Dunia Islam
Lika-Liku Jalan Sufi Yasta (Bagian Kedua)
Permohonan Pada Setan
Pada suatu ketika Yasta sedang di puncak sakau tapi tak ada uang untuk membeli narkoba. Dia pun memutuskan pinjam uang ke salah seorang teman kuliahnya yang tinggal di Bekasi Barat. Karena iba, temannya berjanji memberinya pinjaman. Berangkatlah Yasta ke Bekasi untuk mengambil uang itu.
Di saat yang sama, dihubunginya sang bandar dan bilang bahwa uang sudah di tangannya.
“Loe mau punya uang sejuta kek, mau punya uang berapa, pokoknya jam setengah sepuluh teng gue tutup,” ujar sang bandar via telepon. “Jadi, Loe mau punya uang berapa juga, gua nggak peduli. Pokoknya jam setengah sepuluh gua tunggu di Wijaya Grand Center.”
Tak urung Yasta pun panik. Karena posisinya saat pukul delapan malam itu masih terjebak macet di Bekasi Barat. Padahal Bekasi-Jakarta paling tidak butuh waktu satu setengah jam. Itupun kalau kondisi jalanan lancar.
Merasa terdesak tak ada jalan keluar agar tepat waktu sampai di tujuan. Demi narkoba, sambil melajukan mobilnya di jalan tol, Yasta pun berdoa. Bukan doa biasa kepada Tuhan seperti yang dilakukan orang-orang, melainkan doa pada setan. Hal itu terjadi akibat pikiran kacau yang hinggap di benaknya ditambah rasa sakit di tubuh akibat kecanduan yang terus menyiksa.
“Kalo ada kekuatan selain kekuatan Tuhan. Apa itu Jin, Iblis, Dajjal, atau Lucifer deh. Kalo itu semua ada dan memang punya kekuatan, tunjukin sama gue di sini. Gue mau narkoba ada di tangan gue,” gumam Yasta.
Anehnya, seperti di dengar oleh kekuatan gelap setan, mulai keluar dari tol Cawang, Halim, Pancoran, setiap lampu lalu lintas yang mau dilewatinya pas menunjukkan warna hijau. Membuat Yasta tiba di Wijaya Grand Center tepat pukul setengah sepuluh, tidak kurang tidak lebih.
Melihat si bandar baru menutup pintu lapak dan mematikan ponselnya, Yasta pun bergegas setengah berlari menghampirinya. Singkat cerita, malam itu narkoba idamannya pun sukses Yasta dapatkan.
Sarang Lucifer
Setelah peristiwa “doa pada setan terkabulkan,” kejadian-kejadian aneh lain kerap kali mendatangi Yasta. Banyak sosok misterius dijumpainya.
Salah satunya adalah saat dirinya sedang nongkrong di Bundaran Mahakam, Blok M. Tiba-tiba seorang lelaki tinggi tegap dengan rambut panjang, wajah bersih dan paras tampan, serta berbaju serba hitam, datang menghampiri Yasta.
“Loe pemakai ya?” tanya pria misterius itu.
“Urusan Loe apa?” Yasta spontan balik nanya.
“Udah tenang aja, gua juga pemakai,” jelas si pria sambil melinting kaos lengan panjangnya. Meyakinkan Yasta dengan menunjukkan bekas luka di lengan, bukti dia pemakai juga.
“Udah tenang aja,” ulang si pria menenangkan Yasta yang masih tampak kaget dengan sapaannya.
“Loe mau nggak kalo narkoba loe nggak putus?” tanya si pria lagi. “Tapi loe harus ikut gua,” tambahnya.
Masih bingung dengan apa yang terjadi, dan khawatir itu semua hanya jebakan polisi. Atau jangan-jangan dia akan dihabisi. Yasta pun membuat janji dengan si pria untuk bertemu lagi di tempat yang sama seminggu lagi. Pria itu pun setuju.
Pada hari yang telah ditetapkan, si pria datang menemui Yasta. Tetap dengan pakaian serba hitam. Saat itu si pria kembali menegasakan agar Yasta percaya seratus persen kepadanya.
Selanjutnya, kedua mata Yasta ditutup selembar kain yang diikatkan di kepalanya. Tak lama berselang terdengar bunyi mesin kendaraan menghampiri mereka. Dituntun si pria, Yasta memasuki mobil itu, tak tahu pasti akan dibawa kemana..
Tak lebih dari 30 menit perjalanan akhirnya Yasta dibimbing masuk ke sebuah rumah besar. Setelah melewati pintu utama dan menuruni anak tangga jalan masuk ke ruangan dalam rumah yang posisinya lebih rendah dari ruang depan, di situlah Yasta disuguhi pemandangan cukup mengagetkan.
Di ruangan itu, banyak sekali muda-mudi yang dengan bebas melakukan apapun. Berhubungan seks seenaknya, mengkonsumsi narkoba dimana-mana. Padahal semuanya orang Indonesia.
Tak hanya di satu ruangan itu, di ruangan sebelah kanannya pun yang terdapat televisi, dan sofa seperti layaknya ruang tamu, juga berlaku hal yang sama. Hubungan seks bebas terbuka, dilakukan tanpa kenal malu, di lantai, di sofa dimana pun.
Bertemu Pemimpin Lucifer
Pria misterius membawa Yasta ke sebuah ruangan berukuran tak lebih dari 1,5×3 meter persegi. Tembok ruangan bercat hitam terkesan gelap. Di ruangan itulah Yasta dipertemukan dengan seseorang yang cukup tinggi besar untuk ukuran orang Indonesia, memakai jubah hitam beserta tutup kepala, sehingga susah bagi Yasta mengenalinya.
Saat diperkenalkan dengan pemimpin kelompok itulah Yasta baru sadar bahwa dia sedang berada di tengah lingkungan kelompok satanik.
Sang pemimpin tak berucap sepatah kata pun. Hanya pria misterius yang mengantarkan Yasta kepadanya yang mewakilinya bicara. “Pokoknya kalau Loe mau, dijamin narkoba nggak akan putus. Cewek pun Loe akan dapet,” kata si pria. “Tapi Loe harus siap ngasi imbalan, bukan duit, tapi darah,” tambahnya.
Belum jelas darah apa yang dimaksud. Si pria hanya bilang bahwa darahnya harus dari keluarga sendiri atau orang lain. Kalau bisa darah perempuan yang masih perawan atau bayi sekalian.
Saat itu Yasta hanya mengiyakan, tiap kali pria misterius menerangkan. Sebab yang ada di pikirannya, pokoknya dapat narkoba dulu, soal lain urusan belakangan.
Setelah dirasa cukup, Yasta pun dipulangkan dengan cara serupa dia datang; kedua mata tertutup kain hitam.
Dia menolak tawaran diantar pulang ke rumahnya dan meminta kembali ke tempat awal penjemputan: Bundaran Mahakam, Blok M.
Tak lama bergaul dengan kelompok itu, Yasta merasa ketakuan dan memutuskan untuk mengungsi ke Bandung sementara waktu. Saat mengungsi untuk menghindari kelompok satanik itulah Yasta kerap diancam melalui telpon dengan cara dan bahasa yang halus.
“Loe yakin, Loe pikir bisa keluar, setelah Loe datang ke markas kita, gua kan tahu Loe dimana sekarang berada?” ujar salah seorang anggota satanik yang menghubungi Yasta.
Hal itu tentu saja membuat Yasta merinding. Saat itulah dia sadari kesalahannya karena telah meminta pada setan.
Permohonan Renasya
Setelah kejadian seram dengan kelompok Satanik, Yasta memutuskan siap rdiehabilitasi. Keinginannya disambut baik oleh Mamanya. Sayangnya, meski telah beberapa kali masuk rehabilitasi, ternyata Yasta belum mampu bebas total dari ketergantungannya pada miras dan narkoba.
Hingga suatu hari, adik kandung Yasta satu-satunya, Renasya yang akrab dipanggil Nasya menyampaikan permohonannya kepada Yasta karena tak lama lagi Nasya akan melangsungkan pernikahan.
“Gua mo nikah nih,” kata Nasya.
“Gua punya satu permohonan, Gua pingin Loe datang ke tempat pengajian Gua, satu kali aja… Ya. Satu kali aja,” pinta Nasya kepada kakaknya itu.
Dianggap permintaan yang tak terlalu berat, selain karena kala itu hidup Yasta juga tak jelas arahnya, akhirnya Yasta putuskan menuruti permohonan adiknya, Nasya.
Yasta akhirnya datang ke tempat pengajian Nasya di Rumicafe dengan baju Flanar dan celana jins, potongan rambut Skin Head ditutupi kopiyah hitam pinjaman calon adik ipar.(Lutfi/Yudhi)
(Bersambung) – Lika-Liku Jalan Sufi Yasta (Bagian Ketiga)