Dunia Islam
Pesan Imam Ali Kepada Malik Al-Asytar An-Nakha’iy
Pengantar
Hari itu Jum’at tanggal 13 Rajab 30 Tahun Gajah (Aam Al-Fiil). Sayyidah Fatimah bintil Asad, istri Abu Talib, mulai mengerang kesakitan. Persalinannya sudah dekat. Usia Fatimah ketika itu memang tidak lagi muda. Ini kehamilan yang cukup berat buatnya. Kesakitan yang demikian kuat itu memaksanya untuk menghampiri Ka’bah dan berdoa di sana. Dia pun berdoa: “Wahai Tuhanku, redakan rasa sakit yang bersangatan ini.”Begitu selesai berdoa, tiba-tiba salah satu ujung dinding Ka’bah terbelah. Lalu, seolah didorong oleh kekuatan tertentu, dia terperosok ke dalamnya dan dinding pun kembali tertutup. Di dalam Ka’bah itulah Fatimah bintil Assad melahirkan putranya, Ali, yang kemudian dikenal sebagai walidu Ka’bah (Putra Ka’bah).
Sang Ibu lantas bertahan di dalam Ka’bah selama 3 hari. Di hari ketiga, bayi pun mendadak tak mau menyusu. Gelisah menyaksikan perilaku bayinya, Fatimah beranjak keluar dari Ka’bah lewat pintu depan. Ternyata di situ dia telah melihat Baginda Nabi berdiri dan menunggu mereka. Sebelum bertanya apa-apa, Fatimah bintil Assad langsung mengadukan sikap bayinya yang tak lagi mau menyusu. Dengan senyum dan wajah riang gembira Nabi mengambil bayi mungil itu, menggendongnya dan menjulurkan lidah beliau ke dalam mulutnya. Sang bayi pun mengulum lidah suci itu beberapa saat. Setelah tampak puas, Nabi mengembalikan Ali kepada ibunya dan dia pun langsung mau menyusu lagi.
Tak berapa lama berselang, Nabi meminta pamannya, Abu Thalib, untuk memberikan hak asuh Ali kepadanya. Abu Thalib meminta waktu sampai sang bayi sedikit lebih dewasa. Dan dalam usia yang masih sangat belia, Ali telah bergabung dengan kehidupan Nabi. Sejak itu Ali tak pernah jauh dari Nabi hingga beliau wafat di Madinah puluhan tahun setelahnya.
Ali tumbuh dan besar dalam pemeliharaan dan perhatian khusus Nabi, sebagaimana dulu Nabi tumbuh dalam pemeliharaan dan perhatian khusus Abu Thalib dan Fathimah bintil Assad. Hubungan Ali dengan Nabi memang sangat dekat, dari sejak Ali belia hingga Rasulullah wafat.
Kemana pun Nabi pergi, Ali selalu mengikuti dan menguntit. Tatkala Nabi pergi ke gua Hira untuk bertafakur, Ali kerapmembarenginya. Adakalanya mereka berdua tinggal di gunung selama dua-tiga hari. Terkadang juga Ali yang mondar-mandir mengantarkan makanan buat beliau. Dalam Nahjul Balagha, Ali melukiskan hubungannya dengan Rasul begini: “Aku biasanya mengikuti Nabi seperti anak onta mengikuti jejak induknya.”
Ketika Allah telah menyuruh Nabi untuk menyiarkan agama dengan terang-terangan di antara keluarga terdekatnya, Rasul mengundang para pimpinan Quraisy. Tidak kurang dari 40 tokoh datang dalam perjamuan di rumah Rasul tersebut. Di antara mereka ada Abu Lahab yang bernama panjang Abdul Uzza.
Setelah mereka makan, Nabi berdiri di hadapan mereka dan bertanya: “Hai para pembesar Quraisy, jika aku menyatakan kepada kalian bahwa ada pasukan musuh yang kini datang untuk menyerang kalian, apakah kalian percaya padaku?”
Serempak mereka mengiyakan. Dan tiap Rasul bertanya sesuatu mereka selalu mengiyakan. Sampailah akhirnya Rasul menyatakan: Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusannya.”Pada saat itu, tidak ada yang berdiri kecuali Ali. Di usia 13 tahun itu Ali telah menyatakan pembelaannya kepada Nabi.
Meneguhkan sambutan Ali, Nabi bersabda: “Ali adalah washi, wazir dan penggantiku.”Melihat adegan ini, Abu Lahab terkekeh. Dia menghampiri Abu Thalib sambil mencemooh: “Hai Abu Thalib, maukah kau dipimpin oleh anakmu?”
Sejak saat itu, Ali selalu memegang janjinya. Dia lawan semua yang mencoba menghalangi dakwah Nabi. Dia jaga Nabi dari semua gangguan. Bila Nabi sedang berdakwah, para pembesar Quraisy sering merancang gangguan. Antara lain mereka sering menyuruh anak-anak kecil melempari Nabi. Pada saat anak-anak itu melihat Ali, mereka biasanya kabur karena ketakutan. Jika tidak, maka Ali akan menghalang-halangi mereka, menghalau lemparan batu mereka dan mengusir mereka dari sekitarnya.
Zaman terus berderak tapi Ali tetap teguh memegangi janji setianya pada Baginda Nabi. Dalam semua peristiwa besar sepanjang sejarah Islam di Mekkah dan Madinah, Ali selalu mendampingi Nabi. Ali adalah simbol kekuatan Islam, simbol keberanian, pintu kota ilmu Nabi, dan seakan sahaya yang senantiasa patuh tunduk pada Sang Nabi.
Menjelang pemilihan presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai pada tanggal 9 Juli 2014 mendatang, ABI Press berharap kita semua, terutama elit politik negeri ini, dapat meresapi isi kontrak politik berusia 1400 tahun silam ini. Inilah surat penunjukan Ali terhadap Malik Al-Asytar sebagai gubernur Mesir. Di dalamnya kita akan menyaksikan banyak sekali uraian hikmah dan pelajaran yang sangat berharga sekaligus sangat relevan dengan situasi kita saat ini. Saking relevannya uraian Imam Ali 1400 tahun itu di zaman kiwari sampai seakan baru kemarin dia menuliskan surat tersebut.
Selamat membaca dan merenung.(MK)
* BERSAMBUNG