Berita
Faktor Syiah dalam Masuk dan Tersebarnya Islam di Asia Tenggara (6)
Faktor Syiah dalam Teori Persia
Pengaruh dan peran orang-orang Persia dalam memperkenalkan dan menyebarkan Islam di Asia Tenggara dan negeri-negeri Islam lainnya, tidak hanya berasal dari jalur Islam Syiah saja. Berbeda dengan perkiraan sebagian orang yang selalu meyakini Syiah dan Iran, Arab dan Sunni sebagai sinonim, sumber asli munculnya Syiah di kalangan Arab dan orang-orang Persia berbeda dengan peran mereka dalammendirikan madzhab-madzhab Ahl as-Sunnah, [Disamping Abu Hanifah berasal dari Persia dan Imam Hanbal, keturunan Arab Persia] hanya berperan dalam penyebaran dan perkembangan Syiah. Orang-orang Persia sebelum munculnya Safawiyah mayoritas bermazhab Sunni, sementara wilayah pengaruh Syiah di Iran sebelum itu hanya terbatas pada sebagian wilayah seperti Qum, Sabzawar, Kasyan, dan Mazandaran.
pembahasan sebelumnya Faktor Syiah dalam Masuk dan Tersebarnya Islam di Asia Tenggara (5)
Pada masa pemerintahan Dinasti Tahiriyah, Saffariyah, Samaniyah, Ghaznawiyah, Saljukiyah, bahkan Khawarizm Syah, dengan tidak melihat kepada situasi politik dan golongan, secara umum bersikeras kepada madzhab Ahl as-Sunnah. Pada masa pemerintahan Ali Buwaih yang berkuasa dalam jarak lebih dari 100 tahun, orientasi Syiah berkembang di Iran dan Irak. Jatuhnya Baghdad ke tangan orang-orang Mughal pada tahun 657 Hijriyah menandakan berakhirnya khilafah Baghdad. Setelah itu, Syiah pada abad ke-7, 8, dan 9 berkembang di Iran dan menjadi madzhab resmi pada masa Safawiyah. [Lihat Rasul Ja’fariyan, Biografi Historis dan Tokoh Syiah; Allamah Thabataba’i, Inilah Islam; Bidel Nasiri, Syiah dalam Perjalanan Sejarah]
Rasionalitas dan keadilan yang terdapat dalam madzhab Syiah, juga perilaku keras orang-orang Arab terhadap orang-orang Iran dalam mencintai Ahl al-Bayt Nabi Muhammad dapat dianggap sebagai alasan perhatian dan kecenderungan orang-orang Iran. Hamdullah Mustaufi yang hidup sekitar satu abad sebelum masa Safawiyah di Iran dalam buku “Nuzhatul Qulub” menulis tentang keyakinan madzhab yang berkembang di Iran pada masanya: Di Isfahan semua bermadzhab Syafi’i. Kota Rey pada mulanya menganut Ahl as-Sunnah yang menurun setelah kemenangan Dinasti Abbasiyah dan pada abad ke-5 madzhab Syiah berkembang di wilayah itu.
Tehran pada awalnya mengenal Syiah Zaidi, penduduk Qazwin pada abad ke-7 bermadzhab Syafi ’i dan sebagian lain Hanafi . Deilaman dan Mazandaran hingga munculnya Hasan bin Zaid pengikut Alawi dan pada abad ke-8 bergabung kepada Syiah Zaidiyah dan Ismailiyah. Qum dan Kasyan menjadi pusat Syiah pertama dan tertua di Iran. [Nuzhatul Qulub, hlm. 67, 71 dan 77]
Hal yang layak diperhatikan bahwa madzhab Syafi’i, Syiah dan tasawwuf merupakan tiga arus pemikiran dan keagamaan yang marak di Iran selama abad ke-2 hingga ke-8 Hijriyah. Signifikansi cara kerja tiga arus ini dapat membantu menemukan jawaban terhadap sebagian pertanyaan historis tentang kontribusi dan peran orang-orang Persia dalam memperkenalkan Islam kepada masyarakat lain, di antaranya timur Asia dengan cara menemukan kemiripan dan kesamaan madzhab dan kultural yang ada di Iran dan beberapa wilayah yang menjadi tempat datang dan perginya orang-orang Persia.
