Berita
Diskusi Ilmiah Bukan Klompencapir
Oleh: Fikri Disyacitta*
Di saat saya tengah asyik menggarap skripsi mengenai perkembangan Syiah, sejenak teringat kembali momen ketika mengikuti sebuah seminar akbar dengan tajuk “Diskusi Ahlusunnah dan Syiah: Beda Akidah, Shariah, atau Politik?” yang dihelat pada hari Sabtu (6/4/2013) silam di sebuah perguruan tinggi negeri berbasis teknik di Surabaya.
Ketertarikan saya bermula karena banner acara terpampang mencolok di depan masjid kampus. Pikiran pertama yang terbersit saat membaca kata “diskusi” adalah sebuah sesi saling mengemukakan argumen secara ilmiah yang menghadirkan narasumber ahli dari pihak Ahlusunnah dan Syiah lalu ditutup dengan kesimpulan bersifat cover both side, sehingga saya memutuskan untuk hadir. Namun yang terjadi rupanya jauh panggang dari api. Tiga narasumber yang dihadirkan rupanya kompak menyerang Syiah sebagai ajaran menyimpang. Tidak dihadirkan narasumber ahli baik dari kubu Syiah atau setidaknya pakar yang bersikap adil terhadap isu Sunni-Syiah, sebagai pengimbang materi diskusi berformat seminar tersebut. Isu yang disajikan juga tergolong lagu lama: bahwa paham (Syiah) ini punya Quran sendiri, hobi mut’ah, mempraktikkan kesyirikan.
Hadirnya dua orang narasumber yang menyandang gelar akademisi (bahkan salah satunya tengah mengambil studi di luar negeri) tidak menjamin informasi yang disampaikan mencerahkan pengetahuan audiens. Melalui power point, ditunjukkan “bukti” gambar dan video mengenai sesatnya Syiah. Sampai-sampai screenshot komentar akun anonim di media facebook ditampilkan sebagai bukti pendukung bahwa penganut Syiah tidak berakhlak! Tak pelak hadirin yang mayoritas mahasiswa serta anggota lembaga dakwah kampus terbahak-bahak melihat gambar-gambar yang mendiskreditkan mazhab Ahlulbait yang menurut saya sangat tidak etis ditunjukkan dalam forum ilmiah.
Upaya Mematikan Nalar Intelektual
Sesi tanya jawab terlihat seolah sudah ditata sedemikian rupa: ketiga penanya yang ditunjuk moderator, meski dalam bahasa yang berbeda, pada intinya menanyakan bagaimana menangkal bahaya Syiah. Tidak satupun pertanyaan bersifat kritis seperti apakah rujukan nash dan ilmiah yang dijadikan sandaran narasumber dalam menyampaikan pandangannya memang kredibel. Pengalaman mengecewakan yang terngiang kembali tersebut membuat saya khawatir bahwa ada upaya sistematis untuk mematikan nalar intelektual mahasiswa dalam memelajari paham serta keyakinan yang masih asing dalam mainstream masyarakat Indonesia. Selain itu, sebagai penanggung jawab bidang keilmuan dalam organisasi mahasiswa, ada rasa miris ketika sakralitas diskusi ilmiah diturunkan derajatnya menjadi sarana indoktrinasi dan penghakiman “siapa benar siapa salah.”
Nampaknya, harus ada pemaknaan ulang mengenai apa itu diskusi ilmiah untuk membedakannya dengan acara kelompok pendengar, pembaca, dan pirsawan (klompencapir) di masa Orde Baru.
Dialektika Wacana adalah Niscaya
Berkaca dari peristiwa di atas, ada dua aspek menonjol untuk melihat apakah sebuah diskusi bernilai ilmiah. Lihat saja apakah dalam forum terjadi dialektika wacana yang ilmiah. Pada kasus diskusi di atas, seminar sudah ditata sedemikian rupa agar wacana bersifat monolitik: Syiah adalah ajaran sesat. Tidak diundangnya narasumber dari kalangan Syiah sebagai pembanding, serta adanya aroma setting pada sesi tanya jawab, mengindikasikan ketakutan entah dari pihak penyelenggara maupun pemateri jika sampai terjadi kontra wacana. Padahal jika mau fair, membawa label “diskusi” berarti harus siap dengan konsekuensi adanya dialektika wacana. Karena diskusi ilmiah sejatinya adalah sarana bertukar pikiran untuk melihat sebuah isu dari beragam perspektif untuk mendapatkan pemahaman komprehensif, maka pertarungan antara tesis-antitesis mutlak harus ada. Selain itu, diharapkan dialektika dapat memanusiakan audiens. Adanya wacana pro kontra tentu bisa memancing nalar kritis audiens untuk berpartisipasi aktif selama proses diskusi, baik itu bertanya maupun memberikan komentar. Tidak seperti forum klompencapir yang mengharuskan audiens untuk bertanya sesuai selera pemateri.
Menjembatani Polemik Tesis-Antitesis
Dalam konteks tulisan ini bisa diilustrasikan, harus ada laga argumen antara pendukung Syiah serta penolak Syiah. Tentu saja dialektika ini bukan upaya membuktikan siapa benar siapa sesat, tetapi sebagai ajang saling mengkonfirmasi pengetahuan yang didapat oleh kedua belah pihak. Baik pihak tesis maupun antitesis harus menyandarkan argumennya pada bukti saintifik seperti data statistik, catatan historis, atau fenomena empirik. Tidak semata-mata karena tendensi tertentu lantas membawa hal-hal yang tidak bernilai saintifik untuk dijadikan dalil dalam menyerang kelompok lain. Seperti pada kasus yang saya alami ketika pembicara dengan bangganya menjadikan kutipan sebuah akun media sosial anonim yang tidak bisa divalidasi kebenaran maupun pemiliknya untuk menjatuhkan kelompok Syiah.
Beruntung jika dalam forum kemudian tercipta sintesis sebagai jalan tengah untuk menjembatani polemik tesis-antitesis. Meminjam istilah Karl Marx, dialektika wacana dalam diskusi perlu diupayakan mencapai tahap sintesis agar paripurna. Contohnya, dalam meminimalisasikan polemik Sunni-Syiah, maka dicapai kesimpulan bahwa perlu ada upaya taqrib antarmazhab lewat forum silaturahmi, kegiatan sosial kemasyarakatan, dan sebagainya. (Fikri/Yudhi)
* Ketua Divisi Keilmuan Himaprodi Ilmu Politik, FISIP, Universitas Airlangga Surabaya