Berita
Garis Linier Perjuangan Soekarno dan Imam Husain
Soekarno adalah tokoh besar dunia yang tak hanya dihormati oleh rakyat Indonesia. Bahkan di luar negeri, terutama di negeri-negeri yang pernah dijajah lalu terinspirasi oleh perlawanan Soekarno pada penindasan kolonialisme dan imperialisme, Soekarno dianggap sebagai Bapak Revolusi Dunia.
Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Soemarsono, Soekarno adalah seorang intelegensia. Yaitu orang yang memiliki dan menguasai banyak pengetahuan, sehingga menjadikan Soekarno seorang pemikir yang berpandangan luas dan bervisi jauh ke depan.
“Bung Karno itu seorang intelegensia. Memang ia mendapat pendidikan ala Barat. Tapi karena Bung Karno menguasai berbagai bahasa, belajar dari berbagai sumber, ia tidak menjadi boneka Barat. Itulah yang menjadi faktor penting pembentukan nasionalisme Bung Karno. Ia tak diajari nasionalisme oleh Belanda, tapi ia mendapatkannya dari pemikirannya sendiri,” terang Soemarsono.
“Dari sisi politik, pemikiran Bung Karno dibentuk oleh Cipto Mangun Kusumo. Di situlah ia diajari pewayangan oleh Cipto, yang kemudian ia gunakan dalam berkomunikasi dengan rakyat kecil, dengan kaum Marhaen.”
Sebagai seorang intelegensia, Soekarno tak hanya belajar dari buku, tapi ia juga belajar dari realitas politik. Yang saat itu terbagi dalam 3 kelompok, Islam, Komunis/Marxis, dan Nasionalis.
Soekarno dan Islam
Soekarno lebih dikenal sebagai seorang nasionalis ketimbang seorang religius. Tapi bukan berarti Soekarno tidak religius. Dalam pandangan Soekarno, Sosialisme dan agama itu tidaklah bertentangan.
“Menurut Soekarno, Marxisme dan Islam itu gak ada masalah. Haji Misbah yang berontak itu kan haji juga. Itu realitas masyarakat dan bangsa di Indonesia seperti itu. Kalau di Barat, Marxisme itu harus ke arah atheis karena konsekuensi keilmuan,” terang Soemarsono.
“Soekarno itu religius. Religiusitasnya dari Cokroaminoto dan dari Sarikat Islam, tapi Sarikat Islam yang belum kacau balau,” lanjut Soemarsono. “Tapi religiusitasnya itu religiusitas Islam yang tidak sontoloyo. Yaitu Islam yang melek science.”
Achmad Riza al-Habsyi, seorang pemuda Marhaen, mantan anggota DPRD Bandung dari PDI-P menyebutkan bahwa yang dimaksud Soekarno dengan ‘Islam Sontoloyo’ itu adalah kelompok Islam yang jumud, yang takfiri.
“Islam sontoloyo ini kalau sekarang kita sebut itu kelompok takfiri. Yaitu orang-orang yang jumud, yang ekstrem. Tak bisa menerima kelompok lain, pemikiran lain. Bagi Soekarno dunia ini bergerak maju. Karena itu ia mengkritik kelompok-kelompok jumud ini,” ujar Riza.
Semangat Anti Penindasan Soekarno
Soekarno merupakan tokoh yang amat dihormati oleh dunia. Tokoh-tokoh besar seperti Hugo Chavez, Ahmadinejad pun terang-terangan mengagumi Soekarno. Menurut Riza, Soekarno adalah Bapak Revolusi Dunia. “Indonesia pada masa itu Bapaknya Revolusi Dunia. Terutama untuk Asia. Jadi saat terjadinya penjajahan di Korea, atau di Iran itu, banyak negara yang belum merdeka dan mengalami penindasan.”
“Artinya pemikiran Bung Karno itu pemikiran revolusioner yang oleh beberapa kelompok pembebasan, menjadi semacam mata air yang menginspirasi berbagai negara baik terhadap kolonialisme oleh asing maupun oleh penghisapan oleh diktator bangsa mereka sendiri.”
“Bung Karno itu pemikirannya anti nekolim. Atau hari ini kita menghadapi pemikiran liberalisme. Artinya, pemikiran Bung Karno itu melakukan loncatan untuk zamannya. Itu tidak ada tandingannnya pemikiran pada zamannya. Baru dirasakan orang-orang saat ini. Jadi kalau hari ini banyak negara-negara dunia belajar dari Bung Karno ya wajar, sangat wajar,” tambahnya.
Soemarsono terkait kebesaran Soekarno menyatakan hal yang senada. “Yang bikin tokoh-tokoh besar kagum ama Soekarno itu karena dia sangat anti anti imperialisme. Anti kolonial. Dan itu ia perlihatkan dengan jelas, bukan sekadar ngomong. Dengan politik bebas aktifnya.”
“Soekarno muncul dari pergerakan nasional, ia meresapi semua permikiran, ia lihat konteksnya. Ketika Indonesia merdeka, yang lain juga harus merdeka,” lanjut Soemarsono.
Jadi tokoh-tokoh besar seperti Chavez atau Ahmadinejad mengagumi Soekarno itu bukan karena mereka sama, bukan karena Syiah, Sunni atau Kristen. Tapi pada saat itu sama-sama menghadapi musuh yang sama, penjajahan kolonialisme, imperialisme,” tegas Soemarsono.
Perjuangan Soekarno dan Imam Husain
Kebesaran nama Soekarno di dunia amat dikenal. Sampai ada 5 negara yang mengabadikan nama Soekarno menjadi nama jalan, yaitu Rusia, Mesir, Maroko, Pakistan dan Kuba. Di Iran, misalnya, sosok Soekarno sangat dihormati dan bahkan dipelajari pemikirannya. Tak hanya dipuji oleh Ahmadinejad dan Ali Khamenei di berbagai kesempatan, di kuliah ilmu Politik, pemikiran Soekarno dan Pancasila menajdi dasar mata kuliah.
Menurut Riza, hal ini tidak perlu diherankan. “Tak perlu heran, saya dapat info dari kawan, di buku Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno menuliskan tentang penghormatannya kepada Imam Husein yang syahid di Karbala, yang merupakan tokoh yang amat dihormati oleh Muslim Syiah di Iran.”
“Apa yang diperjuangkan Sayidina Husein di Karbala dengan apa yang diperjuangkan Bung Karno itu memang sangat inline, sangat segaris. Artinya sangat mirip. Prinsipnya, inti perlawanan Bung Karno, Marhainisme itu kan ada pada penolakan terhadap kolonialisme, terhadap penindasan. Dan sangat kental sisi humanismenya,” ujar Riza. “Sama seperti semangat anti penindasan Sayidina Husein.”
Terkait pernyataan Soekarno yang berbunyi, “Husein adalah panji berkibar yang diusung oleh setiap orang yang menentang kesombongan di zamannya, di mana kekuasaan itu telah tenggelam dalam kelezatan dunia serta meninggalkan rakyatnya dalam penindasan dan kekejaman,”yang banyak beredar sekarang, Seomarsono menengarai itu disebutkan oleh Soekarno dalam pidatonya.
“Itu bisa di PBB atau di konteks lain. Tapi itu jelas simbol perlawanan terhadap penjajahan. Simbol pembelaan terhadap orang kecil yang tertindas,” ujar Soemarsono.
“Menurut saya Bung Karno itu terilhami secara langsung atau tidak langsung oleh perjuangan Imam Husein. Imam Husein sangat meingspirasi dan mengilhami Bung Karno. Terbukti Bung Karno itu anti penindasan, kolonialisme, imperailisme, dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme,” papar Riza. (Muhammad/Yudhi)