Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Gelombang Takfirisme di Kelas Menengah (Bag. 2/2)

Gelombang Takfirisme

Apa buah logika positivistik dalam beragama ini? 

“Buahnya apa? Ekstremisme. Karena tidak menggunakan logika (Aristotelian), dalam agamanya religius, tapi tak punya semangat berpikir. Religius, tapi konsumeris. Sudah lihat, mall itu isinya lebih banyak orang berjilbab ketimbang orang tak berjilbab. Kalau Anda ke bioskop, yang religius lebih banyak. Kalau anda lihat yang ikut konser, yang teriak-teriak histeris kalau ada konser Justin Bieber, yang nangis-nangis nonton drama Korea, yang ikut lomba-lomba nari itu semuanya religius. Jadi jangan heran kalau di Perguruan Tinggi juga religius, tapi religius jumud. Pinter, dalam logika empirik, tapi dalam soal agama…? Nol. Karena doktrin mereka agama kan ndak boleh diotak-atik, kan dari Tuhan agama ini. Diwakili oleh siapa? Diwakili oleh mereka yang mengajarkan itu. Jadi agama itu memang dari Tuhan, wakilnya siapa? Yang menjejalkan agama itu.”

Lalu, bagaimana cara mengatasi gelombang ekstremisme yang justru melanda kelompok berpendidikan ini? 

“Sekarang semua itu sudah terjadi. Dan memang sulit mengatasinya. Karena harus dipahami, ini sebenarnya bukan soal agama. Mereka menganggapnya sebagai soal religiusitas, mereka ini tulus. Tapi mereka tak tahu di belakangnya ini ada kepentingan politik dan ekonomi global. Ini politik yang hubungannya dengan hegemoni, dengan kolonialisme itu tadi.”

“Untuk terus bisa mengokohkan hegemoninya ini, mereka terus melakukan manajemen konflik, supaya ketegangan terus berjalan. Apa yang dulu terjadi di Barat, sekarang terjadi di sini. Dipindah ke sini tapi dengan format yang berbeda. Sekarang kan bukan eranya lagi penjajahan. Cara berpikir yang anti logika ini memang cukup melegalkan dominasi kolonialisme militer, kolonialisme ekonomi, kemudian kolonialisme politik, puncaknya hegemoni Zionis Israel. Tapi ini ndak bisa terus dengan cara lama. Harus dibuat format baru. Karena apa? Sudah ndak terkontrol. Munculnya gerakan seperti NII, Ikhwanul Muslimin, itu ada di setiap negara.”

“Maka diciptakanlah neo-kolonialisme. Menjajahnya bukan dengan tentara, tapi dengan perjanjian-perjanjian, dengan MoU-MoU yang menguntungkan sepihak. Di sinilah manajemen konflik mereka main, supaya ketegangan terus berjalan dan mereka diuntungkan dengan itu. Tapi ada satu hal yang tidak mereka perkirakan. Dan ini mengubah segalanya.”

Apa yang tidak mereka perkirakan? 

“Begini, saya katakan, fenomena ekstremisme tak seperti dulu. Sekarang ada faktor lain. Faktor lain itu apa? Ada contoh resistensi. Apa resistensinya itu? Fenomena Israel yang ditentang. Sebenernya hampir tak ada pertentangan itu dengan Arab yang dimanjakan. Dulu dugaannya perlawanan paling besar dari Arab, karena etniknya sama. Kalau Arabnya sendiri sudah menerima Israel, kan berarti selesai. Itu kan skenario yang semestinya. Dan hampir terjadi itu.”

“Tiba-tiba yang bukan Arab muncul. Ini di luar yang direncanakan ini. Dan munculnya dari negara yang tidak pernah berurusan dari dunia Islam lainnya. Seakan-akan ada di planet lain. Jadi ada nama sebuah negara, Iran, yang akhirnya mengingatkan kita akan kira-kira 300 juta manusia yang terlewat dari umat Islam, dalam pandangan kita ini disebut dengan Syiah. Setelah ditelusuri, waktu discan, ini ternyata bukan hanya di Iran. Tapi seluruh penjuru dunia itu ada. Di sudut-sudut negara itu ada. Kembalinya ternyata kepada dua hal ini, resistensi terhadap Israel dan kesadaran untuk mandiri. Waduh, bahaya ini. Gak bisa ini dibiarkan!”

“Berarti yang dulu sudah dibentuk harus diformat ulang, diseretin lagi. Gimana caranya? Harus ada sesuatu yang besar untuk mengubahnya. Dua gedung besar dihancurkan pake dua pesawat terbang, 9/11. InsyaAllah sampai kiamat tak akan ada lagi itu. Lalu muncul Islam baru yang sadis, yang serem, dengan tokoh baru untuk menutupi ini. Tokoh yang ‘Islami’. Tukang becak di sini pun pake kaosnya, Osama bin Laden.”

“Nah, ini jenis baru ekstremitas lagi. Dengan ini kelompok yang dulu disebut ekstremis sudah lupa, urusannya sudah bukan bangun masjid, bukan urusan apakah beduk itu bid’ah atau bukan bid’ah, udah gak ngurusin itu lagi. Di mata kelompok ini semuanya sama. Tapi kerjaannya apa? Perlawanan-perlawanan di sudut-sudut gua, naruh bom di sana-sini. Kadang hanya bikin video. Tidak efektif, hanya teror saja.”

“Ternyata ini pun gak cukup untuk meredam dan mengalihkan suara perlawanan ini. Muncul skenario paling berat, paling mutakhir, mengalihkan musuh dari Israel ke Arab. Dari yang non Arab, ke Arab. Dihembuskan propaganda bahwa dia ini berambisi. Kalian kan gak demokratis, kalian kan sebetulnya gak aman, disadarkan hal itu. Caranya bagaimana? Diyakinkan bahwa musuh itu bukan Israel yang jauh. Mereka bisa pastikan Israel tak akan mengganggu. Tapi yang akan mengganggu ya ini, Syiah ini. Karena di dalam negeri Anda ada orang seperti ini.”

Bagaimana mereka meyakinkan bahwa Syiah itu adalah musuh yang paling berbahaya alih-alih musuh yang nyata, Zionis Israel?

“Nah, karena melihat Iran dianggap sebagai ancaman, ya dijadikan musuh bersama. Gimana caranya, sementara Syiah sendiri tak melakukan apa-apa? Ada itu buku-buku di slempitan-slempitan yang bisa diungkap, dikeluarkan. Kan di setiap tempat ada orang bodohnya. Dikasih lah dana, bikin tivi, buku, selebaran-selebaran. Juga photoshop dan editing-editing gambar hoax berperan besar di sini menciptakan pembodohan massal.”

“Nah, ini disebar ke masyarakat. Ya makin menguatlah kelompok yang awalnya hanya religius mengkafirkan orang itu tidak cukup. O, ternyata kafir itu ada dua, kafir yang di tengah kita itu yang lebih berbahaya. Kafir yang menggunakan nama Islam. Siapa? Ya Syiah itu. Ini lebih berbahaya karena dekat dengan kita. Kalau kafir yang jauh, tidak berbahaya, kan jauh. Jadi mereka melupakan kafir yang asli, yang bule itu. Jadi bukannya Israel yang diserang, tapi Suriah. Kok serang Israel, serang Suriah dong! Belum pernah kan mereka berbondong-bondong ke Israel? Berbondong-bondongnya malah ke Suriah. Belum pernah ada tentara 67 negara bergabung gratis karena fenomena ini. Bayangkan, sampai ada polisi, suami-istri bergabung, wanita ada yang jadi budak seks atas nama jihad, saking memahami bahwa ini adalah musuh yang semuanya bisa dikorbankan.”

Di Indonesia, meski penganut Syiah jumlahnya sangat sedikit, tapi propaganda gelombang takfirisme ini amat masif. Apa yang sebenarnya terjadi?

“Kenapa Indonesia? Kenapa di sini Syiah yang sedikit dan hidup dalam kedamaian, ketentraman sejak dulu? Sampai-sampai buku merah itu 10x lipat dari jumlah orang Syiah di Indonesia disebarkan? Ada urusan apa ini? Sampai dikucurkan dana sedemikian besar? Itu belum selebaran-selebaran, broadcast-broadcast, dan propaganda kebencian di majelis-majelis taklim itu? Begini, Indonesia itu Negara Muslim terbesar. Kalau mau diperjelas lagi negara dengan Muslim Sunni terbesar. Fakta kedua, non Arab. Fakta ketiga, punya ikatan historis dengan Syiah.”

“Islam di Indonesia itu memang unik. Ini fakta ketiga, terkait ikatan historis Indonesia dengan Syiah. Masuknya Islam ke Nusantara tidak dengan perang dan invasi. Dan fakta itu dikonfirmasi oleh para sejarawan. Islam masuk pertama ke Nusantara bukan dari Arab, tapi dari Cina, dari India, dari Persia. Cina dan India itu muaranya juga Persia. Apa yang masuk ke Indonesia itu bukan pedang, bukan fikih, bukan teologi, tapi moral esoterik. Apa moral esoterik? Ajaran yang tidak jauh berbeda dengan ajaran Hindu yang sudah ada di Indonesia.”

“Mengapa datangnya dengan moral? Karena mereka punya kesamaan dengan ajaran India dan Persia. Sama beralkulturasi dengan agama Hindu, Budha, Zoroaster, yang sama-sama esoterik. Agama moral, bukan agama formal. Nah, itu diterima oleh masyarakat karena pendekatannya pendekatan kultur, ya gamelan, gendingan, wayangan, masuk. Yang diajarkan juga bukan cara salat, cara cukur jenggot, atau bagaimana celana digunting biar cingkrang. Tetapi yang diajarkan bagaimana memperlakukan sesama manusia dengan adil dan manusiawi, bagaimana menyadari bahwa  manusia dipersatukan oleh satu Wujud. Makanya dikenal kan konsep Manunggaling Kawula Gusti itu.”

“Itu enak mendaratnya, pembawanya orang berakhlak, tampan. Nikah sama putri raja. Jadi moral iya, tampang iya, ya dalam sekejap Islam (moral esoteris) menyebar. Karena tanpa mereka merasa dipisahkan dari budayanya, dari identitasnya, dari tradisi dan kebanggaannya. Ini yang kita sebut sekarang sebagai Islam Nusantara, ya ini. Tapi, karena para pendakwah ini memang bukan berencana mau berdakwah sebagian, tapi mau berdagang membawa barang-barang dagangan ke tanah ini, ya mereka pulang. Bukan niat mau buka lapak, kembali lagi mereka ke negerinya. Karena itu, Islam hanya berkembang sedikit sebagai sebuah agama. Kebanyakannya ya Islam moral, tidak sampai ke Islam yang bersifat fikih.”

“Lalu datang kelompok kedua dari negara Arab. Datang dengan mengajarkan teologi dan fikih Sunni Syafii. Ini juga enak mendaratnya, karena Sunni Syafii itu yang paling punya kesamaan dengan Islam sebelumnya. Kan sudah mendapatkan penjelasan sebelumnya. Jadi hanya perlu disempurnakan saja. Dengan tatacara salat, sesajennya diganti dengan tahlil, mantra-mantra diganti zikir la ilahailallah, sambil gendingan, dengan ambil nadanya, ritmenya, langgam Jawanya masih ada.”

“Nah, ada sedikit benturan antara Islam kultural dan teologis ini. Yang kultural ini bertahan di daerah Mataraman, Islam yang teologis yang fikih bertahan di Pesisir, di situ mulai terjadi apa yang disebut kelompok Abangan dan kelompok Santri. Yang merespon Islam yang lebih formal adalah kelompok Santri. Mereka mulai membangun pesantren-pesantren yang nantinya muncul NU. Kelompok Abangan ini muncul sebagian, mereka berjarak. Bahkan ada sedikit ketegangan politik. Nanti di era setelah kemerdekaan mereka termasuk yang berusaha melawan dominasi agamawan dengan masuk ke partai Komunis.”

“Lalu muncul fenomena masuknya Islam yang ketiga. Ketika Inggris menjatuhkan kepemimpinan Syarif di Makkah, diganti dengan kerajaan para penyamun Badui, orang-orang masih tetep kirimkan sekolah ke sana. Dikiranya masih Sunni Syafii, tapi mereka salah. Sudah berubah, akhirnya terpengaruhlah mereka Islam ala gurun pasir yang sudah lagi tak menghargai budaya. Dibawa balik ke sini, mereka gak diterima oleh golongan Santri ini. Mereka masuk ke mana? Ke Mataraman. Di sana gak ada benturan. Subur di sana pandangan Islam itu sudah rusak, yang murni bener, ya ini. Makanya jangan heran, gerakan-gerakan ekstrem tidak di daerah Tapal Kuda berkembangnya, berkembangnya malah di daerah Mataraman yang molimo itu.”

“Sedikit demi sedikit mereka menguasai satu dua sekolah. Akhirnya mereka menguasai perguruan-perguruan tinggi sekuler, lulusan mereka semuanya. Lalu masuk ke pusat-pusat politik, industri, ekonomi, dan dalam sekejap yang kita lihat di gedung-gedung mewah kita lihat pusat-pusat agamanya seperti itu. Tiba-tiba kita dihadapkan pada fenomena itu. Muncullah jumud-jumud berdasi. Berpendidikan tapi bagi-bagi selebaran fitnah sektarian, ya pastilah! Profesional tapi kafir-kafirkan orang, ya pasti lah! Anti terhadap NU, benci Islam Nusantara, benci semuanya. Benci JIL, benci Ahmadiyah, benci segala macem. Dan tentu saja…, benci Syiah.”

Jika mata rantai kebencian dan intoleransi ini tidak diatasi, apa yang akan terjadi? 

“Kalau tetap begini terus akan terjadi konflik, akan memuncak. Antar Islam yang model ini dengan Islam yang ingin mempertahankan budaya lokal dengan budayanya, juga dengan institusi negara. Karena mereka menolak negara. Bagi ekstremisme sekarang ini, negara malah dianggap cabang dari Daulah. Otomatis yang paling dirugikan pertama adalah kelompok minoritas agama. Karena mereka sudah bukan dianggap penghuni. Mereka harus sewa, bayar keamanan. Kelompok kedua adalah kelompok minoritas Muslim. Karena mereka dianggap merusak Islam, dibuat oleh Yahudi, dan seterusnya. Baru kemudian Islam mainstream akan dihabisi. Karena mereka menyembah kuburan, syirik, dan seterusnya. Baru kemudian setelah itu Kerajaan Islam akan berdiri, Islam jaya.”

Bagaimana cara mengantisipasi hal itu? 

“Antisipasinya, ya dengan menyadarkan masyarakat tentang bahayanya. Bahwa ini adalah sumber konflik. Cara pandang agama yang harus diluruskan. Kok ini dua-duanya ekstrem. Yang satu sangat terbuka, satunya sangat tertutup. Yang satu sangat memuja teks, satu sangat mengandalkan konteks. Satu sangat jumud, satu sangat liberal. Ya jalan tengah itu solusinya.”

“Sesungguhnya umat Islam itu satu. Tak perlu khilafah untuk menyatukan umat ini karena dari dulu kita ini umat yang satu. Tapi bukan berarti adanya bangsa-bangsa ditolak. Alquran juga mengkonfirmasi adanya bangsa-bangsa. Kita meyakini Islam itu universal iya, tapi bahwa Islam itu beradaptasi dengan budaya di mana-mana itu juga tak bisa ditolak. Itu poin yang paling penting. Kedua itu bahwa konsep Alquran sebagai wahyu, juga ucapan Nabi juga wahyu, tapi ketika kita menerimanya, memahaminya, apakah itu wahyu? Ya tidak? Itu bukan Alquran dan Sunnah, tapi pemahaman kita akan Alquran dan Sunnah.”

“Tapi upaya memahamkan mereka seperti ini sudah diantisipasi oleh para Ustaz mereka. Sudah dianggap kafir kok masih kasih penjelasan. Jadi penjelasan selogis apa pun akan ditolak. Apalagi dianggap mereka ini bertaqiyah dan sebagainya. Jadi apa pun penjelasan Anda gak pernah ada gunanya. Ngotot-ngotot pake dalil berbusa-busa gak ada gunanya. Bagi sebagian. Tapi kan ndak semuanya begitu. Ada yang hanya ikut-ikutan. Karena melihat religius, salat tepat waktu. Sementara yang katanya santri ini kadang-kadang molor. Kenyataannya begitu. Secara visual mereka lebih rapi, cara berpakaian, terutama jilbab juga tidak kemayu, tidak genit. Tapi benar-benar menutupi bagian yang harus ditutupi.”

“Jadi masalahnya bukan di jenggot atau celana cingkrangnya. Emang ndak enak dilihat, tapi ya hak orang. Persoalan kita bukan pada persoalan jenggot atau cingkrang. Tapi pada pola pikir menafikan hak orang lain untuk memahami wahyu. Karena itu masyarakat harus cepat-cepat disadarkan. Bagaimana cara menyadarkan masyarakat? Ya tugas kita bersama. Orang-orang yang punya akses untuk masuk ke perguruan tinggi harus menyadarkan itu, yang masuk BUMN harus menyadarkan itu. Dengan apa? Dengan koordinasi, dengan kerjasama, dengan memanfaatkan media.”  (Muhammad/Yudhi)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *