Berita
GKPB Menyoal Manifesto Gerindra dan Pencapresan Prabowo
Selasa (29/4) Tim ABI Press mendatangi kantor DPP Partai Gerindra di dekat kebun binatang Ragunan, Jakarta Selatan untuk meminta keterangan dan klarifikasi terkait rencana konferensi pers Gerakan Kebhinnekaan untuk Pemilu Berkualitas (GKPB) yang menolak pencalonan Prabowo Subianto sebagai capres 2014-2019 dari partai itu.
Dua jam duduk menunggu, tak satu perwakilan pun dari Gerindra dapat dimintai tanggapan soal rencana konferensi GKPB itu.
Kami pun bertolak ke Tebet, Jakarta Selatan, tempat konferensi pers berlangsung. Tak tanggung-tanggung, aliansi penolakan pencapresan Prabowo itu ternyata didukung 30-an Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Ade Armando, pakar komunikasi Universitas Indonesia serta pengurus Yayasan Paramadina, menjadi pembicara pertama dalam acara itu. Ia dalam pemaparannya menyebutkan kekhawatiran banyak pihak jika Prabowo terpilih menjadi Presiden. Ade menyebut salah satu alasan kekhawatiran itu dengan mengutip Manifesto Perjuangan Partai Gerindra (hal. 40-41) yang berbunyi, “….pemerintah atau negara wajib mengatur kebebasan dalam menjalankan agama atau kepercayaan. Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama.”
Berdasarkan itu, Ade menilai sikap Gerindra yang memposisikan secara berhadapan klaim agama yang murni dan agama yang tidak murni serta keharusan adanya pembeda tajam antara agama yang penafsirannya benar dan tidak benar, sementara negara dituntut menjadi hakim pemutus di antara keduanya, sebagai sikap yang tidak pada tempatnya. Hal tersebut juga dinilai dapat menjadi pemicu konflik lebih besar di tengah umat mengingat saat ini telah terbukti bahwa penafian adanya beda penafsiran dalam beragama itu telah menimbulkan korban. Ia menyontohkan diskriminasi yang terjadi terhadap Muslim Syiah di Sampang dan Jamaah Ahmadiyah di beberapa wilayah. Mereka menjadi korban karena dianggap sebagai penganut keyakinan agama yang tidak murni dan dianggap oleh kelompok tertentu yang merasa paling benar, memiliki penafsiran yang menyimpang.
Sedangkan Mohammad Munif mewakili Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), tak hanya mengkhawatirkan Gerindra yang mencalonkan Prabowo sebagai Presiden, melainkan juga menyinggung isu rencana koalisi Gerindra dengan PKS. “Akan ada dua fasisme besar, yaitu fasisme politik yang berbasis militer dari pihak Gerindra dan fasisme agama diwakili PKS yang mengusung Wahabisme, sebagai kelompok yang selama ini kerap tidak mau menerima perbedaan,” ungkapnya.
Sementara Muhamad Isnur, mewakili Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga menyampaikan pendapatnya. Menurutnya, sikap Gerindra yang seolah ingin memetakan kemurnian agama itu bertentangan dengan konstitusi. “Sedangkan Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri tidak bisa mengakui mana agama yang diakui dan tidak. Karena menurut MK semua agama dan keyakinan harus diakui,” tegasnya.
Karena itulah dalam konferensi persnya, selain mengungkapkan penolakan atas pencapresan Prabowo, GKPB juga mendesak agar Gerindra mengubah atau menghapus sebagian isi manifestonya, terutama poin-poin tentang peran dan campur tangan negara dalam hal “pemurnian” agama yang dinilai potensial melanggar HAM dan jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi itu. (Malik/Yudhi)