Akidah
Filsafat Penantian (Intizhar) di Masa Keghaiban Imam Zaman Afs [Bagi 1]
Dalam ajaran Islam, keyakinan akan kemunculan Imam Mahdi as bukan produk impor ajaran agama lain. Konsep ini merupakan ajaran yang paling tegas dari seseorang yang meletakkan fondasi Islam (Nabi saw) umumnya aliran-aliran Islam dalam masalah ini bersepakat, dan hadis-hadis yang berkaitan dengannya adalah mutawatir.
Kini, marilah kita melangkah ke kejadian-kejadian yang terjadi selama masa penantian ini pada kondisi aktual dan terkini komunitas Islam, dan kita lihat apakah kemunculan manusia seperti ini sebegitu fiktifnya sehingga lalai dari keadaan sekitarnya dan pasrah terhadap segala bentuk kondisi? atau sebenarnya keyakinan ini adalah satu jenis seruan kepada kebangkitan dan pembangunan individu dan masyarakat?
Apakah penantian ini dapat menciptakan gerakan (baca dinamika) atau stagnasi? Apakah ia membawa beban responsibilitas atau malah membuat kita lari dari tanggung jawab? Akhirnya, apakah penantian ini merupakan pelelap atau pembangkit?
Namun, sebelum menjelaskan dan mengkaji pertanyaan-pertanyaan ini, seharunya kita memerhatikan satu poin yang sangat penting, yaitu bahwa aturan-aturan yang paling maju dan pemahaman yang unggul sekalipun, jika jatuh ke tangan orang-orang yang tidak ahli atau tidak laik, mungkin akan menimbulkan penyelewengan yang sedemikian bermetamorfosis sehingga ia akan memberikan hasil yang sama sekali bertentangan dengan tujuan utama dan bergerak di atas jalan yang sebaliknya. Banyak contoh yang dapat dibawakan di sini dan masalah penantian sebagaimana yang akan kita lihat berada pada asumsi ini.
Di atas segalanya, untuk melepaskan diri dari setiap bentuk kesalahan dalam mengevaluasi pembahasan seperti ini. hendaknya kita mengambil air dari sumbernya sehingga tidak menyisakan kontaminasi yang barangkali datang dari sungai-sungai dan saluran-saluran di pertengahan jalan.
Sekaitan dengan masalah “penantian”, sebagian kita secara langsung bertolak menuju teks-teks asli Islam, lalu kita jadikan sebagai redaksi riwayat yang menegaskan masalah ini sebagai objek kajian, sehingga kita mendapatkan banyak masukan dari tujuan utama kita, yaitu menulusuri masalah penantian (intizhar) ini.
Kini mari kita renungkan baik-baik beberapa riwayat di bawah ini:
a. Seseorang bertanya kepada Imam Shadiq as perihal seseorang yang beriman pada imamah para Imam dan menantikan munculnya pemerintahan hak, sedangkan ia akan meninggal. Imam Shadiq as dalam menjawab pertanyaan ini berkata, ”Ia ibarat orang yang menyertai pemimpin revolusi dalam kemah, dan setelah itu jeda beberapa waktu.” Beliau melanjutkan, ”lbarat orang yang bertempur di sisi Rasulullah saw.” Kandungan riwayat seperti ini banyak jumlahnya dengan redaksi yang berbeda-beda.
b. Sebagian hadis lain menyatakan, “lbarat pejuang yang mengayunkan pedang di jalan Allah.”
c. Di dalam riwayat yang lain disebutkan,”Seperti orang yang beserta Rasulullah saw. dengan pedang yang menebas kepala musuh?
d. Dalam riwayat yang lain, ”Ibarat orang yang berada di bawah panji aI-Qa’im.”
e. Dalam riwayat lain, ”Ibarat orang yang berjihad di hadapan Rasulullah saw.”
f. Dalam riwayat lain, ”sebagaimana orang yang syahid bersama Rasulullah saw.”
Tujuh perumpamaan di atas penantian kemunculan Imam Mahdi as terdapat dalam enam riwayat di atas. Semua itu dapat menjadi penjelas satu realita. Yaitu, adanya sebuah bentuk hubungan antara masalah penantian dari satu sisi, dan jihad melawan musuh di sisi yang lain.
Hadis yang beragam juga menegaskan bahwa penantian akan pemerintahan seperti ini dinyatakan sebagai ibadah yang paling tinggi:
Muatan riwayat ini berasal dari Nabi saw dan Amirul Mukminin as. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda; ”Sebaik-baik amal umatku adalah menantikan faraj (keluasan dan kebebasan) yang berasal dari sisi Tuhan”.
Dalam hadis yang lain, Nabi saw bersabda, ”Sebaik-baik ibadah adalah menantikan faraj (keluasan dan kebebasan)!”
Kita ketahui bahwa hadis ini mengindikasikan penantian faraj dengan makna yang luas atau dengan pengertian khusus, yaitu penantian kemunculan pembaharu agung semesta. Dengan demikian, signifikasi penantian dalam pembahasan kita kali ini akan semakin terang.
Dengan menyimak segenap redaksi riwayat ini, indikasinya adalah penantian revolusi sebesar itu senantiasa disertai dengan satu jihad yang menyeluruh dan ekstensif, sehingga kita dapat bertolak menuju pengertian penantian, lalu dari semua itu kita mengambil sebuah konklusi.
Pengertian Penantian
Galibnya, lntizhar (penantian) adalah kondisi seseorang yang berada dalam kesedihan dan ia berusaha untuk menciptakan keadaan yang lebih baik. Sebagai contoh, orang sakit yang menantikan datangnya kesembuhan atau orang tua yang menantikan anaknya kembali dari perjalanan. Dalam keadaan sakit dan berpisah dengan anak, seseorang merasa sedih, dan ia berupaya untuk mendapatkan keadaan yang lebih baik.
Sebagaimana juga seorang peniaga yang susah akibat gejolak pasar dan menantikan redanya krisis ekonomi. Peniaga ini menghadapi dua kondisi; “pasrah dengan kondisi yang ada” dan “upaya untuk menciptakan kondisi yang lebih baik”.
Oleh karena itu, masalah penantian pemerintahan hak dan adil (Mahdi) dan bangkitnya pembaharu dunia sebenarnya terdiri dari dua unsur: unsur negasi (nafy) dan unsur ahrmasi (itsbat). Unsur negasi adalah menolak pasrah dengan kondisi yang ada dan unsur afirmasinya adalah kehendak kepada keadaan yang lebih baik.
Apabila kedua unsur ini tidak mengakar dalam roh manusia, keduanya akan menjadi dua cabang amal yang ekstensif. Kedua cabang amal ini akan menolak seluruh koordinasi dan kerjasama dengan faktor-faktor tiran, korup, dan bahkan, berusaha untuk memerangi mereka, dari satu sisi. Dari sisi lain, ia akan membangun diri dan berswadaya, mempersiapkan diri dari sisi jiwa dan raga, materi dan maknawi.
Hendaknya kita perhatikan baik-baik bahwa kita melihat kedua unsur yang telah disebutkan di atas bersifat konstruktif dan merupakan faktor penggerak, inspiratif dan pembangkit.
Dengan memerhatikan pengertian dasar intizhar (penantian), makna pelbagai riwayat tentang ganjaran dan hasil kerja para penanti yang telah kami nukil di atas akan dapat dipahami dengan baik. Kini kita memahami bahwa mengapa para penanti sejati terkadang ibarat orang-orang yang terhitung berada dalam kemah Imam Mahdi as, di bawah panji beliau, seperti seseorang yang mengayunkan pedang di jalan Allah, atau bersimbah dengan darah dalam meraih syahadah.
Apakah semua ini bukan merupakan indikasi atas adanya tingkatan dan derajat perjuangan yang berbeda di jalan hak dan keadilan yang sesuai dengan derajat persiapan setiap orang?
Maksudnya, sebagaimana tolok ukur loyalitas para mujahid di jalan Allah dan peran mereka bebeda satu dengan yang lainnya, begitu pula penantian, persiapan, dan konstruksi diri juga memiliki derajat yang berbeda. Masing-masing dari sudut pandang “mukaddimah” dan “hasil” memiliki kesamaan. Masing-masing adalah perjuangan dan masing-masing menuntut persiapan dan konstruksi diri. Seseorang yang berada dalam tenda pemimpin pemerintahan seperti itu berarti ia berada pada sentral komando sebuah pemerintahan universal. Tidak ada tempat bagi seseorang yang lalai dan alpa. Tempat itu tidak diperuntukan bagi setiap orang. Tempat itu adalah tempat bagi orang yang layak dan patut sesuai dengan keadaan dan signifikansi yang dimilikinya.
Demikian juga seseorang yang memiliki kebaikan di hadapan pemimpin revolusi ini, berperang dengan para penentang pemerintahan keadilan dan kebaikan, memiliki persiapan rohani. pikiran, dan kesiagaan tempur.
Untuk keterangan lebih lanjut jauh tentang efek dan realitasrealitas penantian kemunculan Imam Mahdi as, silakan simak pembahasan berikutnya.
Pembahasan sebelumnya Apakah Alquran Membenarkan Kandungan Taurat dan Injil?
Dikutip dari buku 110 Persoalan Keimanan yang Menyehatkan Akal, Ayatullah Makarim Syirazi