Ikuti Kami Di Medsos

Artikel

Sekilas ihwal Sistem Pendidikan di Timur Tengah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pada masa pra Islam, pendidikan itu hampir tak memiliki signifikansi. Kaum nomad hanya mengenal satu sistem: transmisi lisan. Namun, sejak zaman Islam, segalanya berubah. Islam menekankan pada pentingnya pendidikan dan pembelajaran sejak awal. Bahkan, mungkin tidak ada agama yang lebih menekankan pada soal ilmu, pendidikan dan pembelajaran daripada Islam.

Cukuplah ayat pertama yang turun kepada Nabi Muhammad dengan kalimatIqra’ (Bacalah!) sebagai bukti signifikansi dan ketinggian nilai pencarian ilmu dalam Islam. Selain itu, Islam juga dikenal dengan “agama ilmu pengetahuan”, “agama akal” dan “agama buku”.

Secara umum, pendidikan dalam konteks peradaban Islam didefinisikan sebagai upaya memahami, merealisasikan dan mempraktikan wahyu Ilahi serta mengikuti pengajaran dan teladan Sang Nabi. Sayangnya, pendidikan Islam sebagai sistem fungsional untuk memahami dan menyerap prinsip-prinsip pedagogis al-Qur’an dan Sunnah itu belakangan ini kerap dikacaukan dengan subjek studi yang akademis semata-mata. Akibatnya, pelajaran akhlak hanya menjadi bahan kajian tapi tak pernah memberikan efek transformatif yang diharapkan.

Konsep lama tentang adab adalah akhlak yang baik, pengetahuan agama dan dasar-dasarnya dan kecintaan pada syair serta budaya Arab. Dalam studinya mengenai keluarga Mesir, I. Lichtenstadter, pendidikan adab ini sampai sekarang masih hidup di masyarakat Arab seperti di Mesir.

Bidang Ilmu

Secara umum ada dua bidang ilmu yang terus berkembang dalam dunia Islam, terutama di Timur Tengah: al-‘ulūm al-naqliyah (ilmu-ilmu tradisional) dan al-‘ulūm al-‘Aqliyah (ilmu-ilmu rasional. Pembagian ini adalah yang paling umum diakui oleh para sarjana Muslim sejak masa-masa awal. Dengan demikian, pembagaian ini memiliki kevalidan sampai batas tertentu. Akan tetapi, menurut Bazarghi, pembagian itu adakalanya justru berimbas pada pemahaman yang keliru bahwa ilmu-ilmu tradisional itu tidak memiliki landasan-landasan rasional.

Bidang-bidang ilmu Islam adalah pengajaran Al-Qur’an, tatabahasa Arab, tafsīrfiqhadīthuūl al-fiqh (prinsip-prinsip penyimpulan hukum Islam), uūl al-adīth (prinsip-prinsip periwayatan hadis), sejarah Nabi  dan para sahabat dan yang di antara yang terpenting adalah adab. Pada beberapa karya sarjana Muslim, ilmu-ilmu seperti filsafat, logika, teologi (ilmu kalam), fisika, metafisika, matematika, astronomi, geografi, kedokteran dan  sastra Arab juga terkadang dikategorikan sebagai bidang ilmu-ilmu Islam. Hal ini barangkali karena interaksi positif di antara ilmu-ilmu Islam dan bidang-bidang ilmu yang telah disebutkan.

Shams Inati dan Elsayed (1996) memberikan paparan luas dan panjang lebar tentang hubungan sastra Arab (adab) dengan bidang-bidang ilmu lain, terutama etika dan filsafat. Sementara Shukri B. Abed (1996) lebih jauh mengemukakan hubungan erat antara bahasa Arab dengan seluruh bidang ilmu lain dalam Islam. Korelasi antara satu bidang ilmu dengan bidang ilmu lain itu telah disajikan dengan menarik dalam ensiklopedia History of Islamic Philosophy, part II, yang disunting oleh Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman.

Lembaga Pendidikan

Kaum Muslim pramodern terbukti berhasil meraih tingkat literasi dan keakraban dengan teks yang lebih tinggi dibanding bangsa-bangsa Eropa di masa itu (Berkey, 2004). Catatan-catatan historis ihwal pendidikan Islam memberikan banyak perspektif seputar watak dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan tapi sedikit sekali yang menjelaskan tentang hubungan satu metode dengan metode lain di masa-masa yang berbeda (Küng 2007). Namun demikian, Küng menyatakan bahwa tumpang tindih itu bukan saja tak bisa dihindari, tapi justru memberikan pencerahan bagi sistem pendidikan yang ada (Küng, 2007).

Dalam kaitan dengan lembaga pendidikan, para sarjana Muslim mencatat beberapa istilah yang terkenal. Untuk bidang pendidikan dasar al-Qur’an, instrukturnya biasa dibagi menjadi dua huffâzh (para penghapal) dan kuttāb(para penulis). Kedua kelompok ini biasanya kemudian mengajar di halaqah(lingkaran belajar di masjid) dan madrasah (sekolah yang dikhususkan untuk pengajaran Islam primer dan sekunder). Selain kedua lembaga di atas, lembagadār al-kutub (perpustakaan) juga menjadi tempat pendidikan yang populer.