Sebagaimana yang telah disinggung bahwa tasawwuf merupakan salah satu faktor tersebarnya Syiah di dunia, terutama di Iran. Dalam kebangkitan Syah Ismail Safawi dan kemenangannya, juga tersebarnya Syiah di Iran, tasawwuf memainkan peran yang sangat penting. Kaum Sufi sebelum Abu Hamid al-Ghazali (abad ke-6 Hijriyah) belum memiliki klasifi kasi tertentu, tetapi mereka berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil di sisi seorang guru, mursyid (pembimbing).
Dengan munculnya Abdul Qadir al-Jailani (550 Hijriyah), seorang orator bermadzhab Hanbali di Baghdad, murid-muridnya mampu mendirikan kelompok Sufi besar bernama Qadiriyah. Hal yang penting bahwa tasawwuf dapat dijadikan sebagai jembatan penghubung Syiah dan Sunni karena mayoritas kelompok Sufi Ahl as-Sunnah menyambungkan silsilah mereka kepada salah satu imam Syiah, terutama Ali,dan terdapat kesamaan banyak doktrin keagamaan antara Syiah dan Sufisme.
Orang-orang Persia memiliki kontribusi dan peran penting dalam penyebaran Islam di dunia yang dapat disebutkan antara lain dalam perdagangan antar bangsa pada berbagai era sejarah masa lalu,membangun peradaban Islam dan berbagai ilmu pengetahuan, mediasi dalam memperkenalkan Islam ke negeri-negeri tetangga, juga kekuatan pengaruh politik dan kulturalnya di dunia Islam. Berdasarkan riwayat historis, kehadiran orang-orang Persia di wilayah Asia Tenggara kembali kepada masa kekaisaran Achaemenian, yaitu masa kerajaan Darius I yang menaklukkan bagian penting India Barat dan perbatasan Cina. Dalam berbagai masa sejarah pra dan pasca Islam, orang-orang Persia dalam perjalanan perdagangan ke Cina yang dapat ditempuh dari dua jalur darat dan laut, memiliki hubungan dengan beberapa penduduk yang berada dalam perjalanan rombongan perdagangan.
Setelah munculnya Islam, transaksi perdagangan antara orang-orang Persia, dan penduduk kawasan ini berkembang dan menyebabkan perkembangan Islam di kalangan penduduk setempat. Banyak bukti historis yang mengindikasikan kehadiran dan pengaruh orang-orang Persia di wilayah Asia Tenggara. Meskipun referensi utama sejarah terkait kehadiran orang-orang Persia di Timur dan Tenggara Asia kembali pada abad ke-16 Masehi dan selanjutnya, tetapi dalam laporan dan catatan perjalanan Marcopolo dan Ibnu Batutah secara jelas menunjukkan kehadiran orang-orang Persia di kerajaan-kerajaan raja-raja Cina dan Indonesia. Ibnu Batutah yang melancong ke pulau Sumatera pada tahun 1345-1346 Masehi menyebutkan nama sekelompok orang Persia yang tinggal di pulau ini. Pelancong Maroko ini menyebutkan bahwa Behruz, wakil kepala bandar yang merupakan orang Persia, memberitahukan berita kedatanganku kepada raja melalui sebuah surat. Raja kemudian memerintahkan untuk menyambut saya dengan mengutus Qadhi Syarifuddin Amir Sayyid Syirazi, Tajuddin Isfahani, dan sebagian ulama lain.
Umar Amin Husein, seorang peneliti Indonesia terkait peran dan pengaruh orang-orang Persia di Indonesia meyakini bahwa terdapat sebuah kaum bernama Leran yang tinggal di sebuah wilayah terletak di Giri. Ia berkeyakinan bahwa kaum ini berasal dari suku Lor Iran.50 Arfa, sejarawan Indonesia sambil menyebutkan sebagian kelompok asli Persia seperti Shabankareh, Ashraf, Dhiyauddin ar-Rumi, dan Lamburi yang hidup di timur laut Sumatera. Pada abad ke-10 dan ke- 11 Masehi meyakini bahwa disamping suku Lor dan Kord yang berasal dari Persia dan tinggal di wilayah Jawa Timur dan Pasai Sumatera, juga terdapat satu suku yang pada masa pemerintahan Syiah Ali Buwaihi , yaitu sekitar tahun 351 Hijriyah dan 969 Masehi berhijrah ke Indonesia dan tinggal di wilayah-wilayah sentral Sumatera serta mendirikan sebuah perkampungan Siak yang untuk selanjutnya dikenal dengan Siak Sri.
