Berita
Falasi-Falasi Fatwa Sesat
Pencampuradukan konsep-konsep adalah buah dari pemahaman sempit dan ketakterikatan kepada logika sebagai tutorial dan panduan baku penggunaan akal alias berpikir.
Salah satu falasi umum adalah pencampuradukan pemahaman tentang negara (yang didirikan di atas asas yang melampaui batas keyakinan-keyakinan demi mencakup semua penduduk dengan ragam keyakinannya) dengan pemahaman tentang agama. Dengan kata lain, pencampuradukan otoritas Negara dengan otoritas agamawan yang sering diganti secara ngawur dengan “otoritas agama” menciptakan petaka intelektual yang bisa melemahkan wibawa azas negara.
Falasi ini mencerminkan ketakpahaman tentang negara juga agama. Pengelola negara, karena khawatir dianggap sekular, menjadikan pandangan agama sebagai bagian dari keputusan negara. Agamawan, karena menganggap pengelolaan negara sebagai bagian dari tugas agamawan, menjadikan pandangan keagamaannya (fatwa) sebagai keputusan yang melampaui hukum dan konstitusi negara.
Akibatnya, negara yang dikelola oleh orang-orang (awam tentang agama yang tak ingin diberi stigma tidak relijius) terkesan mengutamakan pandangan keagamaan sebagian agamawan atas asas dan konstitusi negara yang (mestinya) tidak hanya mencerminkan salah satu agama yang dianut warga. Maka muncullah dua istilah fatwa, yaitu fatwa yang diterbitkan oleh agamawan melalui lembaga atau organisasi di luar struktur formal negara yang terlanjur dianggap sakral dan fatwa yang ditetapkan oleh negara melalui salah satu lembaga negara, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Warga yang seagama pun menjadi bingung karena dihadapkan pada dua pilihan kepatuhan, kepada negara (konstitusional) dan kepatuhan kepada agama (teologikal) yang konon direpresentasi oleh sejumlah orang yang mengaku agama atawa ulama.
Mestinya setiap warga sembari menikmati agamanya masing-masing dalam ruang personal dan komunalnya bersama-sama menjunjung tinggi asas negara dan mengamalkannya dalam ruang nasional sebagai bangsa.
Dalam konstitusi dan UUD, fatwa adalah produk hukum yurisprudensi yang menjadi wewenang lembaga yudikatif, yaitu Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga peradilan di bawahnya, sebagaimana disebutkan dalam undang-undang no 4 tahun 2004 atau yang lebih purba lagi dalam Staatsblad 1847 no 23, pasal 22 AB. Dengan demikian, produk hukum apapun yang tidak dikeluarkan oleh lembaga yudikatif tidak memiliki asas, bahkan bisa dianggap sebagai inkonstitusional.
Salah satu kerancuan umum yang cukup mengakar dan menumpulkan nalar kritis adalah pencampuradukan pengertian agama dengan pengertian agamawan.
Kerancuan ini menjadi lebih dramatis lagi bila ditambah dengan kerancuan-kerancuan berikutnya, yaitu pencampuradukan pengertian agama sebagai ajaran-ajaran umum yang diyakini semua penganut sebagai asas keberagamaan dan benang merah yang merajut setiap pemeluknya dengan keyakinan-keyakinan turunan yang diperselisihkan oleh masing-masing individu penganut.
Banyak penganut awam mengira agama yang ditanamkan dalam benaknya sejak usia dini itu tak memuat ajaran-ajaran yang diperselisihkan dan tetap merawat imagi tentang agama yang satu dalam pikirannya berupa keyakinan dan ajaran tentang hukum dan praktik ritual.
Saat menemukan praktik ritual yang berlainan dan keyakinan-keyakinan yang tak sama dengan keyakinannya, sebagian besar bersikap konservatif menolaknya bahkan menganggpnya sebagai sesat, kafir dan bukan bagian dari agama yang dianutnya, sedangkan sebagian kecil menerimanya seraya tetap menganggap semu perbedaan itu bermuara kepada kesamaan prinsipal.
Nah, sebagian agamawan menganggap pandangan dan praktik ritual lain sebagai fenomena yang bisa merambati dan melemahkan keyakinan masyarakat awam yang terlanjur berfantasi tentang agama yang dianutnya sebagai ajaran yang disepakati dari A hingga Z yang pada gilirannya akan mengurangi area perannya sebagai rujukan mereka.
Para agamawan intoleran inilah yang gigih mengamankan posisinya di tengah awam dengan menerbitkan fatwa sesat, menyimpang dan semacamnya terhadap keyakinan yang berbeda dengan keyakinannya.
Fatwa adalah sebuah “kata sakti” yang cenderung dipahami secara salah dan ngawur oleh awam. Akibat “fatwa sesat” tak sedikit yang kehilangan hak untuk menghirup oksigen, anak menjadi yatim, wanita menjadi janda, dan ratusan bahkan ribuan warga tak bersalah menjadi korban aksi kekerasan yang dianggap sebagai pengamalan fatwa tersebut.
Meski pemberi fatwa sesat berkelit dan mengelak dianggap sebagai sumber intioleransi, fatwa sesat sulit untuk tidak dianggap semacam izin dan sertifkat halal untuk melakukan aneka pembunuhan, penjarahan, pengusiran, teror, dan yang lebih parah lagi, dasar keputusan pengadilan dan vonis.
Salah satu kerancuan umum yang mengakar di tengah masyarakat adalah pencampuradukan makna agama sebagai ajaran-ajaran definitif berupa teks tegas (nash sharih) yang mengandung makna tegas pula dengan ajaran-ajaran spekulatif yang disimpulkan oleh para ahli fikih, ahli tafsir dan lainnya berupa produk ijtihad yang lazim disebut fatwa.
Kerancuan ini makin tak terkendali mana kala sejumlah kerancuan lain turut menyempurnajannya. Salah satunya adalah anggapan umum bahwa fatwa meliputi persoalan hukum (fikih) seperti fatwa halal dan haram serta persoalan keyaknan seperti fatwa sesat.
Akibatnya, sekadar pernyataan politik yang bersumber dari hoax atau ujaran kebencian yang dilontarkan oleh satu atau beberapa orang yang mengaku ulama sangat mungkin diperlakukan sebagai hukum definitif yang harus dipatuhi. Selanjutnya kita akan sibuk menghitung jumlah korban penyerangan, persekusi bahkan konflik horisontal.
Dalam Lisan al-Arab, Ibnu Mandzur menyatakan bahwa kata “futya” atau ”futwaay” adalah dua isim (kata benda) yang digunakan dengan makna al ifta’ (fatwa dalam bahasa Indonesia). Kedua isim tersebut berasal dari kata “wa fata”. Karena itu, dinyatakan aftaitu fulaanan ru’yan ra`aha idza ’abartuhaa lahu (aku memfatwakan kepada si fulan sebuah pendapat yang dia baru mengetahui pendapat itu jika aku telah menjelaskannya kepada dirinya). Wa aftaituhu fi mas`alatihi idza ajabtuhu ’anhaa (aku berfatwa mengenai masalahnya jika aku telah menjelaskan jawaban atas masalah itu). [Ibid, juz 15, hal. 145]. Sedangkan penulis Aun al Ma’bud menyatakan bahwa makna dari kata “al futya” adalah apa – apa yang difatwakan oleh seorang faqih atau mufti.
Dalam Mafahim Islamiyyah diterangkan sebagai berikut, ”Secara literal, kata ”al-fatwa” bermakna ”jawaban atas persoalan-persoalan syariat atau perundang-perundangan yang sulit. Bentuk jamaknya adalah fatawi dan fatawa. Jika dinyatakan afta fi al-mas`alah maka artinya adalah menerangkan hukum dalam permasalahan. Sedangkan al-ifta` adalah penjelasan hukum-hukum dalam persoalan-persoalan syariat, undang-undang, dan semua hal yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan orang yang bertanya (ibaanat al-ahkaam fi al-mas`alah al-syar’iyyah, au qanuuniyyah, au ghairihaa mimmaa yata’allaqu bisu`aal al-saail). Al-Mufti adalah orang yang menyampaikan penjelasan hukum atau menyampaikan fatwa di tengah-tengah masyarakat. Ia adalah sebutan bagi seorang faqih yang diangkat oleh negara untuk menjawab persoalan-persoalan. Sedangkan menurut pengertian syariat, tidak ada perselisihan pendapat mengenai makna syariat dari kata al-fatwa dan al-iftaa’ berdasarkan makna bahasanya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, fatwa adalah penjelasan hukum syariat atas berbagai macam persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Hukum syariat ditujukan kepada perbuatan atau aksi fisikal. Dengan kata lain, fatwa adalah opini yang secara khusus hanya menetapkan hukum yurisprudensi (fikih) seperti halal, haram, wajib, mubah, makruh, mandub, serta sah batal sebuah perbuatan, bukan persoalan keyakinan yang abstrak seperti sesat dan menyimpang.
Karena itu menjadikan pendapat spekulatif sebagai pedoman pembuatan sebuah pasal dalam undang-undang negara bisa dianggap sebagai distorsi dalam proses legislasi.
Karena itu pula penetapan vonis dengan pasal penodaan agama terhadap sebuah pendapat dan keyakinan, kecuali berupa perbuatan yang didasarkan pada indikasi kebencian seperti membakar kitab suci, tidak sepatutnya didasarkan pada fatwa, yang secara jelas bersifat interpretatif dan subjektif.
Salah satu kerancuan umum adalah mencampuradukkan kompetensi dengan popularitas. Pandangan irrasional ini bersumber dari kerancuan tentang kriteria ulama.
Akibatnya, ulama dipahami sebagai orang yang mengaku ulama dan yang diakui oleh umat sebagai ulama. Dengan kata lain, keulamaan seseorang dalam masyarakat ditentukan oleh banyaknya pengikut, supporter yang berpawai, jumlah viewer, bukan kemampuan. Ini mirip dengan penetapan seseorang dokter berdasarkan rembukan segelintir orang, bukan kompetensi melalui bukti kelulusan dan sebagainya. Akibatnya, kekacauan pun tak terhindarkan.
Kerancuan ini menyebabkan banyak orang awam menyerahkan penentuan halal dan haram, sah dan batal, suci dan najis, mubah dan wajib kepada yang dianggapnya ulama, padahal itu tanggung jawab pribadi mukallaf.
Memang banyak ayat dan riwayat yang mengagungkan posisi ulama. Namun karena tak ada kriteria keulamaan yang jelas dan tegas, maka sebagian besar yang dikenal ulama terduga sebagai agamawan palsu yang berkepentingan mempertahankan pola irrasional pengulamaan demi mengamankan hak istimewa dengan segala keuntungan material dan sosialnya di baliknya.
Fatwa sesat menjadi senjata andalan dan modal gratis dan para agamawan berwatak feodal demi mengikat umat dalam kendalinya dan mencerabut independensi setiap individu di dalamnya sekaligus menjadikanmya sebagai alat peluncur menuju tahta kekuasaan formal.