiliki kebutuhan mencari nafkah untuk makan sehari-hari.
Hingga saat ini Habibah juga mengatakan masih merasakan belum mendapatkan keadilan. Sedangkan di tempat lain seperti di rumah-rumah susun telah mendapatkan air bersih yang lumayan memadai daripada apa yang didapatkan oleh Habibah dan masyarakat DKI Jakarta lain yang terpaksa mendapatkan air keruh dan terkadang bahkan mendapati saluran airnya mati.
“Keadilan itu masih untuk orang-orang berduit. Kalau kita orang kecil belum dapatkan keadilan,” tegas Habibah.
Hingga saat ini, menurut catatan LBH selama 17 tahun kontrak swastanisasi hanya 40% dari penduduk Jakarta yang mendapatkan fasilitas air, sedangkan 60% sisanya mengupayakan sendiri untuk mendapatkan air bersih dengan cara membeli pada penjaja air bersih atau dengan jalan mengebor dari air bawah tanah.
Pengeboran air bawah tanah yang sampai saat ini masih semrawut pengaturannya, bagi LBH hanya akan menguras air bawah tanah dan menyebabkan turunnya permukaan tanah di DKI Jakarta. Jika hal ini dibiarkan, tentu saja lambat laun permukaan air laut Jakarta akan naik dan otomatis Jakarta akan terancam tenggelam. (Lutfi/Yudhi)