Akhlak
Hajjaj dan Tamu Allah
Suatu ketika, Hajjaj bin Yusuf Tsaqafi melakukan perjalanan menuju Yaman untuk urusan kekuasaan. Ia kemudian berhenti di suatu tempat, mendirikan kemah sebagai tempat berteduh dan beristirahat. Di tempat itu, udara sangat menyengat.
Saat tiba waktu makan, jamuan disiapkan, beragam jenis makanan disuguhkan. Saat itu, Hajjaj melihat seorang gembala muda sedang menjaga beberapa ekor domba. Udara panas dan terik matahari yang menyengat memaksa si gembala memasukkan kepalanya ke bawah perut seekor domba untuk berteduh. Namun, sebagian tubuhnya terpaksa terbakar terik matahari.
Menyaksikan itu, Hajjaj yang termasyhur sebagai tukang jagal umat Muslim itu memerintahkan anak buahnya, “Bawa kemari pengembala itu!” Mereka bergegas mendekati pengembala muda itu untuk melaksanakan perintah tuannya.
Tapi, pengembala itu menolak berkata, “Aku tidak punya urusan dengan penguasa.”
“Siapa penguasa yang kamu maksud?” Tak mau begitu saja menerima penolakan pengembala, si pesuruh Hajjaj itu terus mendesak si pengembala agar ikut dengannya ke ketenda dan bertemu tuannya. Akhirnya pemuda itu bersedia menemui Hajjaj.
Sampai di tenda, Hajjaj berkata ke pengembala itu, “Dari jauh, aku melihatmu kepanasan dan mencari tempat berteduh. Silahkan berteduh dan beristirahat di kemah ini.”
“Aku tidak bisa menerima tawaran Anda,” jawab pengembala itu.
“Mengapa?” tanya Hajjaj.
“Aku diupah untuk menjaga domba-domba itu. Bagaimana mungkin aku berteduh di bawah tenda? Aku harus pergi menggembala domba-domba itu.”
“Duduklah barang sejenak dan makanlah sesuatu,” pinta Hijjaj.
“Aku tidak makan,” tukasnya.
“Mengapa engkau tidak makan?” tanya Hajjaj lagi.
“Aku punya janji di tempat lain,” jawab si pengembala.
“Tempat lain? Adakah tempat yang lebih baik dari tempat ini?” tanya Hijjaj keheranan.
“Ya, ada,” sergah si pengembala.
“Adakah makanan yang lebih baik dari makanan istana?” tanya Hajjaj lagi.
“Ada, bahkan lebih baik dan lebih mulia,” ujar si pengembala.
“Tamu siapakah engkau? Dengan siapa engkau punya janji?” lagi-lagi Hajjaj bertanya.
Pengembala itu dengan mantap menjawab, “Tamu Tuhan Pengatur seluruh alam semesta. Aku sedang berpuasa. Dan orang yang berpuasa itu tamu Allah.”
Hijjaj pun terdiam. Jawaban pemuda itu membuat mulutnya terkunci. Kemudian Hajjaj berkata, “Baiklah, tapi hari-hari berpuasa masih banyak; makanlah! Esok engkau bisa berpuasa.”
“Sungguh bagus alasan yang kau sampaikan. Engkau katakana bahwa esok aku masih hidup dan bisa berpuasa. Tapi, apa yang menjamin bahwa esok hari aku masih hidup?” jawab pemuda itu.
Hajjaj mulai kebingungan mendengar jawaban pemuda itu. Kemudian ia bertanya, “Di mana kamu memperoleh makanan enak dan lezat seperti ini? Mengapa engkau bersikeras tetap berpuasa? Mengapa engkau bersikap bodoh?”
“Hai Hajjaj! Apakah engkau merasakan makanan enak? Jika Allah membuat sakit salah satu gigimu, niscaya seluruh makanan lezat ini tiada artinya. Jika kita dalam keadaan sehat, makan roti kering pun akan terasa enak. Sebaliknya dalam keadaan sakit, (daging) ayam pun akan terasa seperti racun,” tandas pengembala itu.
*Ahmad & Qasim Mir Khalaf Zadeh, Kisah-kisah Allah