Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Fakta Sejarah dan Keadilan Sahabat

Dua uraian sumber hukum terpenting agama Islam, telah kita jelajahi dalam membaca kembali sahabat. Sekarang marilah kita journey ke petak-petak sejarah sahabat Nabi setelah beliau wafat. (1)

Kita ambil dari Al-Thabari, Malik bin Nuwairah bin Hamzah Al-Ya’rubi sudah Islam dan saudaranya, Rasul menunjuknya sebagai petugas pengumpul zakat Bani Yarbu’. Setelah Rasul Saw wafat, meluaslah kemurtadan di antara kabilah-kabilah. Abu Bakar, mengutus Khalid bin Walid untuk memadamkan fitnah tersebut, tapi Khalid sangat berlebihan. Khalid membunuh sahabat-sahabat Nabi Saw termasuk Malik bin Nuwairah. Tidak sampai di situ, Khalid kemudian menikahi istri Malik bin Nuwairah tanpa menunggu iddahnya.

Khalifah Abu Bakar dan Umar berbeda keras dalam kasus ini, Umar bersikeras agar Khalid bin Walid dihukum berat. Umar berkata kepada Khalid, “Kamu telah membunuh seorang muslim, lalu engkau memperkosa istrinya! Demi Allah, akan kurajam engkau! (lih. Ibnu Atsir, Al-Kâmil fi Al-Târîkh dan Ibnu Khalikan, Wafayât Al-A’yân) Khalifah Abu Bakar alih-alih menghukum Khalid, malah diberi gelar Saif Allah Al-Maslul (Pedang Allah yang terhunus). Umar, setelah menjabat sebagai khalifah, memecat Khalid dan melantik Abu Ubaidah untuk menggantikan Khalid. (2)

Sa’ad bin Ubadah, Hubab bin Al-Mundzir bin Al-Jamuh Al-Anshari, tidak membaiat Abu Bakar sebagai khalifah. Amirul Mukminin Ali, Al-Abbas, ‘Uthbah bin Abi Lahab (juga anggota Bani Hasyim lainnya), Abu Dzar, Salman Al-Farisi, Al-Miqdad, ‘Ammar bin Yasir, Zubair, Khuzaimah bin Tsabit, ‘Amr bin Waqadah, Ubay bin Ka’ab, Al-Bara’ bin ‘Azib. Semuanya pada mulanya menolak membaiat kepada Abu Bakar. Sejarah mencatat, malah sebagian dari mereka, seperti Sa’d bin Ubadah dan Hubab Al-Mundzir, malah terbunuh secara rahasia.  (3)

Lihat juga pertengkaran Sayyidah Fatimah Al-Zahra, penghulu para wanita seluruh alam, putri belahan jiwa Rasulullah, dengan Khalifah Abu Bakar. Semua mengetahui pertengkaran tersebut. (4)

Sebenarnya masih sangat banyak yang telah tercatat dalam sejarah tentang perilaku sahabat, sebagaimana yang dilaporkan Muslim tentang sahabat pada masa Umar Bin Khattab yang menjual khamr.  (5)

Tidak hanya sebatas itu, sahabat tersebut juga, suka menumpahkan darah orang-orang yang tak berdosa dan para pengumpul Alquran.
‘Aisyah binti Abu Bakar pernah memerintahkan membunuh Utsman bin Affan. Al-Thabari mencatat bahwa Mu’awiyah memerintahkan Mughirah bin Syu’bah untuk mencela dan mencaci Imam Ali bin Abi Thalib. Al-Dzahabi mengutip Ibn Sa’ad bahwa seluruh pemimpin Bani Umayah sebelum Umar bin Abdul Aziz senantiasa melaknat Imam Ali bin Abi Thalib. Ibnu Al-Atsir mencatat bahwa Mu’awiyah dalam qunutnya mencaci Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Al-Hasan, Al-Husein dan Al-Asytar. 169

Sebagaimana yang telah Alquran dan Sunnah telah wajibkan, menghormati sahabat dan memposisikan mereka pada derajat yang tinggi merupakan suatu kelaziman. Tapi selain itu, kedua sumber hukum Islam ini juga memerintahkan kepada kita untuk menilai sesuai dengan kapasitas mereka.

Orang-orang yang dicela Alquran sudah pasti bukan orang adil, orang-orang yang disebut fasiq pasti tidak adil. Orang-orang yang menyepelekan Nabi pasti bukan adil, orang-orang yang dilaknat Nabi Saw pasti tidak adil, orang-orang yang dilaknat oleh Nabi Saw pasti tidak adil. Mereka sebagaimana kaum muslim yang lain, bisa jadi berbuat salah dan benar, di antara mereka ada yang adil sebagaimana ada yang tidak. Menghukumi mereka adil secara keseluruhan adalah sangat berseberangan dengan sikap ilmiah dan bertentangan dengan sejarah, dan secara tidak langsung meragukan kebenaran nas, bahkan syi’ar tersebut terbukti benar-benar bertentangan dengan nas-nas dan hadis Rasulullah Saw yang jelas.

Untuk melarang studi kritis atas sahabat tidaklah tepat berdalil dengan ayat, wa lâ tus-alû ‘ammâ kânû ya’malûn – kalian tidak diminta pertanggungjawaban atas apa yang mereka lakukan – karena konteks ayat tersebut dalam rangka menegasikan bahwa kita yang hidup saat ini menanggung kesalahan orang lain yang hidup di masa lalu. Lebih-lebih, ayat tersebut bukan berbunyi, wa lâ tas-alû ‘ammâ kânû ya’malûn – janganlah kalian bertanya terhadap apa yang mereka lakukan.

(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)

 

Catatan kaki

  1. Mukhtashar Tarikh Dimasyk 8/19, Siyar A’lam Al-Nubala’ 3/235, Tarikh Al-Thabari 2/272, Usud Al-Ghabah 2/95, dan Al-Ishabah 5/755.
  2. Al-Dzahabi, Siyar A’lâm Al-Nubalâ, juz 1, h. 378, cet. 3, Muassasah Al-Risalah, Beirut, Lebanon, 1985 M (1405 H).
  3. Shahîh Al-Bukhari dan Muslim, Tarikh Al-Thabari, Al-’Iqd al-Farid dan Al-Kamil Ibnu Atsir.
  4. Imam Al-Bukhari, Shahîh Al-Bukhârî, h. 756, hadis 3092-3, kitab Al-Khumus, h. 1036, hadis 4240-1, kitab Al-Maghazi, h. 1690, hadis 6725-6, kitab Al-Faraidh. Muslim 2/72, Musnad Ahmad bin Hanbal 1/6, Ibn Qutaibah, Al-Imâmah wa Al-Siyâsah, dan Ibnu Abi Al-Hadid Al-Mu’tazili, Syarh Nahj Al-Balâghah.
  5. ShahîhMuslim, kitab Al-Usyrubah, bab Tahrim Al-Khamr.
Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *