Artikel
Hakikat Berpuasa di Bulan Ramadan
Bulan Ramadan disebut sebagai bulan kembalinya para hamba kepangkuan Ilahiyah. Bulan yang dijanjikan akan diampuni semua dosa-dosa agar manusia melejit mencapai maqam ketakwaan adalah tujuan puasa sebagaimana kalimat “La’allakum Tattakun” dalam surah Al-Baqarah [2] : 183.
Takwa adalah kata yang sering kita ucapkan, tetapi sulit dilaksanakan. Padahal jalan takwa adalah jalan yang menghindarkan setiap manusia pada perbuatan dosa dan maksiat. Apabila manusia berjalan pada mode takwa, maka seluruh perbuatannya, lahir maupun batin akan dipusatkan pada kekuatan kehendak ilahiyah. Yakni menjalani hukum hukum dan ketetapan hanya kepada Allah. Pada level ini, semua perbuatan manusia disandarkan pada basis kekuatan iman, kedalaman ma’rifah serta kesungguhan amal-amal perbuatan, termasuk selama bulan ramadhan.
Kekuatan iman adalah kunci ibadah ramadan. Kekuatan iman adalah bentuk penyembahan yang dilakukan oleh manusia untuk mengisi pikiran dan hatinya hanya kepada Allah. Ia tidak bisa diisi dengan yang lain. Apabila pikiran dan hati terisi oleh selain Allah, maka wujud penyembahan pun menyimpang, menjadi penyembah tuhan-tuhan baru yang kita buat sendiri. Di situlah letak segala amal menjadi rusak karena mengarahkan untuk berpaling pada penyembahan selain Allah Swt.
Menyembah selain Allah adalah bentuk pengingkaran yang paling fatal dalam perkara amal amal perbuatan. Jika lawan tauhid adalah syirik, maka amal perbuatan yang tidak disandarkan kepada Allah adalah kesyirikan. Tauhid dan syirik juga memiliki perbedaan yang sangat tipis. Kalau kita tidak berada pada jalan tauhid, itu berarti kita berada pada posisi kesyirikan. Itu artinya, semua perbuatan manusia termasuk ibadah ramadan memiliki potensi yang sama, apakah jatuh pada kesyirikan ataukah jalan ketauhidan.
Begitulah puasa itu. Ia boleh jadi dipersembahkan kepada tuhan-tuhan yang lain. Amalan-amalan kita -bisa saja merupakan bentuk kesyirikan atas diri, hawa nafsu dan ego kita- dan itulah kesyirikan yang paling besar dalam rupa identitas amaliyah agama semata.
Sehingga dalam posisi ini, seluruh amal-amal yang dilakukan, semakin manambah kekacauan dan kerusakan serta menjauhkan diri kita kepada Allah Swt. Apa yang dikatakan Ayatullah Sayyid Ali Khamenei bahwa “Salat apabila tidak dilakukan secara serius, hanya akan mengeraskan hati” bisa menjadi pertanda bahwa amaliyah ramadan, bisa membawa kita pada kejatuhan ke dasar kegelapan jika dilakukan tanpa didasari dengan kekuatan iman.
Selanjutnya, kedalaman ma’rifah -juga merupakan kunci bulan ramadhan. Ma’rifah-lah yang bisa menentukan kualitas atas nasib puasa yang kita lakukan dibulan ini. Jika puasa hanya sekedar menahan lapar dan haus semata, maka seluruh mahluk hidup berupa binatang-binatang juga melakukan hal yang sama.
Daun-daun yang berguguran di musim semi adalah hasil puasa tumbuh-tumbuhan karena tidak menyerap makanan. Ayam yang mengerami telur pada waktu tertentu selama beberapa hari, juga merupakan puasa. Ular yang sehabis memangsa makanan hingga mengulurkan badanya diatas pohon dan berganti kulit juga disebut sebagai tanda berpuasa.
Jika ukuran puasa demikian -hanya menahan lapar dan dahaga- maka puasa kita tak ubahnya seperti puasa tumbuh-tumbuhan dan para binatang. Puasa yang demikian disebut juga sebagai puasa mahluk paling rendah karena hanya menghindari makan dan minum saja. Sementara puasa ma’rifah adalah puasa khusus, yakni puasa yang tidak hanya menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa, tapi menghindari dosa dan mengosongkan hati dari segala sesuatu selain Allah Swt. Maka puasa yang berkualitas bisa dipastikan berasal dari pribadi yang memiliki kemampuan ma’rifatullah. Semakin tinggi ma’rifah seseorang maka semakin tinggi pula derajat kemanusiaannya. Sebaliknya semakin tidak berilmunya (bodoh) seseorang maka semakin rendah pula derajat dan kualitas puasanya.
Karenanya hadist hadist nabi menyebutkan bahwa jarak antara ibadah puasa orang yang berilmu dan tidak berilmu adalah seratus derajat, yang jarak antara satu derajat dengan derajat berikutnya sama dengan ukuran kecepatan lari kuda selama 70 tahun.
Maka syarat dan sebab musabab diterimanya amal-amal perbuatan manusia adalah makrifatullah. Amal perbuatan yang ikhlas tidak akan terkotori oleh perhatian dan penilaian atas mahluk-mahluk yang lain. Ia akan diarahkan untuk mencapai tingkat kekhusyuan yang tertinggi. Yakni satu kesadaran manusia yang menganggap bahwa bulan ramadaan adalah fase penyucian ruhani ketingkat kefitrahan.
Karena semakin tinggi tingkat kekhusyuan kita melakukan sesuatu, maka semakin baik pula hasil yang kita dapatkan. Sebaliknya semakin hilang konsentrasi kita melakukan sesuatu, maka semakin jelek hasil yang kita dapatkan. Proses kekhusyuan yang tinggi akan membawa kita lebih cepat kembali kepada-Nya. Maka puasa yang ditopang dengan kekuatan iman dan kedalaman marifah, pasti akan membawa manusia pada tingkat amalan-amalan yang yang murni dan suci yang hanya disandarkan kepada sang pencipta semata, tidak pada yang lain.
Mahadin Hamran