Berita
Geliat Kebangkitan Komoditas Primer Kalbar
Nilai Ekspor Kalbar pada bulan Januari 2016 mencapai 26,45 juta Dollar AS atau sekitar Rp. 338 Miliar, mengalami penurunan sebesar 40,51 % dibandingkan bulan Desember 2015 yang mencapai 44,46 juta Dollar AS atau sekitar Rp. 572 Miliar.
Menurut Asisten II Gubernur Kalbar Lensus Kandri, menurunnya nilai ekspor Kalbar ke Singapura dan Malaysia dikarenakan kebijakan pemerintah yang melarang ekspor barang mentah.
“Sekarang kita ingin menjual hasil tambang yang jadi, tapi memang permasalahan yang dihadapi untuk mengubah pola barang mentah ke barang jadi perlu prosedur dan waktu,” jelasnya, Selasa (15/3) lalu.
Untuk menyikapi hal tersebut, Lensus mengungkapkan bahwa Pemerintah Kalbar saat ini sedang menggalakkan industri pertambangan di sektor hilir.
“Kalau di Kalbar sendiri yang produksi baru di Tayan, yakni tambang bauksit, kemudian yang kedua WHW dengan nilai investasi puluhan Triliun, dengan anggaran tahap pertama Rp. 10 Triliun dan kedua Rp. 20 Triliun, ini baru berproduksi di tahun 2016.”
Selain berpengaruh terhadap kebijakan Pemerintah, penurunan nilai ekspor Kalbar juga berpengaruh terhadap penurunan harga karet, sehingga petani menyadari bertani di sektor karet tidak lagi menjanjikan.
Sementara itu, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kalbar Pitono, mengatakan ekspor Kalbar pada Januari 2016 didominasi oleh karet dan barang dari karet, kayu dan barang dari kayu serta ampas atau sisa industri makanan.
Menurutnya, ketiga golongan barang ini menyumbang 92,58 % dari total ekspor Kalbar.
Hal tersebut menunjukkan fenomena perekonomian Kalbar dalam kondisi berbahaya. Beberapa bulan terakhir nilai ekspor Kalbar semakin merosot dan diikuti secara drastis meningkatnya nilai impor. Tercatat Kalbar mengalami defisit neraca perdagangan hingga minus USD 49,45 juta, ini hanya untuk bulan September saja. Ekspor Kalbar bahkan tidak sampai separuh dari nilai impor sebesar USD 94,58 juta.
Melemahnya kondisi perekonomian Kalbar yang ditandai dengan turunnya nilai ekspor, menunjukkan perekonomian Kalbar mesti mengandalkan potensi-potensi alam sebagai penopang perekonomian.
Di sisi lain, buruknya infrastruktur juga menjadi salah satu penghambat industrialisasi. Walaupun perekonomian tahun ini masih tetap tumbuh, tetapi pertumbuhannya sangat lambat, terhitung hanya akan berada di angka 4,4 – 4,5 % saja. Sementara inflasi terus meningkat 6,17 % dari tahun lalu. Hal ini membuat pertumbuhan perekonomian Kalbar kembali berada di bawah rata-rata Nasional.
Prihatinnya lagi, berdasarkan data Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi Kalbar saat ini justru ditopang oleh konsumsi domestik.
Sementara nilai ekspor Kalbar yang menjadi andalan dari sektor pertambangan, perkebunan dan kehutanan tidak bisa diharapkan. Sejumlah komoditas primer Kalbar semua harganya anjlok di pasar Internasional.
Selain buruknya infrastruktur, pemberhentian ekspor bauksit akibat pemberlakuan larangan ekspor mineral dan batubara sejak tahun 2014 juga menjadi sebab turunnya nilai ekspor komoditas primer Kalbar.
Melemahnya pertambangan bauksit sangat identik dengan peraturan larangan ekspor mineral mentah oleh Pemerintah sebelumnya. Niatnya baik, untuk mendorong perusahaan-perusahaan membangun smelter agar bauksit memiliki nilai tambah. Namun apa yang terjadi, hanya dua perusahaan yang mampu membangun industri pengolahan. Pemerintah hanya bisa melarang dengan berbagai macam peraturan tetapi tidak menyiapkan sesuatu sebagai solusi.
Berkaitan dengan infrastruktur, investor tidak akan tertarik untuk membangun industrialisasi di sektor hilir apabila kondisi infastruktur masih seperti ini.
Pembangunan smelter untuk pengolahan bauksit menjadi barang jadi atau barang setengah jadi tidak akan berjalan dengan baik, karena masalahnya ada pada kondisi infastruktur Kalbar, terutama listrik, akses jalan dan air bersih. Maka dapat dipastikan upaya hilirisasi akan berjalan sangat lambat.
Namun kabar baiknya menurut Prof. Edy Suratman, di tahun ini ada beberapa raksasa di bidang pengolahan tambang seperti PT Antam dan Harita akan bekerjasama dengan perusahaan China dan diperkirakan akan memulai produksi aluminanya. Dengan kerjasama ini diperkirakan pertambangan bauksit di Kalbar akan bangkit kembali.
Ditambah lagi upaya Pemerintah akan menggalakkan industri pertambangan di sektor hilir, sebagaimana yang disampaikan Asisten II Gubernur Kalbar Lensus Kandri.
Hilirisasi telah dimulai di daerah Tayan yaitu tambang bauksit dan WHW dengan nilai investasi 20 Triliun dan akan berproduksi di tahun ini.
Sementara itu, dua komoditas utama lainnya yaitu karet dan sawit juga menurun, disebabkan permintaan akan barang tersebut juga menurun. Hal ini membuat kondisi masyarakat Kalbar makin memilukan. Saat ini karet hanya dihargai Rp. 3.000 – Rp. 5.000 per kilo. Turunnya permintaan terhadap karet karena belum pulihnya permintaan dunia, antara lain karena Tiongkok yang menjadi konsumen karet terbesar tengah mengalami perlemahan ekonomi dan pertumbuhannya kian terbatas.
Minyak kelapa sawit juga merupakan komoditas Kalbar yang cukup mempengaruhi perekonomian masyarakat. Namun sejauh ini kelapa sawit juga mengalami nasib serupa seperti karet. Dua negara pengimpor utama China dan India telah mengurangi belanja kelapa sawit karena kondisi perekonomian mereka sedang lesu.
Menjadi catatan penting juga adalah Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan menguasai lebih dari 50% pasar dunia. Tetapi ironisnya justru Indonesia tidak dalam kondisi dapat mengendalikan naik-turunnya harga sawit dunia melainkan harga sawit dikendalikan oleh harga pasar dunia yang menggunakan patokan nilai mata uang Ringgit Malaysia dan harga nilai mata uang Rotterdam Belanda. (Hakim/Yudhi)