Berita
Gibah Menurut Islam
Permasalahan akhlak buruk masyarakat Islam yang sering ditemui dan telah menjamur dalam kehidupan sehari-hari mereka, salah satunya adalah gibah atau menggunjing.
Apa itu gibah? Seberapa haram dan berdosakah gibah? Lalu adakah pengecualian-pengecualian yang memungkinkan kita bisa menggibah?
Gibah adalah membicarakan keburukan-keburukan orang lain di belakang orang tersebut dalam bentuk sesuatu yang dilarang oleh akal dan syariat. Atau dengan kata lain, tidak ada dalil untuk membenarkan hal tersebut.[1]
Adapun definisi lain gibah ialah membicarakan sesuatu di belakang (menggunjing) seseorang, yang apabila orang itu mendengarnya maka ia akan sakit hati atau tidak senang.
Dalam Alquran, surah al-Hujurat, ayat 12, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan buruk-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari buruk-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
Dengan ayat ini, Islam melarang seseorang untuk berburuk sangka kepada orang lain, mencari-cari keburukan orang lain, dan menggunjing atau membicarakan keburukan orang lain.
Dari sini kita menyadari bahwa menggunjing adalah akhlak buruk yang dilarang oleh Islam, bahkan Allah SWT menyamakan mereka yang menggunjing dengan orang yang memakan daging saudaranya sendiri. Begitu sangat tak layak dibayangkan dan sangat menjijikkan bukan?
Lalu seberapa haramnya menggunjing?
Jabir bin Abdullah meriwayatkan dari Rasul saw yang bersabda, “Jauhilah menggunjing orang lain, karena menggunjing orang lain lebih buruk daripada berzina.” Setelah itu beliau bersabda, “Karena (ketika) seorang insan berzina dan ia bertaubat maka Allah SWT menerima taubatnya. Namun untuk orang yang menggunjing, Allah SWT tidak akan mengampuni dosanya sehingga ia meminta keridhaan dari orang yang telah ia gunjinggkan.”[2]
Ada sebuah kisah tentang menggunjing dari Imam Khomeini. Suatu hari Imam Khomeini mengumpulkan keluarganya dan bertanya kepada mereka, “Apakah kalian tahu seberapa haramnya menggibah?”
“Iya.”
“Apakah kalian tahu seberapa berdosanya bagi pembunuh yang sengaja membunuh orang lain?”
“Iya.”
Setelah itu beliau berkata, “Dosa menggibah lebih banyak.” [3]
Namun demikian, ada beberapa hal yang penting diketahui bahwa ada beberapa poin pengecualian tentang gibah, yaitu:
1) Ketika dalam keadaan bermusyawarah tentang pekerjaan, pernikahan, dan semacamnya.[4]
Misalnya ketika ada seseorang yang bertanya tentang orang yang ingin ia nikahi, maka dalam hal ini kita bisa mengungkapkan seperti apa dia dalam batasan tertentu (sekadar menjawab pertanyaannya saja).
2) Menggibah seseorang yang melakukan dosa secara terang-terangan.[5]
3) Menggibah seorang penguasa yang suka berbohong dan berbuat jahat.[6]
4) Menggibah ahli bid’ah.[7]
5) Menjelaskan aib seseorang ketika bersaksi dalam pengadilan. Itu pun dengan ukuran/kadar yang diperlukan.[8]
6) Menjawab permasalahan keilmuan orang lain (hal ini dikemukakan oleh beberapa ulama).[9]
Jelas bagi kita betapa tercelanya perbuatan menggunjing atau menggibah, selain dalam kondisi pengecualian sebagaimana telah disebutkan di atas.
Menggunjing juga bisa menyebabkan kehormatan seseorang menjadi hancur. Padahal Islam begitu memperhatikan soal kehormatan.
Penulis pernah mendengar sebuah hadis bahwa orang Mukmin lebih terhormat dibandingkan Kakbah, padahal di sisi lain kita mengetahui bahwa Kakbah begitu terhormat kedudukannya dalam Islam. Namun kehormatannya masih kalah dengan kehormatan seorang Mukmin.
Semoga Allah SWT memberikan kepada kita taufik agar terhindar dari menggunjing orang lain, kecuali sebatas yang diperbolehkan oleh syariat Islam. (Sutia/Yudhi)
[1] Akhlak dar pertuv-e Quran va hadist. hal. 453
[2] Ibid, hal 456, dikutip dari Mustadrak al-Wasail, Jilid 9, hal. 118.
[3] Darsha-e az Akhlak-e Imam, hal. 53
[4] Tafsir Muqadamati, hal. 105, dikutip dari Tafsir Nemuneh, Jilid 22, hal.194
[5] ibid
[6] ibid
[7] ibid
[8] ibid
[9] Ibid. *Ulama yang dimaksud adalah Syahid Tsani dan Syekh Baha’i