A. L. Tibawi  dalam Origin and Character of al-Madrasah, (Bulletin of the School of Oriental and African Studies 25, no. 2 [1962]) menyatakan bahwa madrasahlazimnya mempunyai karakter khas bahasa pengantar yang dipergunakan adalah bahasa Arab. Kulikulum madrasah biasanya mencakup seluruh bidang ilmu Islam yang telah disebutkan di atas.

Salah satu lembaga pendidikan paling populer di era keemasan Islam, yakni di era Abbasiyah adalah Bayt Al-Hikmah (بيت الحكمة‎ ).  Bayt Al-Hikmah sendiri adalah perpustakaan dan lembaga penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab di Baghdad, Irak. Ia adalah lembaga inti dalam gerakan penerjemahan yang menjadi motor perkembangan ilmu pengetahuan di era Islam. Pendiri Bayt Al-Hikmah adalah Penguasa Abbasiyah yang bernama Harun al-Rasyid dan kemudian mencapai puncaknya pada era putranya yang menyukai kegiatan-kegiatan ilmiah, al-Ma’mun, yang berkuasa sejak 813–833 Masehi.

Di masa al-Ma’mun itu pula berbagai observatorium didirikan, dan Bayt Al-Hikmah menjadi pusat pengajaran ilmu Islam, termasuk matematika, astronomi, kedokteran, alkimia dan kimia, zoologi dan geografi. Pada era itu, Baghdad dikenal sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan megapolitan dengan populasi mencapai 1 juta jiwa, terbesar di masa itu. Para sarjana yang diketahui bekerja di sana antara lain adalah Al-Khawarizmi, bapak aljabar, yang diambil dari judul bukunya Kitab al-Jabr.

Perkembangan Lanjutan

Pada masa-masa selanjutnya, banyak pemuda Eropa yang belajar di universitas-unniversitas Islam di Spanyol seperti Cordoba, Sevilla, Malaca, Granada dan Salamanca. Cordoba pada masa itu mempunyai perpustakaan yang berisi 400.000 buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Selama belajar di universitas-universitas tersebut, sarjana-sarjana Eropa itu aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan Muslim. Pusat penerjemahan kala itu ada di Toledo. Setelah mereka pulang ke negeri masing-masing, mereka mendirikan sekolah dan universitas yang sama. Universitas yang pertama kali didirikan di Eropa ialah Universitas Paris pada tahun 1213 M. Pada penghujung zaman pertengahan barulah berdiri 18 universitas di daratan Eropa. Di berbagai universitas itu diajarkan ilmu-ilmu yang diperoleh dari universitas Islam seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti dan filsafat.

Di antara sarjana Eropa yang belajar di universitas Islam di Spanyol adalah Petrus Alfonsi (1062 M) yang ketika kembali ke negerinya, di Inggris, ia diangkat menjadi dokter pribadi Raja Henry I (1120 M). Selain menjadi dokter, ia bekerja sama dengan Walcher menyusun mata pelajaran ilmu falak berdasarkan pengetahuan sarjana dan ilmuwan Muslim yang didapatnya dari Spanyol. Demikin juga dengan Adelard of Bath (1079-1192 M) yang pernah belajar pula di Toledo dan setelah ia kembali ke Inggris, ia pun menjadi seorang sarjana yang termasyhur di negaranya.

Sarjana Eropa lain yang cukup terkenal adalah seorang pendeta Kristen Roma dari Inggris bernama Roger Bacon (1214-1292 M). Dia mempelajari bahasa Arab di Paris (1240-1268 M) dan melalui kemampuan bahasa Arab dan bahasa Latin itulah dia dapat membaca nasakah asli dan menerjemahkannya. Buku-buku asli dan terjemahan tersebut dibawanya ke Universitas Oxford Inggris. Di antara buku yang diterjemahkannya antara lain adalah Al Manzir karya Ali Al Hasan Ibnu Haytsam (965-1038 M). Dalam buku itu terdapat teori tentang mikroskop dan mesiu yang banyak dikatakan sebagai hasil karya Roger Bacon bisa ditemukan.

Akibat perkembangan ilmu pengetahuan Islam inilah kajian filsafat Yunani di Eropa berkembang secara besar-besaran dan akhirnya memicu gerakan Renaissans pada abad ke-14, reformasi pada abad ke-16 M, rasionalisme pada abad ke-17 M, dan aufklarung pada abad ke-18 M.

Nasib kaum Muslim Spanyol sepeninggal Abu Abdullah Muhammad ternyata cukup tragis. Mereka terpaksa mengalammi banyak kemunduran. Kini, hanya bangunan-bangunan bersejarah Islam yang bisa dijadikan kenang-kenangan.

Referensi

·      Nimat Hafez Barazangi, Womanʾs Identity and the Qurʿān: A New Reading. Gainseville, Florida, 2004.

·      Abdullah M. Lutfiyya & Charles W. Churchill, Readings in Arab Middle Eastern Societies and Cultures, Mouton, The Hague, 1970.

·      S.H. Nasr & Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy, Routledge, 1996.

·      Hans Küng, Islam: Past, Present, and Future. Translated from the German by John Bowden. Oxford, 2007.

·      http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e0212#e0212-s0002

·      http://en.wikipedia.org/wiki/Bayt_al-Hikmah

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *