Dunia Islam
Jalan Damai Bahrain
Oleh : Musa Kazhim*
Kompromi adalah dasar politik, lantaran politik adalah urusan publik dengan beragam kepentingan. Tapi berbeda halnya dengan politik di Bahrain. Di kerajaan alit berpenduduk sekitar 1,2 juta jiwa itu, politik–juga ekonomi dan hukum–hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. Lebih tepatnya, kelompok tertentu dalam satu keluarga Al Khalifa. Hampir seluruh Bahrain didominasi keluarga Al Khalifa. Upaya sekecil apapun untuk lepas dari dominasi itu bakal dibalas rezim Al-Khalifa dengan represi membabi buta. Dan ironisnya, di tengah arus informasi tak terkendali ini, berita kekejaman rezim Al-Khalifa nyaris tak terdengar. Kekuatan ekonomi Saudi dibantu Dewan Kerjasama Teluk telah menggentarkan para pemilik media arus utama yang hendak memberitakan brutalitas yang terjadi di kepulauan itu.
Salah satu kebijakan kontroversial Al Khalifa untuk memperkuat cengkeramannya pada Bahrain adalah penerapan kebijakan depopulasi pribumi dan naturalisasi illegal. Orang-orang asing dari berbagai belahan dunia dinaturalisasi, dijadikan warga Bahrain. Kurang dari dua dasawarsa, menurut sensus tahun 2010 lalu, langkah itu telah menaturalisasi lebih dari 600.000 warga asing menjadi warga Bahrain secara melanggar hukum. Sejak meletusnya pergolakan sosial pada Februari 2011 silam, proses naturalisasi ilegal itu pun berlangsung dua kali lipat.
Tujuan aksi ini ialah menggusur penduduk asli dari ruang-ruang publik dan menciptakan warga tandingan yang apolitik, apatis, dan tidak memiliki rasa cinta pada Bahrain sebagai Tanah Air. Yang penting, tidak mengganggu rezim.
Sejak puluhan tahun lampau, penduduk asli Bahrain menuntut akses yang lebih adil terhadap pengambilan kebijakan dan alokasi sumber-sumber ekonomi di kepulauan yang sedikit lebih besar dari Kabupaten Bogor itu. Alih-alih mengabulkan sebagian atau seluruh tuntutan dasar itu, rezim Al Khalifa justru bermain kayu. Sejumlah data menyebutkan bahwa sejak awal tahun 1990-an, dalam rangka menjaga dominasinya, rezim Al-Khalifa melakukan diskriminasi sistematis. Warga hasil naturalisasi ditempatkan di berbagai pos pemerintahan, terutama di sektor militer dan keamanan. Tak heran jika nyaris 100 persen personel keamanan dan militer kerajaan itu adalah warga asing dari Pakistan, India, Bangladesh, Yaman, Suriah, Sudan, dan lain-lain.
Lebih tragisnya lagi, diskriminasi sistematis itu dilakukan dengan dalih-dalih sektarian. Sejak dua dasawarsa silam, Raja Hamad Isa Al-Khalifa dan PM Khalifah Salman Al-Khalifa terus mendengungkan intervensi Iran atas politik domestik Bahrain. Isu ini kemudian diperkuat dengan fitnah pembantaian Syiah atas Sunni di Irak dan Suriah. Tujuannya adalah memicu kebencian warga hasil naturalisasi terhadap kaum pribumi yang menghendaki perubahan. Akibatnya, aparat keamanan dan militer memperlakukan warga yang menuntut demokrasi dan keadilan dengan brutal dan keji. Sejauh ini sudah 38 demonstran meninggal, ratusan luka-luka, ribuan dipenjarakan, ribuan lain dipecat tidak hormat dari tempat-tempat kerja mereka.
Media arus-utama memiliki andil besar dalam menjustifikasi aksi represi ini, sehingga dunia mengabaikannya. Pergolakan di Bahrain digambarkan sebagai aksi sektarian kaum Syiah menolak rezim Sunni. Demi memperkuat kesan meletusnya konflik sektarian ini, aparat keamanan dan militer tak henti-hentinya merobohkan berbagai masjid dan husainiyyah milik warga Syiah (dapat dilihat di Demolished Mosques In Bahrain). Mereka menyebut tempat-tempat suci itu sebagai pusat-pusat perencanaan makar atas kerajaan. Terakhir, rezim Al-Khalifa membubarkan Majlis Tinggi Ulama Bahrain secara paksa melalui putusan Mahkamah Agung. Namun, para ulama yang tergabung dalam majlis itu telah menegaskan bahwa legitimasi ulama tidak bersumber dari legalisasi pemerintah sehingga pembatalannya pun tidak bergantung padanya.
Memang benar, mayoritas rakyat pribumi Bahrain yang bangkit melakukan demo-demo menentang rezim Al Khalifa bermazhab Syiah. Namun demikian, bila melihat akar konflik (dominasi, diskriminasi, naturalisasi) sebagaimana saya ungkapkan di atas, jelas ini bukan konflik sektarian.
Ada hal menarik untuk diamati dalam pergolakan di Bahrain ini bila dibandingkan dengan konflik Suriah. Media arus-utama menggambarkan bahwa konflik Suriah adalah perlawanan rakyat Sunni terhadap rezim Syiah–yang mereka sebut diktator. Atas dasar sektarianisme, para oposisi “Sunni” (tepatnya: mengatasnamakan Sunni) mengundang pasukan “jihad” dari berbagai penjuru dunia dan meminta bantuan negara-negara asing.
Sebaliknya, rakyat Bahrain tetap bertahan dengan aksi damainya. Meski diprovokasi dan dinistakan secara biadab, mereka tetap tidak terpancing dan menolak segala bentuk kekerasan dalam perjuangan politiknya. Sampai detik ini, rezim Al-Khalifa gagal membuktikan ilusi perang sektarian yang mereka skenariokan.
Dengan cerdas, ulama terbesar di Bahrain, Syaikh Isa Qasem, terus menyeru rakyat agar tetap menggunakan cara-cara damai dalam menuntut keadilan dan perubahan. Demikian pula sikap murid sekaligus pemimpin partai oposisi terbesar, Syaikh Ali Salman, yang tetap berpegang pada cara damai dalam menggemakan aspirasi politik dan sosialnya. Dalam salah satu pernyataannya, Ali Salman menyatakan bahwa jalan damai adalah satu-satunya jalan yang harus dipertahankan dalam menghadapi rezim manipulatif seperti Al-Khalifa.
Hasilnya, hingga detik ini, strategi rezim Al-Khalifa yang dikendalikan oleh rezim Arab Saudi tampak tidak efektif dalam meredam pergolakan rakyat Bahrain. Tujuan Al-Khalifa dan tentunya juga sponsor utamanya, Al-Saud, untuk memancing Iran dan Irak ikut melibatkan diri tampaknya gagal. Disinformasi media arus-utama atas tuduhan pasokan senjata dari Iran kepada rakyat Bahrain dan dusta ihwal adanya pelatihan militer yang diselenggarakan Hizbullah atas ribuan warga Bahrain pun berakhir menjadi lelucon tak lucu.
Rencana jahat rezim Bahrain dengan bantuan militer Saudi untuk membelasah gerakan oposisi secara militer pun pupus. Skenario Suriah tak dapat berjalan di Bahrain. Watak damai rakyat Bahrain dan penolakan tegas Iran dan Irak untuk melakukan intervensi menjungkirbalikkan rencana genosida terhadap rakyat Bahrain atas nama konflik sektarian. Iran dan Irak menjadi antitesis Turki, Saudi, Qatar, atau Yordan yang memasok dana maupun senjata kepada oposisi Suriah.
Jalan damai yang dipertahankan rakyat Bahrain akan tercatat dalam sejarah sebagai suatu keunikan dalam periode yang kerap disebut sebagai Musim Semi Arab ini. Perlu riset lebih jauh tentang faktor-faktor apa saja yang menyebabkan konsistensi rakyat Bahrain di jalan damai ini. Tapi, kepemimpinan religius dan kedewasaan politik jelas merupakan faktor yang determinan. Fatsoen politik Syaikh Isa Qasem dari generasi senior dan Syaikh Ali Salman dari generasi yunior tak berlebihan bila disandingkan dengan fatsoen Gandhi dalam memperjuangkan kemerdekaan di India. Dunia Islam sepertinya patut mempelajari lebih serius kedua tokoh Bahrain itu, terutama dalam upaya mereka memanifestasikan perjuangan damai dalam mewujudkan aspirasi sosial politik.[]
*penulis adalah alumnus program magister Kajian Timur Tengah Universitas Indonesia.
Sumber: liputanislam.com