Berita
Guntur Romli (Intelektual Muda NU): “Indonesia Tidak Pernah Terancam dengan Syiah”
Guntur Romli (Intelektual Muda NU): “Indonesia Tidak Pernah Terancam dengan Syiah”
Jakarta – Berdasarkan hasil penjajakan yang dilakukan berbagai lembaga survei, tren intoleransi dan radikalisme di Indonesia cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan itu dipengaruhi sejumlah faktor, terutama kontestasi politik, ceramah atau pidato hingga postingan bermuatan ujaran kebencian di media sosial.
Media ABI pada Senin, 2/2/2020 berkesempatan berbincang dengan Mohamad Guntur Romli, sosok intelektual muda NU, alumni al-Azhar, Kairo yang juga seorang aktivis dan politisi yang aktif melawan segala bentuk intoleransi di media sosial. Berikut petikannya.
ABI: Berbicara mengenai intoleransi yang semakin marak di Indonesia, bagaimana pandangan anda sebagai intelektual muda NU?
Guntur Romli (GR): Mengenai kasus intoleransi, kalau kita lihat beberapa laporan HAM, kemudian dikonfirmasi oleh penelitian kuantitatif, memang ada kenaikan dalam beberapa tahun ini. Dan kalau kita melihat, intoleransi itu lebih terkait kepada intoleransi politik. Ada survei LSI kira-kira setahun lalu yang menunjukan bahwa ada intoleransi pada aspek politik. Tetapi di aspek kulutural malah tidak, malah menurun. Kultural ini misalkan hubungan di akar rumput, antar tetangga, ini baik-baik saja. Tetapi dalam agenda-agenda politik, isu-isu intoleransi semakin menguat terkait ujaran kebencian yang berkaitan dengan politik identitas, politik dalam isu SARA.
Baca juga : Khidmat Relawan Ahlulbait Indonesia (ABI) untuk Gempa Lombok
Masuknya agenda-agenda intoleran ada pada aspek politik seperti pada saat kampanye Pilkada, Pilpres dan lain sebagainya. Di situlah penyebaran isu intoleransi semakin menguat, seperti menyerang lawan politik dengan isu SARA. Itulah yang menyebabkan isu intoleransi semakin naik. Isu intoleransi dikapitalisasi oleh politisi untuk meraup suara.
ABI: Apakah dalam hal intoleransi, pemerintah kurang tegas dalam menghadapi kelompok intoleran?
GR: Kalau dalam beberapa kasus saya katakan, iya. Pemerintah tidak memiliki ketegasan, dan mungkin juga kalau kita tanya sebabnya, itu macam-macam, tapi yang paling klasik, klise sekali itu soal kepentingan. Misalnya, kalau kita bicara tentang pemerintah pusat itu terpenjara dengan koalisi, ketika sudah bicara intoleransi dalam agama mereka tidak satu suara, dalam satu koalisi mereka tidak memiliki satu pandangan yang sama, karena kalau sudah bicara koalisi akan masuk pada partai yang di mana akan mempertimbangkan masalah elektoral. Dan ketika pemerintah tegas terhadap kelompok intoleran yang membawa nama Islam, mereka takut dikatakan anti Islam, anti ulama, kriminalisasi ulama, dan lain-lain. Itulah yang menyebabkan satu koalisi tidak memiliki pandangan yang sama karena pertimbangan politik.
ABI: Menurut Anda, apa perlu ada regulasi untuk menindak kelompok intoleran?
GR: Indonesia selama ini sudah menggunakan undang-undang untuk menjerat pelaku ujaran kebencian, yang pelakunya tidak boleh dibiarkan. Undang-undang sudah banyak sebenarnya tetapi penegakan hukum masih lemah. Kalau kita bicara undang-undang itu ada undang-undang ITE, KUHP, dan pasal 156 tentang mengganggu ketertiban umum, dan sebagainya. Tapi masalahnya adalah pada penegakan hukum. Ketika pada tataran penegakan hukum, misalnya saat menindak seorang penceramah agama yang melakukan ujaran kebencian itu takut dengan stigma, seperti kriminalisasi ulama dan sebagainya. Perlu ada peran aktif dari masyarakat untuk mendesak pemerintah melakukan tindakan hukum kepada seseorang ketika melakukan ujaran kebencian dengan melaporkan, misalnya. Tentu bukan karena melaporkan ceramahnya tetapi tindakan fitnah kebencian yang ada di dalam ceramahnya.
Baca juga : Proses Pembangunan Rumah Tahan Gempa di Lombok
Terorisme menurut saya perlu ada penanganan lebih dini. Terkait radikalisme, kita belum punya undang-undangnya. Ini untuk mengantisipasi konflik ke depan. Polisi selama ini hanya menindak ketika mereka sudah melakukan tindakan teror. Padahal seseorang menjadi teroris itu tidak tiba-tiba karena perjalanan awalnya menjadi seorang intoleran, radikal, kemudian baru menjadi seorang teroris.
Bagaimana menangani radikalisme, yaitu, misalnya, ketika ada kelompok mendemo sebuah gereja atau peringatan Asyura, itu harus ditangkap? Kenapa, karena dia memiliki kebencian kepada suatu kelompok. Ketika seseorang melakukan tindakan kebencian, itu harus ada tindakan hukum. Banyak orang yang menyebarkan kebencian dianggapnya sebagai dakwah, padahal bukan. Perlu Ada undang-undang khusus yang sifatnya preventif untuk menanggulangi radikalisme yang berawal dari intoleransi.
Selama ini masyarakat awam masih banyak yang belum bisa membedakan ketika suatu kelompok membawa nama Islam dianggap sebagai representasi Islam. Jika kita melihat sejarah, orang yang membunuh Sayyidina Ali itu pun orang Islam. Jadi jangan semua orang yang membawa Islam itu dianggap sebagai representasi dari Islam. Ketika melakukan kekerasan, mengacau, mengkafirkan sesama muslim, menganggap tawasul sebagai bid’ah, inilah tindakan intoleran.
ABI: Sampai saat ini kelompok yang paling rentan terhadap intoleransi adalah mereka yang minoritas, sebagai contoh Muslim Syiah. Menurut Anda?
GR: Kalau menurut saya, kelompok mayoritas dan minoritas di dalam konstitusi kita itu tidak dikenal. Semua yang berwarga negara Indonesia tidak pandang suku dan agama, dia setara dengan yang lain. Mayoritas dan minoritas itu muncul hanya dalam politik kekuasaan. Kalau kita kembali kepada konstitusi kita, tidak boleh seseorang mengalami diskriminasi.
Baca juga : ABI dan Universitas Internasional Ahlulbait Iran Menandatangani Kesepakatan Kerjasama di Bidang Pendidikan
Isu mayoritas minoritas itu muncul ketika dimanfaatkan oleh politisi jahat. Politik identitas itu produk dari kampanye politik. Yang perlu kita benahi adalah soal bagaimana kosakata politik itu tidak mencampuri atau mengotori konstitusi kita, prinsip kesetaraan antar warga negara itu sama. Lagi-lagi kalau sudah masuk politik identitas yang tampil adalah sebagai wakil dari kelompok mayoritas. Di situ lagi-lagi politik elektoral. Akhirnya itu dianggap sebagai cara mendulang suara. Seorang politisi jahat menjadikan isu ini sebagai alat, kelompok kecil dijadikannya sebagai ancaman, musuh bersama untuk mempersatukan kelompok yang banyak dengan menciptakan musuh bersama.
Terkait Syiah, secara kultural kan sudah lama berada di Indonesia, bahkan sudah menjadi bagian integral masyarakat kita, sudah tidak ada persoalan. Bahkan Gus Dur pernah bilang NU itu Syiah tanpa Imamah, tentang penghormatan kepada Ahlulbait, tradisinya dan sebagainya, banyak sekali kesamaan.
Semua itu menjadi isu kan ketika ada ketegangan Timur Tengah, Saudi yang merasa terancam dengan revolusi Imam Khomeini tahun 1979 kemudian mencoba menarik simpati masyarakat dunia dengan mengatakan bahwa Syiah adalah musuh bersama orang Sunni. Padahal dia hanya merasa terancam dengan Republik Islam Iran. Yang terancam mereka, tapi mengajak yang lain untuk membenci Syiah. ini kan soal persaingan geopolitik.
Indonesia tidak pernah terancam dengan Syiah, buktinya kita bisa hidup bersama, akulturasi budaya, amaliyah sama. Ada kemiripan antara NU dengan Syiah, bahkan penyebar Islam di nusantara adalah sebagian dari kelompok muslim Syiah. Kita tidak terancam. Saudi yang (merasa) terancam, kok mengajak masyarakat Islam dunia seperti Indonesia untuk menganggap Iran berarti Syiah yang kemudian jika membenci Syiah akan diberi dana. Kampanye anti Syiah dan aliran sesat itu semua soal agenda politik karena merasa terancam, itu yang saya lihat.
ABI: Sampai saat ini penyintas Sampang sudah 8 tahun terkatung-katung nasibnya di pengungsian; menurut Anda, mengapa bisa sampai selama itu?
Menurut saya, itu lagi-lagi konflik yang didasari persoalan politik. Sunni dan Syiah sudah hidup berdampingan ratusan tahun di Indonesia, tidak ada masalah, Ada masalah karena kepentingan politik, ada kasus Pilkada Sampang waktu itu, persaingan bupati dan wakil bupati membawa isu Syiah, jadi mereka diusir kemudian nasibnya terkatung-katung hingga kini. Ini terkait politik elektoral, tidak ada pejabat yang berani back up isu tersebut karena takut terstigma Syiah, takut partainya tidak dipilih. Ini yang menjadi akar masalah sesungguhnya.
Baca juga : Peneliti dan Dosen Universitas NU: ABI Berpartisipasi dalam Memajukan Masyarakat
Kalau orang per orang, konflik suatu di desa pasti akan ada rekonsiliasi, bisa diselesaikan, akan ada rekonsiliasi kultural, tapi ketika ada kepentingan politik masuk ke situ , maka jadi rumit. Apalagi ditambah dengan elektoral dan kepentingan partai politik. Menurut saya, pemerintah daerah maupun pusat harus mulai melakukan tindakan-tindakan yang serius untuk mengembalikan para pengungsi untuk mereka kembali ke rumah, karena itu adalah hak mereka, tidak bisa dicabut. Itu adalah tanah, budaya, tempat kelahiran mereka. Ketika mengusir, itulah yang dilakukan oleh orang-orang kafir musyrik kepada Nabi Muhammad di Mekkah dulu. Beliau diusir karena isu keyakinan dan agama yang dimilikinya. Maka, ketika kita paham itu, sebagai orang Islam itu adalah sebuah ironi. Dulu nabi kita diperlakukan seperti itu, kok mereka sekarang melakukan hal yang sama (mengusir -red).
Dari pihak pemerintah, saya kira opsi-opsi banyak, hanya saja belum ada keseriusan, kita tunggu bersama keseriusan itu. Jangan karena ada kepentingan elektoral, politik, mau main aman, isu ini dianggap bola panas, dan saling melempar, ke pusat, daerah dan sebagainya.
Baca juga : ABI Responsif Covid Bantu Masyarakat Lawan Covid