Salah satu peninggalan sejarah tertua yang disebut sebagai dokumen historis latar belakang Islam di Indonesia adalah batu nisan yang berhubungan dengan Fatimah bin Maimun dan juga salah satu dari Wali Songo di Jawa yaitu Malik Ibrahim (Wafat 822 Hijriyah). Agus Sunyoto, penulis Atlas Wali Songo, berbicara panjang lebar tentang hubungan Fatimah binti Maimun dengan suku Lor Persia dan juga asal-usul Malik Ibrahim dari Persia.[Sunyoto, Bandung: Mizan, 2012] Demikian juga dengan makam Husein Kharul Amir Ali Istarabadi (Wafat 733 Hijriyah), Sayyid Imaduddin Husein Farsi (Wafat 824 Hijriyah), Hisamuddin Amin (Wafat 823 Hijriyah) di Sumatera merupakan dokumen lain sejarah latar belakang kehadiran orang-orang Persia di Nusantara Melayu.
Terdapat banyak bukti tentang partisipasi historis orang-orang Persia dalam pembentukan kultur dan peradaban Islam di Asia Tenggara. Bukti-bukti ini setelah berabad-abad hingga saat ini pun masih tersisa. Masuknya rombongan-rombongan pedagang Persia ( via jalur laut) ke wilayah ini yang mulai berkembang pada abad ke-7 Masehi ini mampu membuka peluang memperkenalkan pemikiran dan ide-ide
para pedagang dan muballigh Persia yang terbentuk dalam dua orientasi madzhab Syafi i dan Syiah serta orientasi-orientasi ke-Sufi an.
Oleh karena itu, topik pembahasan ini adalah kontribusi dan peran faktor Syiah dalam masuk dan tersebarnya Islam di Asia Tenggara, pada bagian ini kita hanya akan menyinggung peran orang-orang Persia dalam memperkenalkan doktrin-doktrin Syiah di wilayah ini. Terkait Maulana Malik Ibrahim yang merupakan orang pertama dari Wali Songo di Jawa dan peran penting yang dimainkan olehnya dan putera-puteranya dalam masuk dan tersebarnya Islam di Jawa, terdapat berbagai interpretasi. Sebagian menyebutnya sebagai Maulana Maghribi, Maulana Malik Ibrahim Samarkandi dan Malik Ibrahim Kasyani. Yang jelas bahwa asal usul beliau dari sayyid Hadhramaut dan keturunan Ahmad Muhajir yang berhijrah ke Iran. Pastinya bahwa kita meyakininya -baik beliau tinggal di Kasyan yang merupakan wilayah pemukiman Syiah di daerah Iran tengah atau tinggal di Samarkand yang juga berhubungan dengan Iran dan pusat kultural dan keilmuan Khurasan- sebagai seorang Iran keturunan Arab yang kemungkinan masuk Indonesia melalui jalur India.
Bila kita anggap bahwa ia bukan bermadzhab Syiah, tetapi pastinya bahwa ia sangat terpengaruh oleh Syiah karena orientasi-orientasi ‘Irfani, keterkaitan ras dan keluarga kepada para imam Syiah serta juga ajaran-ajaran yang hingga hari ini tersisa dari Wali Songo dalam bentuk sebagian tradisi keagamaan dan kultural. Terdapat argumen yang jelas atas peran orang-orang Persia dalam memperkenalkan dan menyebarkan ajaran-ajaran Syiah, ritual dan tradisi kultural yang terpengaruh dari Iran di Nusantara Melayu.
Meskipun masih harus dibahas lebih banyak lagi kepastian apakah ritual-ritual dan tradisi-tradisi kultural dan berbau Syiah tersebut diperkenalkan secara langsung oleh orang-orang Persia yang berada di istana raja-raja wilayah tersebut atau sebagai komunitas imigran yang menetap di sana ataukah sebagaimana yang telah disinggung melalui perantara kaum Muslim India yang masuk ke wilayah ini. Tentunya
anggapan pertama bahwa peran mediasi India, akar utama tradisi ini adalah Persia dan anggapan kedua bahwa terdapat bukti-bukti pasti yang mendasarkan pada kehadiran orang-orang Persia secara langsung di wilayah ini. Oleh karena itu, saat ini dapat disebutkan banyak indikasi atas partisipasi dan kontribusi historis orang-orang Persia dalam terbentuknya dunia kultural dan Islami penduduk wilayah Asia Tenggara.
Pada masa raja-raja Islam pulau Jawa dan Sumatera terdapat pembahasan tentang sebagian akidah ideologis dan mistik Syiah Persia yang terlontar dengan tema Nur Muhammad dan Wahdat al-Wujud. Akidah kaum Sufi Melayu seperti Hamzah Fanshuri, Siti Jenar penuh dengan pemikiran-pemikiran mistik yang bersumber dari Persia dan Syiah. Naqib Alatas menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri dengan berhijrah ke kota Ayutthaya, ibu kota Siam yang pada abad ke-16 Masehi, menjadi pusat berkumpulnya orang-orang Persia, mempelajari doktrin-doktrin mistiknya dari orang-orang Persia yang menetap di kota itu dan mengenal Bahasa Persia. [Imtiyaz 2004]
Berdasarkan sebagian referensi historis, Raja Malaka Sultan Alauddin Riayat Syah terpengaruh akidah Syiah dan Persia. Tradisi-tradisi dan ritual-ritual yang hari ini masih dilaksanakan di berbagai negara Asia Tenggara, di antaranya Indonesia, Thailand, Myanmar, dan Filipina terkait sepuluh hari pertama bulan Muharram dan hari Asyura (hari ke-10), dipengaruhi oleh tradisi-tradisi keagamaan Syiah Persia- India yang bertujuan menghormati Imam Husein as dan para sahabat beliau yang gugur di Karbala sebagai syuhada’ pada tahun 61 Hijriyah. [Untuk telaah lebih banyak silahkan merujuk: Mohammad Ali Rabbani, Sunnat-ha-ye Moharram dar Asia-ye Janub-e Syarqi (Tradisi-tradisi Muharram di Asia Tenggara), Kayhan-e Farhanggi, tahun ke-24, Februari 2008]
Hal yang menarik untuk diperhatikan bahwa bukti-bukti paling pasti yang ada terkait peran dan kontribusi faktor Persia dalam masuk dan tersebarnya Islam di Asia Tenggara dapat ditemukan di Thailand dan Myanmar. Kata Pasan dengan arti Persia yang berada dalam sebuah prasasti batu terkait abad ke-7 Masehi di Siam mengindikasikan sejarah perdagangan orang-orang Persia dengan Siam. Salah satu dari
orang Persia paling terkenal yang masuk wilayah Asia Tenggara dan anak cucunya hingga hari ini masih ada adalah Syaikh Ahmad Qumidan saudaranya, Muhammad sebagai pedagang Persia. Ia masuk Ayutthaya, ibu kota Siam pada akhir-akhir abad ke-16 Masehi. Ia bersama komunitas Persia dan kerabatnya mampu menduduki pos-pos
penting pemerintahan, seperti kepala beacukai, menteri ekonomi dan perdagangan, menteri luar negeri dan wakil sultan. Ia juga membentuk perkumpulan orang-orang Persia terbesar di Siam dan dengan putera- puteranya memikul peran yang sangat penting dalam kerajaan Siam selama bertahun-tahun. Hal pentingnya bahwa Syaikh Ahmad Qumi dan orang-orang Persia yang lainnya, seperti Muhammad Istarabadi, Abdurrazaq Gilani yang pernah duduk di kementerian terkait masa Dinasti Safawiyah, yaitu masa maraknya Syiah di Iran. Syaikh Ahmad Qumi ketika itu berhasil mendirikan lembaga Syaikhul Islami dan ia sendiri memikul tanggung jawab sebagai Syaikhul Islam pertama.
Dari total 18 Syaikh al-Islam yang menduduki posisi ini di Thailand sejak abad ke-16 hingga sekarang, 14 di antaranya dijabat oleh keluarga Syaikh Ahmad Qumi dan orang-orang Persia bermadzhab Syiah. Buku Safi ne-ye Solaemani tulisan Mohammad Rabi’ bin Mohammad Ibrahim, sekretaris delegasi diplomatik berkebangsaan Persia yang berangkat dari istana Syah Sulaiman Safawi menuju istana Narai Yang Agung, raja Siam yang mencapai kekuasaan berkat peran orang-orang Persia, membahas secara rinci peran, dan kedudukan tinggi orang-orang Persia di istana Siam dan negeri-negeri sekitarnya, termasuk Indonesia dan Myanmar. [Mohammad Rabi’ bin Muhammad Ibrahim, Safi ne-ye Solaemani (Bahtera Sulaiman), Universitas Tehran, dengan usaha Abbas Faruqi, 1378.]
Orang-orang Persia selama dua abad ke-16 dan 17 Masehi, yaitu pra-kehadiran orang-orang Barat, memiliki peran dan kontribusi yang sangat penting di istana Siam. Hal yang menarik bahwa meskipun masuk dan tersebarnya Islam di Thailand (Siam) melalui dua pintu masuk yang berbeda dan wilayah-wilayah selatan negeri ini, yaitu Pattani terpengaruh gelombang religius yang berhubungan dengan Nusantara Melayu, tetapi perlu diingat bahwa di samping keberadaan Syaikh Ahmad Qumi dan anak cucunya di ibu kota dan daerah-daerah sentral, salah satu raja wilayah Pattani, yaitu Sultan Sulaiman adalah warga Persia. Topik penting lainnya bahwa anak cucu Syaikh Ahmad Qumi yang dikenal dengan sebutan keluarga Bunak dan Chula, hingga kini tergolong dari keluarga kaya dan terkenal di selatan Thailand dan berperan di kursi-kursi pemerintahan. Masjid-masjid tertua di Bangkok dan selatan Thailand ada kaitannya dengan orang-orang Persia dan sarat dengan ajaran-ajaran Syiah. Penyelenggaraan upacara ritual Muharram yang merupakan salah satu daya tarik wisata negeri ini, dihadiri oleh raja dan pejabat tinggi, bahkan hari ini pun masih menjadi pusat perhatian dan beberapa waktu yang lalu upacara tersebut dibuka oleh raja dan permaisurinya. [Plubplung Kongchana, A History of the Chula Raja Montri Position, Shaikh al-Islam, JCAS Symposhium, 17, 2005]
Di negara Myanmar yang mana Islam secara silih berganti sejak abad ke-15 hingga akhir abad ke-18 Masehi menguasai wilayah Arakan dan bagian lain wilayah ini, berada di bawah pengaruh Budaya Iran dan Persia karena bertetangga dengan anak benua India. Sebelum hegemoni Britania, yaitu pada permulaan abad ke-19, Bahasa Persia menjadi bahasa resmi istana Arakan. Demikian pula orang-orang Persia memiliki posisi kenegaraan di istana para raja wilayah central. Di ibu kota kuno Myanmar, yaitu Mandali terdapat sebuah wilayah yang dikenal berpenghuni orang-orang Iran.
Di Rangoon dan Mandali juga terdapat sebagian keluarga keturunan Persia dengan nama-nama Persia seperti Syirazi, Kasyani, Bahbahani, dan Isfahani. Masjid-masjid tertua di dua kota tersebut berkaitan dengan orang-orang Syiah India-Persia yang terkenal dengan nama Masjid Moghul dan Masjid Panjeh Ali. Pemakaman kuno orang-orang Persia di kota Rangoon penuh dengan peninggalan dan nama-nama Persia. Hingga kini generasi tua orang-orang Persia di dua kota ini dapat dengan mudah berbicara dengan bahasa Persia. Hal yang menarik perhatian adalah perbauran tradisi kultural religius India Persia di kalangan pengikut Syiah Thailan dan Myanmar. Alasan utama perbauran ini adalah mayoritas warga Persia yang melakukan perjalanan ke negeri-negeri ini dengan tujuan berdagang dan kemudian menetap di sana merupakan warga Persia yang sebelumnya telah menetap di India. Perpaduan kultural dan religius Persia- India ini dapat dengan jelas disaksikan dalam ritual- ritual keagamaan Muharram yang marak di kalangan pengikut Syiah Thailand dan Myanmar. [Mohammad Ali Rabbani, Ironiyon-e Bermeh, Gozoresy-e Safar (Warga Iran Myanmar, Laporan Perjalanan), Majalah Chesym Andoz, Musim Panas 1388]
Bersambung….
Dikutip dari artikel Ali Rabbani dalam buku Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara.