Dua Dimensi Kepemimpinan Nabi
Langkah dan kebijakan pertama yang diambil Nabi dalam upaya menjaga kelancaran dan membina masyarakat ialah mengendalikan pemerintahan secara langsung. Langkah kedua ialah melakukan serangkaian kebijakan dengan perencanaan matang agar program ini tidak mandek dengan melancarkan aksi perombakan dan pembenahan total dalam tubuh masyarakat; moral, mental, pola tindak, cara berfikir, watak dan seluruh aspek yang bertalian erat dengan umat.
Patut diingat bahwa reformasi menyeluruh memerlukan jangka waktu panjang dan menuntut adanya SDM yang dapat diandalkan untuk mengawal pembinaan masyarakat sekaligus mengantisipasi hambatan dan gejala-gejala kelesuan yang bisa mengganggu.
Syiah meyakini bahwa Rasulullah Saw mempersiapkan Ali sebagai pemimpin spiritual (agama) dan sekaligus struktural (politik). Karena masyarakat kala itu belum memiliki kematangan yang cukup untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan Syura.
Kemudian setelah diteliti secara seksama situasi dan kondisi yang ada, sistem kepemimpinan yang disiapkan oleh Nabi Muhammad Saw sesungguhnya mengikuti situasi sosiologis yang melingkupi umat Islam pada saat itu.
Mengapa? Nabi sangat sadar bahwa masyarakat sepeninggalnya masih belum bersih dari karakteristik tribal yang amat jauh berjarak dari masyarakat berperadaban yang ideal.
Dalam pandangan ini hanya ada dua asumsi, yakni; Pertama, Nabi tidak memikirkan pentingnya kepemimpinan sepeninggal beliau Saw. Asumsi ini tentu tertolak karena bertentangan dengan sifat kepemimpinan Nabi yang harish, ra’uf dan rahim. Tidak mungkin Nabi membiarkan umat yang akan ditinggalkannya terbengkalai tanpa pemimpin. Kedua, Nabi merencanakan suksesi sepeninggal beliau Saw. Asumsi kedua ini terbagi menjadi dua kemungkinan, yaitu; pertama, bahwa Nabi telah membentuk masyarakat yang matang dan ideal untuk menjalankan prinsip-prinsip syura dalam menentukan pemimpin sosial, dan kedua, Nabi menyiapkan kader handal sebagai pemimpin yang akan mengantar terbentuknya masyarakat beradab.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa kondisi masyarakat sesaat setelah Nabi wafat belum memenuhi syarat masyarakat pada kemungkinan pertama di atas. Hal ini ditunjukkan misalnya, tersisanya karakter tribal jahiliyah dan sentimen primordial di balai Saqifah dengan saling mengunggulkan klan masing-masing. Oleh sebab itu, kemungkinan ini juga tertolak.
Sedangkan kemungkinan kedua pada asumsi kedua di atas, sebagai seorang Nabi yang suci tentu merencanakan sosok kader yang handal untuk membentuk masyarakat ideal. Sebagai seorang Rasul beliau bertugas menghidupkan suatu gambaran dari pemahaman yang cocok dan relevan menjadi jalan keluar yang mewakili Islam dalam menanggulangi problema kehidupan dengan menunjuk figur terbaik dan handal sepeninggal beliau. Selain itu, figur tersebut berfungsi untuk menerjemahkan dan menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran.
Umat Islam memerlukan pemahaman yang jelas dan sempurna tentang Islam dan ingin mengetahui hukum halal dan haram dalam setiap perkara. Mereka niscaya memerlukan adanya kepemimpinan spiritual yang ditetapkan oleh Allah Swt dan disampaikan melalui lisan Rasulullah Saw.
Kepemimpinan Spiritual dan Struktural
Kepemimpinan spiritual berbeda dengan kepemimpinan struktural (politik). Bila seorang khalifah merasa berhak dan mampu menjadi pemimpin intelektual dan menjadi panutan pemikiran atas dasar Alquran dan Sunnah dalam memahami teori tersebut. Dan terbukti bahwa para sahabat tidak mempunyai kemampuan dan tidak memenuhi syarat penting tersebut, lain halnya bila kita melihat Ahlulbait dengan segala kemampuan mereka dan tergambar dalam nas serta bukti-bukti yang sudah ada.
Karena itu, kepemimpinan spiritual lebih penting dari kepemimpinan sosial politik dan lebih berperan selama beberapa dekade. Dan akhirnya, para penguasa dan khalifah memberikan kepada Imam Ali fungsi pemimpin spiritual karena mempertimbangkan satu dan sebab lainnya. Sampai-sampai Khalifah Kedua seringkali bersumpah dengan memuji kepandaian Ali dalam menyelesaikan masalah-masalah spiritual. la selalu berkata, “Seandainya Ali tiada, maka pasti Umar celaka dan binasa. Allah akan membiarkanku selamanya terbentur dengan kesulitan bila Abul Hasan (Ali) tidak segera menyelesaikannya.”
Tapi setelah melalui beberapa masa sejak Rasul wafat dan muslimin luntur secara bertahap dari loyalitas dan rasa hormatnya terhadap Ahlulbait Rasul dan tidak lagi memfungsikannya sebagai tokoh dan pemimpin dalam bidang spiritual, dan sebaliknya mereka sedikit demi sedikit memandang Ahlulbait sebagai orang-orang yang tidak lebih dari mereka dan bahkan menganggap mereka sebagai awam.
Secara nyata terbukti bahwa Ahlulbait kehilangan fungsi istimewa sebagai pemimpin-pemimpin spiritual dan pudar di tengah-tengah para sahabat. Mereka berstatus tidak lebih sebagai sahabat Rasul yang sama-sama berhak dan berfungsi sebagai pemimpin-pemimpin spiritual.
Sebagaimana telah terbukti dalam sejarah para sahabat, mereka selalu hidup di bawah situasi pertikaian yang terkadang meminta darah dan korban yang tidak sedikit dalam setiap peperangan yang mereka kobarkan sendiri. Masing-masing pasukan menganggap lebih konsekuen terhadap nilai dan kebenaran serta saling tuduh sebagai pengkhianat dan penyeleweng. Sebagai akibat dari perselisihan dan perang tuduh yang terjadi antara orang-orang yang berfungsi sebagai para pemimpin itulah timbul aneka warna pertentangan ideologi dan pemikiran dalam tubuh masyarakat Islam.
(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)