Berita
Fakta Sunni Di Negeri Syiah
Sunni dan Syiah merupakan dua mazhab besar Islam di dunia. Baik Sunni (Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali) maupun Syiah (Ja’fari/Itsna ‘Asyariyah, Ismailiyah dan Zaidiyah) diakui sebagai bagian tak terpisahkan dari Islam sehingga meniscayakan terciptanya hubungan harmonis yang dilandasi sikap saling penghormatan satu sama lain antara keduanya. Hal ini pun telah dikuatkan dalam sebuah kesepakatan bersama yang dikenal dengan Risalah Amman. Risalah itu merupakan hasil konferensi persatuan umat Islam di Amman, Yordania tahun 2005 silam yang dihadiri oleh 200-an ulama Muslim dari 50 negara.
Hubungan harmonis antar mazhab tentu akan memberikan dampak positif bagi perkembangan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Dengan menjadi agama penebar cinta kasih, keadilan dan persaudaraan, dimungkinkan Islam bakal menjadi salah satu agama dengan pemeluk terbanyak di dunia. Tak heran, jika usaha memecah-belah umat Islam selalu dilakukan oleh kelompok yang tidak suka dengan perkembangan pesat agama yang satu ini.
Bentuk adu-domba bisa bermacam-macam. Namun yang popular hingga saat ini adalah kampanye negatif tentang Sunni dan Syiah yang selalu dikesankan saling bermusuhan. Sebut saja misalnya pemberitaan tentang pembantaian pihak Syiah terhadap Sunni di Iran, Irak, Suriah, dan sebagainya, yang secara faktual jauh panggang dari api. Atau tuduhan klise bahwa akidah Syiah bertentangan dengan Islam, Syiah punya Al-Quran sendiri, Syiah mengkafirkan sahabat dan istri Nabi dan seterusnya. Bagi kalangan awam, isu yang sangat potensial dikonsumsi tanpa konfirmasi itulah yang kemudian dapat menjadi ancaman bagi persatuan umat Islam.
Bagaimanakah kondisi riil hubungan antar pengikut kedua mazhab besar Islam ini di berbagai negara, terutama di Timur Tengah yang selama ini selalu menjadi bahan acuan pemberitaan media pengadu-domba antar sesama Muslim di Tanah Air?
Untuk itu, tim ABI Press mulai menggali informasi dari beberapa Muslim Sunni yang pernah berhubungan langsung dengan Muslim Syiah di negeri Iran. Mengingat, Iran merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim Syiah.
Salah satunya adalah Muhammad Zuhdi Zaini. Pendiri Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Iran ini termasuk salah seorang Muslim Sunni yang telah sekian lama hidup di negeri mullah itu. Kehadirannya di Iran dapat dimaknai mewakili Muhammadiyah sebagai ormas Islam Sunni terbesar ke dua di Indonesia.
Saat kami konfirmasi, benarkah isu yang selama ini beredar bahwa kalangan Muslim Sunni di Iran diperlakukan dengan cara yang tidak semestinya oleh pemerintah setempat? Jika benar, kenapa bisa ormas Sunni bisa berdiri dengan aman tanpa halangan di sana?
Kepada ABI Press Zuhdi menegaskan bahwa isu penindasan Sunni di Iran hanyalah kabar yang kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. “Bahkan di sana, setiap komunitas memiliki perwakilan di parlemen, termasuk Sunni,” ungkapnya. Berbeda dengan Indonesia, menurut Zuhdi, moralitas dan intelektualitas di Iran sangat tinggi sehingga di sana lebih toleran. “Berbeda dengan Indonesia yang moralitas dan intelektualitasnya rendah sehingga menyebabkan intoleransi di mana-mana,” tambahnya.
Terkait berdirinya PCIM di Iran sejak 2005 lalu, lazimnya perwakilan atau cabang ormas dari negara lain, ia mengakui ada sedikit kendala pada awalnya. Namun, setelah dia kenalkan ormas Muhammadiyah lebih jauh kepada pemerintahan Iran, Muhammadiyah menjadi satu-satunya organisasi Sunni dari Indonesia yang diterima di sana.
Adakah cerita terkait hubungan tidak harmonis antara penganut Sunni-Syiah di sana?
Ditanya soal itu, Zuhdi justru menceritakan pengalaman pribadi yang menurutnya sangat menarik saat menyelesaikan disertasi S3-nya tahun 2004 silam sebelum PCIM berdiri di sana. “Anehnya, ulama yang menjadi dosen pembimbing datang ke rumah saya, bukan saya yang mendatanginya. Dan ketika dia tahu printer saya rusak, besoknya dia pula yang membawakan printer dari rumahnya. Tidak hanya itu, waktu komputer saya rusak pun, besoknya dia bawakan teknisi juga. Itu yang membuat saya heran,” ungkapnya.
Selain Zuhdi, Fulan, salah seorang pelajar Iran asal Indonesia juga menegaskan bahwa selama dia berada di negeri itu, tidak pernah sekalipun dirinya menemukan Muslim Sunni dikucilkan di sana. “Di sini semuanya dianggap sama, tidak ada yang dibeda-bedakan,” tuturnya.
Setidaknya, penuturan dua orang Indonesia yang sudah sekian lama hidup dan bergaul secara langsung dengan masyarakat Syiah di Iran, dapat menjadi data pelengkap dari informasi terkait perkembangan masjid Sunni yang berhasil kami dapat dari buku berjudul “Khidmat Republik Islam Iran terhadap Minoritas Ahlusunnah” terbitan Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta, 2012 lalu.
Buku itu menyebut pengaruh signifikan kemenangan Revolusi Islam Iran terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat di sana, tak terkecuali di bidang agama. Dalam hal ini, khususnya perlindungan terhadap hak-hak minoritas yang mengalami kemajuan pesat sejak awal tumbangnya rezim otoriter Syah Reza Pahlevi yang dibekingi Amerika itu.
Misalnya tentang perkembangan jumlah masjid Sunni di Iran. Dari data yang diambil dari buku terbitan ICC tersebut, tercatat ada 12.222 masjid Sunni di sana. Angka itu jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah masjid Sunni sebelum Revolusi Islam Iran. Salah satu contohnya di Provinsi Kermanshah yang jumlah masjidnya sekarang ada 420, padahal sebelum Revolusi Islam hanya berjumlah 123.
Tidak hanya masjid, jumlah pengikut Ahlusunnah, guru agama dan pelajar Sunni di sana pun mengalami peningkatan. Masih di Provinsi Kermanshah, setelah Revolusi Islam, pengikut Ahlusunnah mengalami peningkatan tiga kali lipat dari yang awalnya 123 jiwa menjadi 420 jiwa. Peningkatan itu pun adalah salah satu bukti tak terbantah bahwa hak-hak Muslim Sunni di negeri berpenduduk mayoritas Syiah ini juga sangat diperhatikan.
Nampaknya, isu permusuhan Sunni-Syiah sedikit demi sedikit mulai terbantah, dan harapan baru terwujudnya persatuan umat Islam mulai menampakkan titik terang.
Hal itu yang setidaknya dirasakan oleh Dr. Suryadinata, Pembantu Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia adalah salah satu akademisi Islam bermazhab Sunni yang ingin menghadiri Haul Imam Khomeini (ulama Syiah) di Iran akhir bulan ini.
Dalam perbincangan dengan ABI Press ia mengaku, kehadirannya ke Iran adalah bentuk penghormatannya sebagai sesama Muslim kepada tokoh besar pemimpin Revolusi Islam itu sekaligus ingin menjawab rasa penasaran atas isu yang selama ini berkembang, yang mengatakan bahwa Sunni selalu ditindas di negeri yang penduduknya mayoritas Syiah itu. Itulah menurutnya salah satu bentuk upaya tabayyun seorang Muslim agar tidak mudah percaya begitu saja dengan kabar yang beredar tanpa konfirmasi, melainkan berupaya optimal mencari tahu sendiri kebenarannya. (Malik/Yudhi)