Berita
Diskusi Kebangsaan, ABI Bahas Kedaulatan Pangan Nasional
“Bicara ketahanan pangan, jangan dipersempit sebatas kita mengharamkan impor. Kita memang impor beras, tapi kita juga ekspor bahan pangan lain. Kita juga eksportir minyak sawit, ikan laut, sayur-sayuran, singkong dalam bentuk gaplek, kopi, dan banyak lagi. Jadi, yang dianggap swasembada pangan itu bukan berarti tidak ada impor sama sekali,” papar Prof. Dr. Ir. Kaman Nainggolan, MS (Mantan Kepala Badan Ketahanan Pangan Nasional), saat menjadi narasumber diskusi “Ketahanan Pangan” yang diselenggarakan DPP Ahlulbait Indonesia (28/4).
Lebih lanjut, Prof. Kaman menjelaskan, ketahanan pangan itu meliputi beberapa dimensi yaitu, ketersediaan pangan, dimensi distribusi, dan ketiga faktor konsumsi (asupan gizi). “Ketersediaan pangan kita sebetulnya tak bermasalah, karena kita impor beras hanya sebagian. Jika kita mau makan singkong, umbi-umbian, maka pasokan beras jadi tak masalah,” ungkapnya.
Menurut data yang disampaikan, orang Indonesia rata-rata mengkonsumsi beras sebanyak 124kg per orang dalam setahun. Jumlah yang sangat banyak jika dibandingkan dengan jumlah konsumsi beras orang luar yang hanya 60kg per orang dalam setahun. “Padahal dari nilai gizinya, makan beras itu tidak lebih baik, kecuali beras merah. Bahkan, sagu, sebagai salah satu komoditi ekspor terbesar kita, memiliki kandungan karbohidrat yang terbaik. Mestinya, makanan lokal yang khas dikonsumsi di masing-masing daerah ini tak perlu digantikan dengan beras,” terang Prof Kaman.
Sementara itu, Ketua Umum Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, juga hadir menjadi narasusmber pada diskusi ini. Untuk mencapai kedaulatan pangan, kata Iwan, langkah pemerintah di dalam membuat BUMN Pangan paling tidak harus memperhatikan beberapa unsur. Pertama, kepemilikan. Dalam kepemilikan itu terdiri dari pemerintah daerah, pemerintah pusat, petani (organisasi tani/koperasi tani), dan pemerintah desa. Kepemilikan saham terbesar atau mayoritas dari BUMN harus menjadi milik organisasi tani dan pemerintah desa.
Kedua, Operasionalisasi BUMN Pangan ini seharusnya mendorong lahirnya badan usaha milik petani, badan usaha milik desa, dalam bentuk koperasi di bidang pangan yang modern yang dipayungi BUMN Pangan tersebut.
Ketiga, tujuan utama dari BUMN ini adalah menciptakan kedaulatan pangan bukan semata-mata ketahanan pangan, dengan aktor utamanya yaitu para rumah tangga petani yang sudah terorganisasi dalam wadah ekonomi yang modern.
Tanpa itu menurut Iwan, desain BUMN yang digagas pemerintah tidak akan sejalan dengan pembaruan agraria, pembangunan pedesaan dan pertanian secara menyeluruh, sesuai keinginan rakyat khususnya masyarakat petani. “Pembangunan desa lah yang harus diprioritaskan,” pungkasnya.
(MM)