Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Emosi Cinta

Oleh Syaffin Al-Mandari*

“Anak ibu sehat. Tidak stress. Ia hanya meluapkan kecintaan kepada pujaannya” kata psikiater kepada seorang ibu.  Kekhawatiran ibu tersebutlah yang mendorongnya untuk memeriksakan kelainan jiwa anaknya.  Betapa tidak, setiap hari banyak orang yang mengolok anaknya karena kelakuannya aneh menurut kebiasaan umum.  Pasalnya, anak tersebut tiga bulan sebelumnya berhasil memperoleh kostum pesepak bola PSM Ujungpandang, Rahman Usman, usai mengalahkan Bandung Raya dengan skor 4-3. Selain mengagumi teknik menyerangnya, bagi anak itu Rahman adalah pahlawan karena pada laga semi final itu PSM sudah kalah 3-1 pada menit ke 85. Rahman yang baru masuk berhasil mengubah skor lewat gol hattrick dalam 7 menit terakhir termasuk injury time.  Tim kesayangannya melaju ke babak final dengan kemenangan 4-3.

Sejak anak itu berhasil mengambil kostum nomor 10 pemain pujaannya itu, ia tidak mencuci lumpur yang mengotori baju itu.  Bukan hanya itu, ia menciuminya setiap hendak berangkat dan ketika baru pulang seolah.  Itu juga dilakukannya dengan cara yang tak ‘dimakan akal’ yakni berguling-guling sambil meneriakkan nama Rahman.  Konsisten ia lakukan tiap hari.  Usai berguling menciumi noda kostum itu, ia merapikannya lagi dan menempatkan pada laci lemari paling aman agar tak seorang pun menyentuhnya.

Fragmen cerita di atas tak pantas menurut nalar umum.  Ia hanya dapat diterima kalau konteksnya dilihat memakai teropong emosi cinta.

Agama; Antara Nalar dan Emosi Cinta

Muhammad Amin Bakri mengatakan, agama ditemukan dengan nalar, lalu dirawat dengan cinta.  Ia hanya akan diyakini tanpa tersentuh penyakit ragu hanya dengan kekuatan akal.  Namun ketika agama butuh dipelihara dan dirawat, maka nalar akal tak lagi sanggup melakukannya sendirian.  Ia perlu bantuan suatu ekspresi jiwa bernama emosi cinta.

Emosi cinta dapat melampaui nalar lantaran ia mampu mengabaikan banyak batas-batas kebiasaan umum guna mencapai kedalaman hubungan antara pemilik cinta dengan yang dicintainya.  Demikianlah, kedalaman dan keintiman penganut agama dengan ajaran yang dianutnya juga hanya dapat dicapai dengan emosi cinta.

Inilah yang membawa lahirnya tarian sufistik Rumi sebagai ekspresi terdalam dari makna cinta kepada ajaran dan kerinduan pada Sang Tercinta. Bagaiamana mungkin agama yang hendak diakrabi secara bebas oleh masing-masing jiwa individu harus ditakar dengan teks-teks mati dan nalar ilmiah sahaja?  Ia hanya mungkin dimaklumi dan kemudian diabsahkan jika sang jiwa menghidupkan emosi cintanya dalam mendekati inti agamanya.

Demikian juga dengan peristiwa kepahlawanan dan pahlawannya itu sendiri.  Manusiawi dan wajar kalau para penganut agama rindu menggabungkan dirinya dengan berbagai peristiwa kepahlawanan, dan mendekatkan jiwanya dengan pahlawan dalam peristiwa tersebut.  Makin tinggi nilai peristiwa itu makin kuat pula tarikan jiwa untuk bergabung dengannya.

Peristiwa yang menjadi penentu bertahan atau tidaknya sebuah ajaran dalam masyarakat pasti ditempatkan pada posisi paling tinggi dan mulia.  Demikian juga para pembela yang menjadi bagian utuh riwayat kepahlawanan tadi.  Penganut agama yang hendak menggabungkan jiwanya pada peristiwa termulia itu akan memilih berbagai ekspresi untuk meluapkan kecintaan.

Lain halnya dengan agama tanpa ekspresi yang melibatkan kedalaman jiwa.  Ia hanya akan mewariskan kekeringan spiritual dan berusaha menjaga ajarannya dengan formalitas gerakan berdasarkan teks-teks kaku dan nalar linier.  Emosi amarah dan nafsu angkara kadang-kadang dipanggil sebagai centeng untuk berusaha melindungi agamanya.

Emosi Cinta dalam Asyura

Ada yang menangis dan ada yang menepuk, bahkan memukul dada.  Teks-teks tak relevan disandingkan dan nalar biasa tak pantas dipanggil untuk mengukur benar atau baiknya luapan jiwa itu.  Tudingan bid’ah dan mengada-adakan ritual dalam agama, kerap menjadi amunisi untuk meneror pelakunya.  Cibiran irrasional tak jarang hinggap di ubun-ubun mereka.  Itulah yang terjadi pada ekspresi duka dan kerinduan untuk bergabung dengan kualitas diri para shiddiqin, shalihin, dan syuhada dalam drama Karbala 10 Muharram 61 H.

Apa relevansi teks-teks suci dan nalar lurus itu pada ekspresi seorang pencinta?  Ada tapi bukan untuk meniadakan.  Ia hanya untuk memberi rambu-rambu dan batasan-batasan toleransi yang harus dikembalikan kepada akal bijak sang pencinta.  Biasanya, justru para pelaku ekspresif yang membumbungkan cintanya sedemikian bebasnya mendekati obyek yang dicintainyalah yang berhasil meraup kearifan hidup.  Termasuk dalam agama.  Sementara yang membiarkan dirinya beragama secara skripturalis tanpa ekspresi cinta akan mengalami kegersangan.

Tenggelam dalam duka Asyura tak berarti mengabaikan naskah-naskah religius pada kitab-kitab suci. Ia juga tidak berarti mengabaikan sabda-sabda suci Sang Nabi Terakhir, Rasul Penutup Al-Musthafa Muhammad saww.  Bahkan ia tak berusaha menantang akal sehat.  Ia hanya sedikit menyeberang ke altar rindu untuk meluapkan keinginan men-copy sedikit-demi sedikit nikmatnya menjadi pemberani dan pembela keadilan di hadapan penguasa yang tak menyukainya.  Ia mau masuk dalam rombongan orang telah menyerahkan seluruh hidupnya untuk menghentikan orang yang hendak memadamkan cahaya agama.  Majelis ratapan untuk menumbuhkan semangat orang yang pernah menentukan hidup-matinya agama Tuhan.

Ia hanyalah laksana sang anak yang sedang menggabungkan dirinya dengan Rahman Usman, pemain PSM Ujungpandang yang amat berjasa bagi kemenangan timnya.  Mungkin juga dapat disamakan dengan Khalifah Umar bin Khattab ra yang sulit mempercayai wafatnya Sang Nabi Agung Rasulullah Muhammad saww.  Mengikatkan dan merawat jiwa para tokoh agung seperti Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib ra dengan agama yang dibelanya dapat diluapkan dengan emosi cinta. Luapan emosi cinta tak mengenal kata berlebihan. Hanya ia sendirilah yang dapat menemukan batas wajarnya. Wallahu a’lam.

*Penulis adalah pemerhati ritual agama-agama, Pembina Lingkar Studi Gerbang Ilmu Bekasi, dan Pembina Sekolah Peradaban Rasional Depok.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *