Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Dr. Muhsin Labib: Toleransi Bukan Hanya Sikap Pragmatis Tapi Kesadaran Teologis

Ketua Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura ABI, Dr. Muhsin Labib, MA menyampaikan bahwa toleransi bukan hanya sikap pragmatis tapi adalah bagian dari kesadaran teologis. “Sehingga kalau tidak toleran itu berarti menjadi Tuhan (menuhankan dirinya),” kata beliau saat menyampaikan materi seminar “Masa Depan Dunia Perspektif Agama-agama dalam Mewujudkan Keamanan Global”, Sabtu (5/5/2018). Seminar yang diselenggarakan DPW ABI DKI Jakarta dalam rangka memperingati Milad Imam Mahdi Afs. itu juga menghadirkan tokoh-tokoh lintas agama sebagai pembicara.

Lebih lanjut, Dr. Muhsin Labib menjelaskan, toleransi adalah sebuah keharusan. Dalam rumah tangga, misalnya, suami-istri harus saling toleran. “Kita juga harus toleran terhadap keyakinan-keyakinan lain karena itu adalah hak setiap orang. Karena itu kami mengapresiasi dan bangga bisa menghadirkan tokoh-tokoh lintas agama duduk bersama,” imbuhnya.

Baca juga: Seminar ABI Memperingati Milad Imam Mahdi Afs.

Ketika berbicara tentang Mahdiisme menurutnya adalah pembicaraan yang sangat khas. Madiisme nuansanya lebih ke Islam tapi Mesianisme lebih ke agama Ibrahimik.

Kalau dilihat lebih luas lagi, siapapun, perbedaan-perbedaan atau keyakinanan-keyakinan yang ada pasti ada benang merahnya dan itu membentuk identitas karena itu meskipun berbeda Agama, afiliasi politik, mazhab, tapi sebetulnya itu adalah perbedaan yang partikular karena ada persamaan-persamaan bersifat universal. Disebut berbeda karena ada kesamaannya.

“Jadi beda dan sama itu adalah sebuah relasi niscaya, seperti atas dan bawah. Tidak disebut bawah kalau tidak ada atas, mungkin juga bisa disebut dengan syarat yang mesti. Karena itu, ketika kita berbicara perbedaan otomatis kita akan mencari kesamaan. Kesamaan yang paling besar kalau dihimpun oleh manusia itu ada dua bagian yaitu persamaan teologis pada prinsip ketuhanan dan persamaan eskatologis, kesamaan dalam prinsip mabda’ dan kesamaan dalam prinsip ma’ad. Selebihnya itu adalah masalah penafsiran dan metode-metode penjabarannya,” terang Dr. Muhsin Labib.

Dr. Muhsin Labib melanjutkan bahwa tidak ada orang yang tidak menginginkan kesempurnaan. Bukan hanya keinginan, terkadang ketika kita tidak menginginkan itu tetapi naluri kita berproses ke arah itu karena manusia bergerak otomatis dari satu titik ke titik yang lainnya, bahkan sebenarnya yang bergerak bukan hanya manusia. Segala sesuatu itu bergerak, itulah yang membedakan kita dengan tuhan.

Baca juga: Dr. Muhsin Labib: Syiah dan Pemberitaan Media Mainstream

“Sekarang kita membicarakan kesamaan. Konsekuensi dari keterbatasan (makhluk) adalah beragam. Yang tidak memiliki kesamaan dan tidak beragam hanya Tuhan, karena DIA tidak mempunyai sisi.” tuturnya.

Karena kesamaan dan perbedaan berarti keterbatasan, itu meniscayakan adanya pasangan. Bahwa sesuatu itu beriring, harmonis, saling menyempurnakan. Dan segala sesuatu di muka bumi ini berpasangan sebagaimana digambarkan dalam Al-Quran.

Sesuatu yang dianggap sempurna itu bukan pada titik awal (tapi akhirnya berantakan) tapi juga ketersambungan hingga titik akhir.

Pada prinsipnya setiap orang pasti meyakini titik awal. Penyebutan itu yang menjadi persoalan-persoalan di agama-agama atau organisasi keyakinan, tapi pada intinya setiap orang berangkat dari satu titik dan itu adalah definitas yang paling purba dan itu adalah kebertuhanan yang paling murni sebelum orang masuk dalam polemik-polemik apapun. Jadi bagian dari proses kita ini adalah kegelapan, kita ini mewakili ketidaktahuan, karena itu kita harus kembali ke satu titik dan titik akhir itu adalah yang kita sebut keyakinan eskatologis dan titik akhir itulah yang disebut harapan.

Baca juga: Dr. Muhsin Labib: Peran Media Mempersatukan Bukan Adudomba

Pembicaraan tentang Mahdiisme atau Mesianisme adalah pembicaraan tentang harapan. “Imam Mahdi atau Mahdiismi dalam ajaran Ahlulbait memiliki sisi keislaman karena semua mazhab meyakini. Dan Mahdiisme lebih kongkrit lagi dalam Syaih (Ahlulbait) itu bukan menunggu (berharap) tanpa kejelasan, tetapi secara filosofis kesempurnaan itu bermula dalam titik awalnya dan dalam prosesnya dan dalam akhirnya. Jadi kalau orang syiah meyakini Imam Mahdi telah lahir semata-mata konsekuensi ketersambungan kesempurnaan yang tidak pernah putus.” Pungkas Dr. Muhsin Labib. (MZ)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *