Berita
Gus Dur dan Imlek
Sejak awal Februari tahun ini warga keturunan Tionghoa khususnya penganut agama Khonghucu, seperti tahun-tahun sebelumnya tengah sibuk menyambut Imlek dengan aneka persiapan. Mulai dari berburu makanan khas seperti kue keranjang, pernak-pernik dekorasi seperti lampion, hingga baju baru dengan desain dan warna khas, tak ketinggalan pula amplop khusus untuk berbagi angpao, dan sebagainya.
Sedikit berbeda dengan warga Tionghoa, Forum Jumat Gusdurian dalam rangka turut menyemarakkan momen menjelang Imlek, sengaja menghadirkan tokoh agama Khonghucu, Budi S. Tanuwibowo sebagai pembicara dalam diskusi bertema “Gus Dur & Imlek” di Griya Gus Dur, Jakarta, Jumat (5/1).
Budi S. Tanuwibowo adalah salah seorang yang pernah akrab dengan mendiang Gus Dur, sekaligus saksi hidup atas peran penting Gus Dur bagi perkembangan Imlek di Indonesia.
Menurut cerita Budi, betapa sulitnya kala itu (di era Orde Baru) untuk sekadar mendapatkan izin perayaan Imlek secara Nasional. “Di antaranya karena saat itu kami masih memakai nama Majelis Tinggi Agama Khonghucu (MATAKIN).”
Sulitnya perizinan ia utarakan berkaitan dengan Inpres No. 14 tahun 1967 yang dianggapnya membatasi ruang gerak agama (Konghucu) ini.
“Gampang, nanti Saya cabut (Inpres No. 14 tahun 1967) itu,” tiru Budi mengutip pernyataan (almarhum) Gus Dur saat ditemuinya suatu ketika.
Akhirnya, janji itu pun terbukti. Imlek Nasional di Jakarta dan Cap Go Meh di Surabaya berhasil diselenggarakan di era pemerintahan Gus Dur tahun 2000.
Tak hanya dalam persoalan Imlek, menurutnya Gus Dur juga mampu menyelesaikan persoalan identitas pemeluk agama Khonghucu yang sebelumnya tidak boleh tercantum dalam KTP.
Kenapa Gus Dur tahu dan bisa menyelesaikan persoalan itu?
“Karena Gus Dur sudah lama berinteraksi dengan masyarakat termasuk dengan Khonghucu dan Tionghoa,” paparnya menjelang akhir diskusi, sebelum pembagian buku gratis berjudul “Perjalanan Mencari Jati Diri” karya Budi S. Tanuwibowo sendiri. (Malik/Yudhi)