Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Dunia Itu Sekolah Manusia

Terkait akhirat, dunia adalah fase persiapan, pelatihan, dan penyempurnaan manusia. Dunia ini ibarat tingkat persiapan di sekolah dan perguruan tinggi bagi para pelajar dan mahasiswa. Pada hakikatnya, dunia merupakan sekolah dan tempat pendidikan.

Dalam Najhul Balghah, di bagian kalimat-kalimat pendek, dikisahkan bahwa seseorang lelaki menemui Imam Ali as. Lelaki itu mulai mencela dunia karena memperdaya manusia, merusak, menipu, dan berbuat jahat kepadanya. Lelaki itu sepertinya telah mendengar sejumlah pemuka agama mencela dunia lalu mengira bahwa yang mereka cela adalah realitas alam ini–menganggap alam ini secara inheren jahat. Lelaki lalai itu tak tahu yang sebenarnya tercela dan jahat adalah cinta dunia, yang pandangannya sempit dan rendah terhadap wujud sehingga bertentangan dengan ketinggian derajat manusia dan kebahagiaannya.

Imam Ali as kemudian menjawab, “Sesungguhnya engkaulah yang tertipu oleh dunia ini, padahal dunia tidak menipumu. Engkaulah yang menganiaya dunia, bukan dunia yang menganiaya dirimu.”

Sampai beliau as berkata, “Dunia akan jujur pada siapa saja yang memperlakukannya dengan jujur; ia sarana kesembuhan bagi yang mengetahui hakikatnya. Dunia itu tempat ibadah para kekasih Allah Swt, mushala para malaikat Allah, dan turunnya wahyu Allah, serta pusat berniaga para Wali Allah.”

Syaikh Fariduddin Attar mengubah bait-bait syair berdasarkan kandungan ucapan Imam Ali as tersebut:

Seseorang datang menemui singa nan adil, ia kecam dunia di hadapannya.
Singa menjawab, “Dunia tidaklah jelek. Engkaulah yang jelek. Karena engkau tidak mau berpikir. Sungguh dunia laksana ladang.
Kita harus bekerja dan menanaminya siang malam.
Karena keterpedayaan dan kejayaan agama sama-sama bisa dicapai di dunia.
Benih hari ini akan berbuah esok hari.
Kalau tak disemai alangkah sesalnya yang akan engkau petik.
Jika tidak bisa mengambil manfaat dari dunia, engkau akan meninggalkannya seakan tanpa pernah melaluinya.
Sungguh engkau akan tersiksa; sulit berbuat, jalan begitu panjang, dan pahala sangat sedikit.

Adanya orang-orang yang memandang kehidupan sebagai kesia-siaan berasal dari sikap mereka yang mengharapkan keabadian tapi memandang hal itu sebagai sesuatu yang tidak mungkin direalisasikan. Kalaulah tidak berharap untuk hidup abadi, niscaya mereka tidak akan memandang kehidupan ini sia-sia, apapun akhirnya, biarpun bakal berujung pada non-eksistensi mutlak. Paling-paling kehidupan akan mereka pandang sebagai kebahagiaan sesaat dan negeri yang terlalu cepat berlalu.

Namun, semua Efek itu tidak akan menyebabkan orang mengutamakan non-eksistensi dan eksistensi ini. Sebab, menurut asumsi ini, satu-satunya cacat eksistensi ini adalah kesementaraannya yang diikuti non-eksistensi. Jadi, seluruh cacat itu muncul dari kesementaraan dan non-eksistensi. Lantas, bagaimana mungkin timbul anggapan bahwa eksistensi sementara dan terbatas ini digantikan non-ekstensi sehingga keadaannya akan menjadi lebih baik?

Di sini hasrat dan harapan untuk hidup abadi itu sendiri harus dibahas sedikit mendalam. Harapan itu merupakan hasil konseptualisasi ihwal keabadian. Yakni, konseptualisasi mengenai kekekalan beserta segala keindahan dan daya tariknya. Daya tarik ini telah melahirkan desakan dalam diri kita untuk hidup abadi dan memperoleh semua karunia kehidupan secara terus-menerus.

Jika serentetan gagasan materialisme menyerbu pikiran kita dan menegaskan bahwa harapan seperti itu tidak ada gunanya sama sekali dan bahwasanya keabadian adalah pemikiran dusta, mungkin kita akan terguncang, tersiksa, dan selalu dihantui kengerian. Dan pada gilirannya, kita akan berteriak, “Duhai sekiranya aku tidak pernah dilahirkan ke dunia ini, niscaya aku tidak akan tersiksa dan tersia-siakan seperti ini.”

Jadi, ide tentang kesia-siaan eksistensi ini diakibatkan oleh kontradiksi antara naluri bawaan dan doktrin-doktrin rancu yang diterima seseorang. Sekiranya naluri ini tidak ada dalam diri kita, niscaya ide tentang ke sia-siaan ekstensi ini tidak pernah mengemuka. Begitu pula sekiranya doktrin-doktrin materialistis yang rancu itu tidak tertanam dalam diri kita, niscaya ide seperti itu tidak akan pernah mengemuka.

Syahid Murthadha Muthahhari, Keadilan Ilahi

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *