Berita
Dua Sisi Dunia
Amirul Mukminin as berkata, “Sesungguhnya Allah SWT menciptakan dunia untuk (alam) setelahnya dan menguji penghuni dunia sehingga terlihat siapa saja yang beramal baik. Kita tidak diciptakan untuk dunia dan tidak diperintahkan untuk berusaha mendapatkan kekayaan duniawi.”[1]
Kata “dunia” biasa digunakan sebagai lawan kata dari “akhirat”. Pembahasan dunia dalam ilmu akhlak adalah sebuah pembahasan serius.
Seperti diketahui bahwa ilmu akhlak bertujuan mengantarkan manusia pada kesempurnaan.[2] Ilmu akhlak kadang menilai dunia sebagai batu sandungan manusia untuk sampai pada kesempurnaan tapi kadang justru menganggapnya sebagai sarana untuk sampai pada kesempurnaan.
Lalu bagaimana dunia menjadi penghalang manusia untuk sampai pada kesempurnaan, sedangkan manusia sendiri banyak berhubungan dengan dunia dan seharusnya dunia bisa membantu manusia sampai pada tujuannya?
Dunia yang mampu menghalangi manusia untuk sampai pada kesempurnaan adalah dunia yang telah menghiasi hati manusia sehingga manusia bergantung padanya. Apabila hati Anda tergantung pada dunia maka dunia adalah halangan bagi kesempurnaan Anda. Kalau seandainya dunia, seperti harta, anak, istri, keluarga, jabatan, … menjadi sebab Anda melupakan akhirat dan meninggalkan perintah Tuhan, maka berarti dunia sudah menghalangi Anda untuk sampai pada kesempurnaan.
Rasul saw bersabda, “Dunia dan segala isinya itu merupakan sesuatu yang terlaknat kecuali semuanya itu digunakan di jalan Allah SWT.”[3]
Sebaliknya dunia bisa menjadi sesuatu yang keberadaannya terpuji, yakni bisa membantu manusia sampai pada tujuannya, apabila dunia seperti harta, anak, istri, dan lain-lain itu menjadi alat untuk menyempurna, berkhidmat kepada orang lain, dan bertakwa kepada Allah SWT.
Nahjul Balaghah mencatat bahwa dunia adalah tempat ibadahnya para kekasih Allah dan tempat jual-beli para auliya Allah.[4] Artinya, dunia dari sisi ini merupakan sesuatu yang terpuji.
Segala sesuatu yang ada di dunia menjadi sesuatu yang baik apabila ia menjadi sebab untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, namun sebaliknya salat, puasa, baca Quran, dan lain-lain apabila ia menjauhkan insan dari Allah SWT, maka itu menjadi sesuatu yang buruk.
Dengan kata lain ketika segala sesuatu yang tersedia di dunia menjadi wasilah atau perantara untuk mendekatkan diri pada akhirat maka sejatinya itu bukanlah dunia melainkan akhirat.[5]
Apakah seorang hartawan terhalang dari kesempurnaan?
Untuk Anda yang menjadi hartawan, lihatlah Nabi Sulaiman as. Beliau seperti yang kita dengar kisahnya, adalah seorang raja kaya-raya namun tetap menjadi hamba Allah yang bertakwa. Hartanya tidak mampu menahan beliau dari kesempurnaan.
Sebaliknya, apakah seorang yang tak berharta juga begitu, yakni susah untuk sampai pada tujuan hakiki?
Untuk Anda yang tidak mempunyai titipan harta yang banyak, belajarlah dari Sayidah Fathimah as dan Imam Ali as yang dalam keadaan tak berharta, tetap bertakwa, tak merasa sedih dan tetap beramal baik.[6]
Diriwayatkan bahwa ketika Sayidah Fathimah as hendak menikah dengan Imam Ali as, Rasul saw membelikan baju baru untuk putri kesayangannya tersebut. Namun ketika tiba waktu pernikahan, Rasul saw melihat Sayidah Fathimah tetap mengenakan baju lama dan tak memakai baju baru, hadiah dari Ayahandanya.
Rasul saw bertanya, “Wahai anakku kenapa kau tak mengenakan baju yang aku berikan?”
Putrinya menjawab, “Wahai Rasulullah, aku mendengar engkau bersabda bahwa amal yang paling baik adalah memberikan apa yang paling kita sukai, dan aku pun melakukan hal itu.”[7]
Itulah sebenar-benar akhlak mulia, budi pekerti agung yang dicontohkan oleh para auliya Allah dan sangat layak diteladani.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa dunia mempunyai dua sisi. Di satu sisi ia bisa menjadi perantara dan wasilah untuk sampai pada kesempurnaan dan di sisi lain, ia bisa menjadi benteng kuat yang menghalangi kita untuk sampai pada kesempurnaan apabila kita lalai terhadapnya. Hal ini sebagaimana disampaikan Amirul Mukminin, Imam Ali as, “Janganlah kalian meminta di dunia melebihi kebutuhan dan janganlah kalian mencari dari dunia melebihi keperluan.” [8] (Sutia/Yudhi)
[1] Mizan al-Hikmah, jild 4, hal 1693, terjemahan bahasa Persia
[2] Darsnomeh Akhlaq, hal 16
[3] Ibid
[4] Darsnomeh Akhlaq, hal 63. Dikutip dari Nahj al-Balaghah, hikmat 131
[5] Darsnomeh Akhlaq, hal 63.
[6] Lih. Surah al-Insan.
[7] Penulis tidak begitu ingat redaksi pastinya, namun isinya kurang lebih seperti itu.
[8] Mizan al-Hikmah, jild 4, hal 1695.