Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Dua Wartawan pada Jalan Nasib yang Menyimpang

Mencatat Rosihan Mengenang Soerjono.

SEKIRA pertengahan 2008 saya bertemu Rosihan Anwar di Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta. “Bung, sekarang kalau terbang ke Belanda berapa lama tuh?” tanyanya. “Tigabelas, atau empatbelas jam,” jawab saya.

Saat itu Rosihan tidak bilang akan ke Belanda, namun setahun kemudian, pada Desember 2009,sebagai wartawan yang pernah meliput jalannya Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, dia diundang hadir dalam peringatan 60 tahun KMB di Den Haag, Belanda dan diundang ke redaksi Radio Nederland di Hilversum, Belanda. Kini, saya paham mengapa dia ingin tahu waktu tempuh penerbangan dari Jakarta ke Belanda. Mungkin dia mau membandingkan dengan perjalanannya 60 tahun sebelumnya, saat meliput KMB yang belakangan dituturkannya secara rinci, menelan dua hari perjalanan dengan pesawat baling-baling dan transit di Bangkok, Thailand. Rosihan gemar bercerita rinci.

Layaknya wartawan, dia selalu antusias ketika pergi jauh dan meliput sebuah peristiwa besar seperti KMB. Layaknya wartawan pula, dia merekam peristiwa itu dalam ingatannya. Rosihan reporter sejati. Pencatat peristiwa in the first place. Goenawan Mohammad menyebut “pada reportase Rosihan berlaku journalism is the first rough draft of history.”

Rosihan beruntung. Jam terbangnya panjang – nyaris tak tertandingi. Detik.com menyebutnya “jurnalis tiga zaman”, sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ketika melayat, menjulukinya “tokoh segala zaman”. Kedua kualifikasi itu membingungkan. “Tiga zaman” seperti mengerdilkan sebuah khasanah pengalaman panjang yang dipatok sembarangan. “Segala zaman” idem ditto. Adakah semua zaman sama dan serupa bagi Rosihan? Benarkah demikian?. Adakah dia tak bergetar ketika banyak sejawat-jurnalis zamannya hilang sejak prahara 1965 misalnya? Rosihan sendiri menyebut dirinya “wartawan lima zaman”.

Sejarawan Taufik Abdullah seperti dikutip dari Kompas.com (15/05) memastikan Rosihan “menjadi saksi dan pelaku sejarah sejak zaman Jepang hingga kini” Artinya, Rosihan menjadi bagian dari kurun enam dasawarsa sejak menjelang kelahiran republik ini hingga beberapa hari lalu. Di sinilah Rosihan menjadi menarik. Hidup panjang bagi pencatat peristiwa seperti Rosihan mengundang pertanyaan ihwal apa saja yang telah dipilih dan tidak dipilihnya untuk dia liput dan komentari. Selaku wartawan, tentu dia harus menyeleksi minat dan fokus.

Saya tidak mengenal baik Rosihan dan tulisan-tulisannya sebagai opinion-maker. Karena itu, mencatat tentang Rosihan selaku ‘pembuat’ sejarah, saya memilih untuk bertanya dan mencari sisi pembanding. Adakah dia menyoroti dengan intensitas tinggi beberapa tragedi besar dalam perjalanan republik yang dialaminya hampir lengkap itu? Adakah almarhum sendiri menyadari bahwa posisi sosial dan keberuntungan jam-terbangnya yang panjang itu sendiri, sedikit banyak juga berkat – dan menjadi sisi lain dari –  tragedi dan peristiwa yang dialami republik ini hingga kini?

Jika Rosihan Anwar (1922-2011) seorang wartawan beruntung, maka kasus pembandingnya adalah wartawan bernasib tragis: Soerjono (1927-2000). Soerjono, putra pegawai Dinas Purbakala Belanda (Oudheidkundige Dienst), lahir di Prambanan, Jawa Tengah, 27 Februari 1927 dan tutup usia di Amsterdam pada 26 September 2000.

Seperti Rosihan, Soerjono adalah seorang reporter, pencatat peristiwa, yang giat sejak zaman Jepang. Juga dengan daya ingat luar biasa. Seperti Rosihan, Soerjono juga seorang aktivis, pejuang, saksi, dan pelaku sejarah. Jadi, keduanya, selain jurnalis-reporter, adalah opini-maker di lingkungan seputar kegiatannya dan politikus bagi pembaca korannya dan massa partainya.

Bila Rosihan mengaku terlibat dalam PSI (Partai Sosialis Indonesia) secara kebetulan, maka korannya, Pedoman, menurutnya, pada awalnya cuma kebetulan, tapi kemudian ‘disumbangkannya’ sebagai corong partai. Sebaliknya Soerjono mengakui bahwa dia, qua reporter mau pun qua kolomnis, opini-maker, giat dalam partainya (PKI, Partai Komunis Indonesia) dan menjadikan korannya, Harian Rakjat, sebagai wahananya.

Seperti Rosihan, Soerjono pengagum Sutan Sjahrir. Tapi Soerjono eks-Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) memilih haluan Amir Sjarifuddin. Dia pernah bercerita dengan sangat hidup bagaimana dia dan kawan-kawan di Stasiun K.A. Tugu, Yogyakarta, dini hari menyambut kedatangan PM Sjahrir dari Jakarta – suasana perjuangan yang kemudian kita tahu telah menjadikan lagu “Sepasang Mata Bola” legendaris. Soerjono, dengan memori yang kental, adalah jurnalis yang berpikir independen. Karena itulah, berbeda dengan Rosihan, dia tersisih dari milleu-politik asalnya.

‘Bung Soer’, demikian dia suka dipanggil, satu-satunya orang Indonesia yang pernah terbuang dari tiga partai komunis terbesar di dunia: PKI, PKT (Tiongkok), kemudian PKUS (Uni Soviet). Wartawan Belanda Willem Oltmans, pada 1989, secara kebetulan menemukannya di Wisma Veteran PKUS Peredelkino, dekat Moskow, lalu membantu mengungsikannya ke Belanda.

Bahkan di Amsterdam, sampai akhir hayatnya, Soerjono pun tersisih dari mainstream mereka yang oleh Gus Dur pernah disebut “pahlawan klayaban” atau para “terhalang pulang”. Maklumlah, jika ‘orang dalam’ seperti Soerjono dalam analisis kelasnya, mencemooh kepemimpinan partainya sendiri dan menyamakan PKI dengan Golkar. “Keduanya orang-orang kelas priyayi kecil, Bung. Kalau PKI menang, pun akan sama hasilnya seperti sekarang,” ujarnya yakin pada 1996 yang lampau. Dalam sebuah seminar dia menyebut Sudisman, salah satu pimpinan PKI, sebagai “de Grote Bekende Onbekende” (tokoh beken tersembunyi) di balik semua itu.

Soerjono, lebih daripada Rosihan, adalah pemikir, pembaca dan pemerhati sejarah, namun tak dikenal publik. Namanya hanya pernah menonjol karena sebuah perdebatan versus Menteri Keuangan Jusuf Wibisono (Masjumi) yang dilakukannya saat usia muda.

Independensi pemikirannya membuat Soerjono tersisih dari PKI dan Harian Rakyat yang membuatnya “dibuang” menjadi koresponden berita olahraga di Beijing pada medio 1960-an. Akhir 1970-an dia gerah dengan Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP) yang menggiringnya ke kamp re-edukasi di Sekolah Militer PKT di Nanking. “Di sana itu, Bung,” Soerjono pernah bercerita, “kami belajar pikiran-pikiran Mao Zhe-Dong seperti belajar Kitab Injil. Itu salah sekali!”

Lantas Soerjono – sementara itu juga ditinggalkan istrinya – hengkang ke Uni Soviet. “Tapi, sebagai reporter, sulit saya. Saya tidak bisa dengar apa-apa,” demikian tulisnya kepada Prof. B.R.O’G Anderson, spesialis Indonesia pada Universitas Cornell, AS, pada 1979. Terkucil di Wisma PKUS, Soerjono mengaku cuma ‘ditemani’ siaran bahasa Indonesia BBC dan Hilversum (Radio Nederland).

Beberapa tahun kemudian, di Amsterdam, dia dikunjungi Ben Anderson dan aktivis beken Pipit Rochijat. Hal itu membuatnya bangga. Memang, sejak di Uni Soviet, Soerjono sering menyurati pakar-pakar kajian Indonesia dan di setelah di Amsterdam dia sering jadi rujukan untuk mengecek fakta-fakta masa lalu sejarah di Indonesia yang dialaminya. Menjelang 2000, dia kecewa, merasa sendiri lagi. “Wah Bung, Ben Anderson dan lain lain itu sekarang sudah lupa sama saya,” tuturnya.

Engagement dengan empati mendalam menandai Soerjono. Sekali waktu dia mengisahkan pandangan matanya semasa di Yogyakarta 1940-an dengan mimik serius, suara serak dan tutur kata amat perlahan: “Waah, waktu itu … rakyat melarat hidupnya, Bung.” Lalu dia berhenti. Dan menangis terseguk-seguk genuinely.

Independensi berpikir juga membuat Soerjono tegas menentang Pramoedya Ananta Toer dan membela Goenawan Mohamad ketika Pram mengejek Gus Dur yang “dengan mudah” meminta maaf kepada para korban prahara 1965-1966. “Isyarat Gus Dur itu penting, dan dia-lah yang menanggung risiko politiknya,” tukasnya.

Paling pedih bagi Soerjono adalah terbuang dari tanah airnya. Akhirnya, pada usia senjanya, Bung Sur mencurahkan perhatiannya pada dua hal saja: Islam dan sepakbola. Di apartemen jompo Henriette Roland-Holst di Amsterdam Tenggara yang sering saya kunjungi pada 1990-an, rak buku di kamarnya berisi lebih banyak buku tentang Islam, Hadits, Al-Qur’an ketimbang fasisme dan sejarah mutakhir. Sementara sepakbola menjadi hiburan yang membuat dirinya keranjingan klab-bola Ajax Amsterdam.

Soerjono dimakamkan di Pekuburan Kruislaan, Amsterdam Timur. Ironisnya: di situ pula terkubur Jenderal J.B. van Heutsz, eks-Gubernur Jenderal, simbol imperialisme Belanda – kubu musuh besar orang-orang seperti Bung Sur. Cantiknya: Bung Sur dihantar oleh banyak kawannya, Belanda dan Indonesia. Dia tak lagi sebatang kara justru saat dia sudah tiada. Jasadnya berkemeja batik dan bertopi berbintang merah ala Mao Zhe-Dong di peti yang diliput bendera Merah-Putih, menampilkan jatidirinya yang sejati. Simbolisme itu mencerminkan pula ke-Jawa-an, ke-Indonesia-an dan ke-Mao-an Bung Sur.

Jelas, Rosihan dan Soerjono adalah dua kisah panjang yang berkontras bumi-langit. Tentang Rosihan, media massa telah banyak menulisnya. Tentang Soerjono, yang saya kenal lumayan baik, saya cukup merujuk pada obituari yang saya tulis di The Jakarta Post edisi 21 Oktober 2000.

Bung Soer, layaknya wartawan masa perjuangan, menjadi jurnalis merangkap pejuang. Kala itu jurnalisme dan perjuangan – secara niscaya – nyaris bagai tandem. Korannya Penghela Rakjat (1945) yang berbasis di Magelang, tirasnya 1500-an, jumlah yang besar untuk zaman itu. Dia juga mengisi mingguan Revolusioner dan aktif dalam perlawanan 10 Nopember 1945 di Surabaya. Sebelumnya, dia ditahan Jepang di Blitar. Di sana, kerjanya ber-‘radio dengkoel’ –  istilahnya untuk secara ilegal mendengar radio asing, karena harus pindah tempat dengan dengkul. Dia tidak percaya, kekuasaan Jepang meninggalkan kekosongan, sebab represinya masih terjadi di Jawa.

Rosihan, partainya, dan korannya, pernah dibungkam, dan membuat dirinya – seperti tokoh wartawan dan media yang pernah terlarang lainnya – terkenal, dan menjadi pejuang kemerdekaan pers yang patut kita hargai. Soerjono tidak memiliki semua itu. Pada sisi Soerjono, tidak hanya korannya dan partainya diberangus, tapi manusia-manusia pewarta, keluarga, dan kerabatnya dihabisi. Rosihan survive, dengan karir jurnalisme yang panjang. Soerjono tidak. Dia dan sejawat pada sisinya, menjadi korban, sekaligus warga yang tersisih, terbuang dari Ibu Pertiwi dan menutup hidup nun jauh di rantau.

Dengan begitu nasib Soerjono menjadi ilustratif – sebuah casus par excellence selaku bahan pembanding bagi Rosihan untuk memahami tragedi republik bernama Indonesia. Perbedaan Rosihan dengan Soerjono memang lebih penting dan mendalam ketimbang kemiripannya. Inilah cerita tentang tragika dan ironi sejarah yang ikut membuat politik dan jurnalisme Indonesia menjadi sebagaimana adanya kini. Perbedaan tersebut bercerita bahwa jurnalisme dan politik Indonesia sejak masa perjuangan tidak saja berkait erat tapi juga berdampak besar pada perspektif-perspektif yang terbentuk dan terwaris kemudian.

Walhasil, andaikan kita memiliki kisah lengkap kedua tokoh ini serta ‘Rosihan-Rosihan’ dan ‘Soerjono-Soerjono’ yang lain, dan andaikan keduanya dipublikasi luas, barangkali barulah kita akan memiliki khasanah yang lebih baik dan perspektif politik dan jurnalisme yang lebih fair, yang tidak setimpang sekarang ketika sisi politik dan jurnalisme yang lain tak lagi diketahui khalayak luas [ABOEPRIJADI SANTOSO/KONTRIBUTOR, AMSTERDAM]

Artikel terkait

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *