Berita
Haji: Simulasi Mahsyar, Penolakan terhadap Hegemoni dan Perang terhadap Kapitalisme
Oleh : Muhsin Labib
“Siapa pun yang mampu menangkap spiritualitas keesaan Allah dalam ibadah haji, ia tidak akan membiarkan jiwanya jatuh ke dalam kehinaan dan represi” (Imam Ali bin Abi Thalib).
Haji adalah aktualisasi ketakwaan. Pada bulan Ramadhan, kita menjadi tamu Tuhan. Sedangkan bulan Zulhijah, saatnya kita mendatangi Rumah Tuhan (Baitullah). Pada detik-detik terakhir haji itulah, kita tunjukkan loyalitas (dalam makna lahir) dan peleburan eksistensi (dalam makna batin) dalam wujud penyembelihan hewan kurban kepada Tuhan.
Kita berkunjung ke Baitullah, berharap Tuhan menyambut dan mengakui kita sebagai tamu-Nya yang sah. Imaji kita sebagai tamu yang diundang dalam bisa berubah menjadi tamu tak diundang ketika syarat-syarat sebagai tamu tidak kita penuhi. Maka Tuhan menyuruh kita menapaktilasi prosesi penghambaan Ibrahim dan keluarganya.
Selama ziarah agung berlangsung, confession tentang ketakberdayaan kita diuji dengan bagaimana kita bergabung dengan tamu-tamu Tuhan yang lain dari segala bangsa, mazhab, warna kulit, jenis kelamin. Maka haji menjelma dalam wujud lain sebagai ajang silaturahmi, transformasi informasi dan pengetahuan, menguatkan solidaritas dan konsolidasi akbar antar umat Islam sedunia. Tetes keringat dan aroma ketiak yang kita keluarkan adalah sekadar uap ketika tidak ada sikap egaliter dan keterbukaan batin untuk melihat segala perbedaan dan menghargai pluralitas sosial yang eksis di masyarakat.
Haji adalah miniatur dan momentum simulasi mahsyar. Setiap insan dikembalikan kepada naturnya. Tak dibenarkan menyandang atribut apapun selain “muhrim”. Kain putih yang meleilit tubuh setiap pelaku haji adalah seragam resmi yang secara otomatis menggerus semua perbedaan dan simbol-simbol kapitalistik. Siapapun dia, harus merasakan derita. Dalam fikih Ahlulbait, pelaku haji tidak diperkenankan menggunakan parfum dan semua sarana pamer dan kepura-puraan. Ia juga dikenai denda berat bila menunujukkan sikap narsis atau jongkak dengan bercermin. Ia bahkan tidak diperkenankan menutup kepalanya agar sengatan sang surya yang menusuk kulit kepalanya menyadarkannya akan peristiwa kolosal mahsyar. Ia juga diajarkan agar cinta lingkungan, tak dibenarkan membunuh nyamuk sekalipun atau mencabut tanaman hanya iseng. Ia juga mesti menjalani kehidupan bebas seks dan kesenangan baik secara imajinal maupun fisikal. Dan yang terpenting lagi, pelaku haji harus bisa menunjukkan sikap tegas dengan menolak segala kejahatan, kezaliman dan kebatilan yang dituangkan dalam prosesi bara’ah saat melempar jumrah.
Fenomena inilah yang ditakuti setiap penguasa yang arogan lagi zalim. Unjuk kekuatan di mana pun itu politis. Mobilisasi umat Islam terbesar ini pun adalah juga politis. Pesan Tuhan menjadi gamblang. Haji yang diterima Tuhan, haji mabrur, adalah jihad fisabilillah. Bahwa syarat jihad adalah ketika kita menyatu bersama dan meresapi betul problem keumatan. Karena haji adalah penegasan tauhid, penafian terhadap selain Tuhan, terhadap segala bentuk kekuasaan arogan lagi zalim. Semestinyalah gelar haji/hajah di depan nama orang adalah simbol bagi keberanian melawan setiap penindasan.
Dalam sejarahnya, sikap ini diaktualkan oleh Husain bin Ali. Ia mengingatkan bahwa Kabah yang ditawafi, tidaklah bermakna ketika para calhaj (calon haji) tak mengenal hakikat Kabah. Dalam sebuah khutbah mistisnya, Husain mengatakan bahwa sebagaimana Kabah ditawafi sebagai pusat dunia, maka semestinya dirinya yang ditawafi (ditaati) karena dia adalah porosnya manusia, imam zaman pada saat itu. Ia menuntaskan pengabdian kepada Tuhan dengan darahnya di padang Karbala.
Di sinilah, dengan melihat epik Karbala, ibadah haji memiliki relevansinya dengan jihad. Dan, perbedaan—dalam semua dimensinya—menjadi lebur dalam pribadi seorang imam zaman. Haji kita lakukan demi persiapan menyertai imam zaman kontemporer atau kepemimpinan universal yang bisa mengarahkan jihad kepada musuh sebenar. Labbaik Allâhuma labbaik.[]